31 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Sabar dan Syukur

Dua kata di atas merupakan kata yang sering diucapkan dan disarankan jika seseorang mendapatkan nikmat atau musibah. Sesungguhnya dua kata itu adalah pasangan sikap yang digolongkan sebagai salah satu bekal hidup seorang muslim dalam mengarungi kehidupan.

Namun sering kali kedua kata itu mengalami banyak pengurangan makna sehingga artinya menyempit. Dengan membawa arti yang telah menyempit itu, seseorang menjadi lupa akan fungsinya sebagai bekal hidup, padahal hidup  itulah sebenar-benarnya cobaan. Jika nafas terakhir telah dihembuskan, maka cobaan itu baru telah berakhir.
Jika hidup itu merupakan cobaan, maka cobaan dalam kehidupan itu sebenar-benarnya terdiri dari dua bagian pula, yakni sesuatu yang tidak mengenakkan yakni musibah, dan sesuatu yang mengenakkan yakni nikmat. Sebenar-sebenarnya diantara keduanya, nikmat itu selalu tak terputus dalam kehidupan, salah satu contoh: selama hidup tentu hampir tak terputus kenikmatan yang sangat dekat dengan kelopak mata kita, yakni oksigen yang masuk melalui kedua lubang hidung. Sedangkan musibah datangnya tidak menentu atau terputus-putus.

Ada dua pengertian sabar yakni cobaan itu hanyalah sesuatu yang tidak mengenakkan atau musibah saja. Jika musibah itu telah lewat dan tidak datang lagi baik dalam bentuk yang sama atau lainnya, maka dianggap tidak ada cobaan dalam hidup, padahal cobaan berupa nikmat itu terus mengalir deras dalam kehidupan. Coba simak ayat berikut ini:

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Al-Anbiya’: 35)

Kedua, terjadi salah pengertian bahwa di antara kedua jenis cobaan itu musibah adalah yang berat. Sesungguhnya tidak, nikmat juga adalah cobaan yang berat karena rentan menimbulkan lupa dan menjauhkan diri dari Tuhannya, bahkan jika manusia itu semakin parah merespon nikmat itu dengan gelimang dosa, maka tidak disadari bahwa nikmat itu sebenarnya telah berubah menjadi istidraj.

Simaklah arti istidraj seperti ini: Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. (Surah Al-A’raf:182)
Jika Allah menistidrajkan hambanya membawa arti/makna setiap kali hambaNya (insan) membuat/ menambah/ membaharui kesalahan yang baru maka setiap kali itu juga Allah akan membuat/ menambah/ membaharui nikmatNya ke atas hambaNya itu dan setiap itu juga Allah membuatkan hambaNya itu lupa untuk memohon ampun atas dosa yang dilakukan terhadapnya (dibiarkan bergelimang dosa) dan setiap itu juga Allah akan mengambilnya sedikit demi sedikit(ansur-ansur) dan Allah tidak mengambilnya dengan cara yang mengejutkan.

Kembali ke topik bahasan, dengan arti cobaan yang tidak salah kaprah yakni cobaan terdiri dari 2 jenis, yakni musibah dan nikmat,  maka dua respon yang merupakan bekal hidup dari manusia adalah merespon musibah dengan sabar dan merespon nikmat dengan syukur. Pembahasan selanjutnya akan dijelaskan lebih lanjut di bawah ini….
Seringkali jika kita marah atau sedang ditimpa sakit atau musibah lalu teman kita mengingatkan kita agar sabar. Tindakan teman kita itu sangatlah benar, hanya apakah kita sudah benar memaknai arti sabar tersebut? Sedangkan terdapat satu ayat singkat yang bermakna bahwa sabar itu bukan sekedar tindakan yang tergolong “rendahan”
Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Al-Baqarah: 153)

Sangat sering sekali kita melihat seseorang melakukan ungkapan rasa syukur dengan kalimat “Alhamdulillah”. Hal ini sangat tepat sekali. Namun sebenar-benarnya ungkapan kalimat itu diucapkan dengan sinkronisasi antara ucapan, hati dan pikiran, maka ungkapan kalimat itu akan menimbulkan kekuatan yang dahsyat dalam perbuatan-perbuatanya yang merupakan manifestasi rasa syukur itu.

Sekarang bayangkan, jika Anda menjadi suatu hari menjadi orang yang benar-benar tidak berdaya dan membutuhkan pertolongan. Kemudian anda benar-benar hampir berputus asa, lalu datanglah seseorang memberi pertolongan yang anda benar-benar harapkan dengan tanpa pamrih. Kemudian, anda terbebas dari masa sulit. Apa yang anda akan lakukan terhadap sang penolong Anda? Sudah pasti itu adalah rasa terima kasih. Rasa terima kasih itu tentu saja pertama kali diungkaplan lewat ucapan. Kemudian jika sang penolong dengan rasa kemanusiaan yang tinggi terus menolong kita sampai kita menjadi orang dengan keadaan yang mapan, sudah barang tentu saja rasa terima kasih itu akan semakin menjadi-jadi dalam diri kita. Tentu saja kita teramat sungkan jika hanya memberikan ucapan terima kasih, sedangkan membalas pertolongannya yang banyak kita tak akan mampu. Akhirnya tentu saja kita berusaha agar tetap terjalin hubungan silahturahmi yang baik dengan sang penolong, kita berusaha membalas budi dengan cara lain yang spontan, apapun itu karena rasa terima kasih yang tiada terkira itu.

Jika analogi di atas dimodifikasi sedikit, bahwa Sang Penolong itu adalah Allah, Dzat Yang Maha Kaya, Yang Memberikan kita nikmat terus-menerus yang jelas-jelas kita tidak akan mampu membalasNya. Lalu Analogi di atas pun berlaku. Setelah berucap terima kasih, apakah kita sama sekali tidak sungkan untuk melakukan wujud terima kasih yang nyata? Tentu saja wujud terima kasih itu adalah ibadah atau amalan yang baik. Jadi Kita melakukan ibadah atau amalan seyogyanya adalah karena rasa syukur kita atas nikmat yang besar dan tak terkira, bahkan tidak mungkin terbalas.(net/jpnn)

Dua kata di atas merupakan kata yang sering diucapkan dan disarankan jika seseorang mendapatkan nikmat atau musibah. Sesungguhnya dua kata itu adalah pasangan sikap yang digolongkan sebagai salah satu bekal hidup seorang muslim dalam mengarungi kehidupan.

Namun sering kali kedua kata itu mengalami banyak pengurangan makna sehingga artinya menyempit. Dengan membawa arti yang telah menyempit itu, seseorang menjadi lupa akan fungsinya sebagai bekal hidup, padahal hidup  itulah sebenar-benarnya cobaan. Jika nafas terakhir telah dihembuskan, maka cobaan itu baru telah berakhir.
Jika hidup itu merupakan cobaan, maka cobaan dalam kehidupan itu sebenar-benarnya terdiri dari dua bagian pula, yakni sesuatu yang tidak mengenakkan yakni musibah, dan sesuatu yang mengenakkan yakni nikmat. Sebenar-sebenarnya diantara keduanya, nikmat itu selalu tak terputus dalam kehidupan, salah satu contoh: selama hidup tentu hampir tak terputus kenikmatan yang sangat dekat dengan kelopak mata kita, yakni oksigen yang masuk melalui kedua lubang hidung. Sedangkan musibah datangnya tidak menentu atau terputus-putus.

Ada dua pengertian sabar yakni cobaan itu hanyalah sesuatu yang tidak mengenakkan atau musibah saja. Jika musibah itu telah lewat dan tidak datang lagi baik dalam bentuk yang sama atau lainnya, maka dianggap tidak ada cobaan dalam hidup, padahal cobaan berupa nikmat itu terus mengalir deras dalam kehidupan. Coba simak ayat berikut ini:

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Al-Anbiya’: 35)

Kedua, terjadi salah pengertian bahwa di antara kedua jenis cobaan itu musibah adalah yang berat. Sesungguhnya tidak, nikmat juga adalah cobaan yang berat karena rentan menimbulkan lupa dan menjauhkan diri dari Tuhannya, bahkan jika manusia itu semakin parah merespon nikmat itu dengan gelimang dosa, maka tidak disadari bahwa nikmat itu sebenarnya telah berubah menjadi istidraj.

Simaklah arti istidraj seperti ini: Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. (Surah Al-A’raf:182)
Jika Allah menistidrajkan hambanya membawa arti/makna setiap kali hambaNya (insan) membuat/ menambah/ membaharui kesalahan yang baru maka setiap kali itu juga Allah akan membuat/ menambah/ membaharui nikmatNya ke atas hambaNya itu dan setiap itu juga Allah membuatkan hambaNya itu lupa untuk memohon ampun atas dosa yang dilakukan terhadapnya (dibiarkan bergelimang dosa) dan setiap itu juga Allah akan mengambilnya sedikit demi sedikit(ansur-ansur) dan Allah tidak mengambilnya dengan cara yang mengejutkan.

Kembali ke topik bahasan, dengan arti cobaan yang tidak salah kaprah yakni cobaan terdiri dari 2 jenis, yakni musibah dan nikmat,  maka dua respon yang merupakan bekal hidup dari manusia adalah merespon musibah dengan sabar dan merespon nikmat dengan syukur. Pembahasan selanjutnya akan dijelaskan lebih lanjut di bawah ini….
Seringkali jika kita marah atau sedang ditimpa sakit atau musibah lalu teman kita mengingatkan kita agar sabar. Tindakan teman kita itu sangatlah benar, hanya apakah kita sudah benar memaknai arti sabar tersebut? Sedangkan terdapat satu ayat singkat yang bermakna bahwa sabar itu bukan sekedar tindakan yang tergolong “rendahan”
Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Al-Baqarah: 153)

Sangat sering sekali kita melihat seseorang melakukan ungkapan rasa syukur dengan kalimat “Alhamdulillah”. Hal ini sangat tepat sekali. Namun sebenar-benarnya ungkapan kalimat itu diucapkan dengan sinkronisasi antara ucapan, hati dan pikiran, maka ungkapan kalimat itu akan menimbulkan kekuatan yang dahsyat dalam perbuatan-perbuatanya yang merupakan manifestasi rasa syukur itu.

Sekarang bayangkan, jika Anda menjadi suatu hari menjadi orang yang benar-benar tidak berdaya dan membutuhkan pertolongan. Kemudian anda benar-benar hampir berputus asa, lalu datanglah seseorang memberi pertolongan yang anda benar-benar harapkan dengan tanpa pamrih. Kemudian, anda terbebas dari masa sulit. Apa yang anda akan lakukan terhadap sang penolong Anda? Sudah pasti itu adalah rasa terima kasih. Rasa terima kasih itu tentu saja pertama kali diungkaplan lewat ucapan. Kemudian jika sang penolong dengan rasa kemanusiaan yang tinggi terus menolong kita sampai kita menjadi orang dengan keadaan yang mapan, sudah barang tentu saja rasa terima kasih itu akan semakin menjadi-jadi dalam diri kita. Tentu saja kita teramat sungkan jika hanya memberikan ucapan terima kasih, sedangkan membalas pertolongannya yang banyak kita tak akan mampu. Akhirnya tentu saja kita berusaha agar tetap terjalin hubungan silahturahmi yang baik dengan sang penolong, kita berusaha membalas budi dengan cara lain yang spontan, apapun itu karena rasa terima kasih yang tiada terkira itu.

Jika analogi di atas dimodifikasi sedikit, bahwa Sang Penolong itu adalah Allah, Dzat Yang Maha Kaya, Yang Memberikan kita nikmat terus-menerus yang jelas-jelas kita tidak akan mampu membalasNya. Lalu Analogi di atas pun berlaku. Setelah berucap terima kasih, apakah kita sama sekali tidak sungkan untuk melakukan wujud terima kasih yang nyata? Tentu saja wujud terima kasih itu adalah ibadah atau amalan yang baik. Jadi Kita melakukan ibadah atau amalan seyogyanya adalah karena rasa syukur kita atas nikmat yang besar dan tak terkira, bahkan tidak mungkin terbalas.(net/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/