27 C
Medan
Tuesday, October 22, 2024
spot_img

Terkait Sengketa Tanah Komplek Abdul Hamid, Warga Ajukan Kasasi ke MA

AGUSMAN/SUMUT POS
KASASI: Warga Komplek Abdul Hamid melakukan Kasasi ke MA terkait sengketa tanah, Rabu (30/10).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sebanyak 130 Kepala Keluarga (KK) warga Komplek Abdul Hamid Nasution Jalan Medan-Binjai KM 10 Desa Lalang Kecamatan Sunggal Kabupaten Deliserdang, menempuh kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Itu pasca tidak mendapat kepastian hukum oleh Pengadilan Negeri (PN) Lubukpakam dan Pengadilan Tinggi (PT) Medan, atas gugatan kepemilikan hak atas tanah di kawasan komplek tersebut.

Hal tersebut dikatakan Nila Shinta Waty, mewakili 130 Kepala Keluarga (KK) tersebut. Warga didampingi Afrizon SH MH & Rekan, selaku kuasa hukum yang tergabung dalam Tim Pembela Warga Komplek Perumahan Abdul Hamid Nasution di Medan, Selasa (30/10) sore.

Afrizon menjelaskan, pihaknya sebagai penggugat keberatan atas keputusan Judex Factie PT Medan Perkara Reg. No. 202/PDT/201/PT.Mdn tanggal 15 Agustus 2018. Putusan itu telah menguatkan putusan PN Lubukpakam dengan perkara Reg. No. 100/Pdt.G/2017/PN.Lbp atas perkara kepemilikan hak atas tanah yang diklaim milik Kodam I/BB sebagai tergugat/termohon.

“Kita menggugat atas hak tanah (objek gugatan) bersumber dari tanah adat privat berdasarkan Surat Grant No. 872 Tahun 1937 atas nama Aje Sebeh/Aje Asban yang diklaim tergugat dengan sertifikat hak pakai (SHP) No. 19 Tahun 2017 yang bersumber dari alas hak dasar yang tidak jelas dan sangat diragukan keabsahannya,” tegas Afrizon.

“Makanya belum adanya kepastian hukum dari PN Lubukpakam dan PT Medan itu jelas keliru,” tambahnya.

Mengapa alas hak SHP tanah seluas 22 hektar itu diragukan? Karena saat proses menggugat pihak tergugat bisa menerbitkan SHP, bahkan terbitnya hanya dalam tempo 3 hari.

“Padahal kalau di atas 10 hektar tanah harus lebih dulu mendapatkan izin dari BPN. Makanya kami menilai ini penuh kejanggalan,” katanya.

Selain itu, pihaknya menyoroti pihak tergugat yang dikatakan sudah memberikan ganti rugi kepada Pak Kacung yang merupakan warga menumpang di komplek itu.

“Pak Kacung itu jualan lontong dan menumpang di situ, jadi aneh juga kalau ganti rugi itu diberikan kepadanya,” ucapnya.

Maka dengan kejanggalan itu semua, warga menilai PN Lubukpakam dan PT Medan sangat keliru. Karena tidak ada kepastian hukum yang diberikan bagi penggugat dan tergugat.

“Ini kan berarti ada kekeliruan. Kenapa keliru, karena pengadilan tidak berani mengambil putusan yang tegas. Ya bisa saja, karena ini menyangkut aparat negara,” bebernya.

Oleh sebab itu, pihaknya kini berharap MA dapat memberikan kepastian hukum. Karena menilai dua putusan ini cacat hukum.

“Sekali lagi kami tegaskan kalau PT menguatkan putusan PN tapi pertimbangannya tidak ada, maka yang benar siapa, untuk itu lah kami tempuh jalur kasasi ini ke MA agar dapat kepastian hukum. Kami ingin objektif, kalau kalah ya kalahkan saja jadi kita tahu kepastian hukumnya,” pungkas Afrizon.

Sementara, Nila Shinta Waty bersama ratusan warga lainnya yang mengaku dizholimi berharap MA memberikan kepastian hukum nantinya.

