Oleh:
Drs H Hasan Maksum Nasution SH SPdI MA
Sebagai suatu kejahatan luar biasa, korupsi memiliki banyak wajah. Dalam sektor produksi, korupsi ada dari hulu sampai hilir. Dari anak-anak sekolah sampai presiden, dari konglomerat sampai kyai.
Oleh karena itu, upaya menundukkan korupsi memerlukan suatu strategi yang terpadu. Artinya, pemberantasan korupsi harus melibatkan semua pilar masyarakat. Pilar masyarakat adalah manusia (individu) dan sistem aturan yang berlaku. Karena itu, korupsi akan lebih efektif diberantas, perlu dilakukan langkah-langkah yang terpadu.
Budaya Korupsi Lahan Subur
Budaya korupsi seakan memperoleh lahan subur, karena sifat masyarakat kita sendiri yang lunak, sehingga pesimisif terhadap berbagai penyimpangan moral dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, korupsi dianggap sebagai perkara biasa yang wajar terjadi dalam kehidupan para penguasa dan pengelola kekuasaan yang ada.
Sejak dahulu kala, para penguasa dan pengelola kekuasaan, selalu cenderung korup, karena bisnisnya ya kekuasaan itu sendiri. Penguasa bukanlah pekerja professional yang harus pintar, cerdas dan rajin, tidak digajipun mereka mau asal mendapatkan kekuasaan, karena kekuasaan akan mendatangkan kekayaan dengan sendirinya.
Korupsi bukanlah hanya persoalan hukum, tapi juga merupakan persoalan sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama. Realitas sosial yang timpang, kemiskinan rakyat yang meluas serta tidak memadainya gaji dan upah yang diterima seorang pekerja, merebaknya nafsu politik kekuasaan, budaya jalan pintas dalam mental suka menerobos aturan serta depolitisasi agama yang makin mendangkalkan iman, semuanya itu telah membuat korupsi semakin subur dan sulit diberantas, disamping karena banyaknya lapisan masyarakat dan komponen bangsa yang terlibat dalam tindak korupsi. Karena itu dekonstruksi sosial tak bisa diabaikan begitu saja dan kita perlu merancang dan mewujudkan dalam masyarakat baru yang anti korupsi.
Tobat Komitmen Transdental
Dekonstruksi sosial memerlukan tekat masyarakat sendiri untuk keluar dari jalur kehidupan yang selama ini telah menyengsarakannya, dalam hal ini perlu tobat nasional untuk memperbaharui sikap hidup masyarakat yang anti korupsi, karena korupsi ternyata telah menyengsarakan bangsa ini secara keseluruhan.
Tobat dalam agama adalah kesadaran total untuk tak mengulangi perbuatannya, karena memang perbuatan itu telah mencelakakan dirinya dalam dosa. Dengan tobat, dia akan menjadi manusia baru yang bebas dari pengulangan dosa-dosa lama yang telah diperbuatnya.
Jadi, hal yang paling utama untuk memberantas korupsi ialah harus dimulai dari keluarga. Firman Allah dalam surat At-Tahrim 6: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” generasi muda sejak dini harus dibekali pendidikan agama (moral dan etika). Masalah korupsi itu sebenarnya adalah moral kita, hati nurani kita, jika kita terdidik dari awal dalam keluarga di rumah, maka korupsi akan kita tolak dan akan takut untuk melaksanakannya.
Tobat bukanlah basa-basi, tetapi komitment transdental untuk menembus dan memasuki kehidupan baru yang lebih baik. Dan tanpa tobat rasanya pemberantasan korupsi seperti benang kusut yang sulit mengurainya, tobat diperlukan untuk memotong budaya korupsi yang selama ini telah menjadi cara hidup berpikir dan berprilaku masyarakat untuk mendapatkan kekayaan.
Tobat harus dimulai dari imamnya yaitu para pemimpin yang berada dipuncak kekuasaan, sehingga pemimpin yang bersih dan berketeladanan dapat menjadi rujukan prilaku rakyatnya. Pemimpin yang satu-nya kata dan perbuatan, yang dengan rendah hati bersedia melayani rakyatnya, karena sesungguhnya seorang pemimpin adalah pelayan rakyatnya. Pemimpin yang cerdas yang mampu membaca tanda tanda zaman untuk membawa rakyatnya ke arah masa depan yang lebih baik, jelas dan terukur. Pemimpin yang tidak bertopeng atas kekuasaannya, sehingga denyut dan jeritan rakyatnya segera tertangkap oleh hati nuraninya yang tidak bertopeng.
Korupsi Bisnis Tertutup
Korupsi adalah bisnis tertutup, mirip transaksi dan obat terlarang lainnya. Praktik korupsi mengandalkan kerahasiaan, kolusi dan sedikitnya kepercayaan, bahwa transaksi haram itu tidak akan bocor ke luar. Dalam kasus-kasus yang mencolok, korupsi jarang dilaksanakan secara terbuka, persis bakteri yang berkembang biak di lingkungan yang hangat dan gelap. Beginilah korupsi, beroperasi dan berkembang biak di lingkungan yang bersahabat. Korupsi tidak pernah berhenti berkembang biak dalam suatu siklus reproduksi yang sulit di deteksi.
Kita merasa bangga, bila Polda Sumut akan berusaha meningkatkan kinerja secara professional terhadap penanganan dan pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi. Apalagi dengan adanya kewenangan Polri sebagai penyelidik yang di atur dalam UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
Dalam hal ini kita harapkan, total kasus tindak pidana korupsi yang ditangani sejajaran Dit Reskrim Polda Sumut priode 2006- 2010 sebanyak 125 kasus dan yang selesai atau kirim ke JPU (HAP II) sebanyak 68 kasus serta tunggakan sebanyak 57 kasus dapat diperkecil, sehingga tingkat korupsi yang tersohor di Sumut dapat diredam. Polda Sumut diharapkan dapat menangani secara serius budaya korupsi ini, karena korupsi tidak akan berkurang hanya dengan kata-kata. Korupsi di Indonesia pada umumnya dan di Sumut pada khususnya sudah menjadi sedemikian kompleks.
Meretas Budaya Korupsi
Tanpa mengurangi rasa hormat, kepada Presiden hendaklah secara step by step melakukan percepatan pemberantasan korupsi. Kita perlu merenungkan kembali dengan jernih, apakah pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan tanpa dekonstruksi sosial? Semua proses hukum perlu ditegakkan tanpa pandang bulu, tapi tak akan pernah cukup, karena betapa sulitnya mencari bukti dan defenisi, seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Menurut Klitgaard, meretas budaya korupsi, mempunyai dua bidang kerja yang saling berkaitan, pertama, bagaimana mengacaukan iklim kepercayaan serta keyakinan yang memungkinkan berlansungnya transaksi-transaksi korup, karena korupsi memang beroperasi secara tertutup, rahasia dan mengandalkan kepercayaan tidak akan bocor keluar. Kedua, melawan sinisme publik, karena kata-kata sudah terlampau murah, langkah pertama yang pas adalah menangkap ikan besar (koruptor kelas kakap). Dalam budaya korupsi, ikan teri yang terlihat korupsi hanya sedikit pengaruhnya, tapi jika keseriusan memberantas korupsi itu ditunjukkan melalui apa yang disebut Klitgaard “dengan menggoreng ikan besar di depan umum” yang diikuti dengan pengumuman perubahan – perubahan kebijakan untuk melawan korupsi, maka mau tidak mau akan berpengaruh besar terhadap sikap masyarakat terhadap korupsi.
Sebagai suatu kejahatan luar biasa, korupsi memiliki banyak wajah. Bahwa ada individu yang memang bejat, ingin kaya secara instan atau setidaknya dapat harta dengan jalan pintas, itu memang kenyataan di dunia ini. Orang selalu dalam ketakutan akan ditipu atau dalam semangat ingin menipu, kalau sudah begitu tidak ada lagi hubungan antara manusia baik berdagang maupun menikah.
Akhirnya kepercayaan terhadap pentingnya kerja keras, kejujuran dan kepandaian semakin memudar, karena kenyataan dalam kehidupan masyarakat menunjukkan yang sebaliknya. Banyak mereka yang bekerja keras, jujur dan pandai, tetapi ternyata bernasib buruk, hanya karena mereka datang dari kelompok yang tak beruntung, seperti petani, kaum buruh dan guru. Akibatnya kepercayaan rakyat terhadap rasionalitas intelektual menurun, karena hanya di pakai cara elite untuk membodohi kehidupan mereka saja.
Untuk membangun individu, Islam mewajibkan bagi pemeluknya untuk salat, membayar zakat dan puasa ramadhan, juga mensyaratkan setiap muslim untuk berakhlak karimah. Islam mewajibkan dakwah, saling menasihati dan amar ma’ruf nahi mungkar.(*)
Penulis adalah Dosen STAI Sumatera, PTI Al Hikmah dan STAI RA Batangkuis