“Ya kami berharap ada kepastian hukum, karena kami tinggal disana mulai dari tahun 60′ an. Tapi mengapa tiba-tiba mereka mengambil tanah dan bangunan kami dengan surat alas hak yang janggal,” tandasnya.(man/ala)

AGUSMAN/SUMUT POS
KASASI: Warga Komplek Abdul Hamid melakukan Kasasi ke MA terkait sengketa tanah, Rabu (30/10).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sebanyak 130 Kepala Keluarga (KK) warga Komplek Abdul Hamid Nasution Jalan Medan-Binjai KM 10 Desa Lalang Kecamatan Sunggal Kabupaten Deliserdang, menempuh kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Itu pasca tidak mendapat kepastian hukum oleh Pengadilan Negeri (PN) Lubukpakam dan Pengadilan Tinggi (PT) Medan, atas gugatan kepemilikan hak atas tanah di kawasan komplek tersebut.

Hal tersebut dikatakan Nila Shinta Waty, mewakili 130 Kepala Keluarga (KK) tersebut. Warga didampingi Afrizon SH MH & Rekan, selaku kuasa hukum yang tergabung dalam Tim Pembela Warga Komplek Perumahan Abdul Hamid Nasution di Medan, Selasa (30/10) sore.

Afrizon menjelaskan, pihaknya sebagai penggugat keberatan atas keputusan Judex Factie PT Medan Perkara Reg. No. 202/PDT/201/PT.Mdn tanggal 15 Agustus 2018. Putusan itu telah menguatkan putusan PN Lubukpakam dengan perkara Reg. No. 100/Pdt.G/2017/PN.Lbp atas perkara kepemilikan hak atas tanah yang diklaim milik Kodam I/BB sebagai tergugat/termohon.

“Kita menggugat atas hak tanah (objek gugatan) bersumber dari tanah adat privat berdasarkan Surat Grant No. 872 Tahun 1937 atas nama Aje Sebeh/Aje Asban yang diklaim tergugat dengan sertifikat hak pakai (SHP) No. 19 Tahun 2017 yang bersumber dari alas hak dasar yang tidak jelas dan sangat diragukan keabsahannya,” tegas Afrizon.

“Makanya belum adanya kepastian hukum dari PN Lubukpakam dan PT Medan itu jelas keliru,” tambahnya.

Mengapa alas hak SHP tanah seluas 22 hektar itu diragukan? Karena saat proses menggugat pihak tergugat bisa menerbitkan SHP, bahkan terbitnya hanya dalam tempo 3 hari.

“Padahal kalau di atas 10 hektar tanah harus lebih dulu mendapatkan izin dari BPN. Makanya kami menilai ini penuh kejanggalan,” katanya.

Selain itu, pihaknya menyoroti pihak tergugat yang dikatakan sudah memberikan ganti rugi kepada Pak Kacung yang merupakan warga menumpang di komplek itu.

“Pak Kacung itu jualan lontong dan menumpang di situ, jadi aneh juga kalau ganti rugi itu diberikan kepadanya,” ucapnya.

Maka dengan kejanggalan itu semua, warga menilai PN Lubukpakam dan PT Medan sangat keliru. Karena tidak ada kepastian hukum yang diberikan bagi penggugat dan tergugat.

“Ini kan berarti ada kekeliruan. Kenapa keliru, karena pengadilan tidak berani mengambil putusan yang tegas. Ya bisa saja, karena ini menyangkut aparat negara,” bebernya.

Oleh sebab itu, pihaknya kini berharap MA dapat memberikan kepastian hukum. Karena menilai dua putusan ini cacat hukum.

“Sekali lagi kami tegaskan kalau PT menguatkan putusan PN tapi pertimbangannya tidak ada, maka yang benar siapa, untuk itu lah kami tempuh jalur kasasi ini ke MA agar dapat kepastian hukum. Kami ingin objektif, kalau kalah ya kalahkan saja jadi kita tahu kepastian hukumnya,” pungkas Afrizon.

Sementara, Nila Shinta Waty bersama ratusan warga lainnya yang mengaku dizholimi berharap MA memberikan kepastian hukum nantinya.

“Ya kami berharap ada kepastian hukum, karena kami tinggal disana mulai dari tahun 60′ an. Tapi mengapa tiba-tiba mereka mengambil tanah dan bangunan kami dengan surat alas hak yang janggal,” tandasnya.(man/ala)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru