“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat “. (Al-Baqarah: 214).
Musibah adalah perkara yang tidak disukai oleh setiap manusia. Berkata Imam al-Qurthubi: “Musibah adalah segala apa yang mengganggu seorang Mu’min dan yang menimpanya”. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an 2/175).
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan pada dirinya, maka Dia timpakan bencana kepada-Nya”. (HR. Al-Bukhari).
Allah swt telah menjelaskan dalam al-Qur’an: Ujian dan cobaan yang menimpa manusia ada berbagai macam bentuknya, adakala dengan ketakutan, kelaparan, kemiskinan, kematian, dsb. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 155:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di berkata, “Allah mengabarkan bahwa Dia akan memberikan berbagai ujian kepada para hamba-Nya, agar nampak jelas (diantara para hamba tsb) siapakah yang jujur (dalam keimanannya) dan siapa yang berdusta, siapakah yang selalu berkeluh kesah dan siapa yang bersabar. Demikianlah sunnatullah, karena manakala keadaan suka semata yang selalu mengiringi orang beriman tanpa adanya tempaan dan ujian, maka akan muncul ketidakjelasan dan ini tentunya bukanlah suatu hal yang positif, sementara hikmah Allah menghendaki adanya sinyal pembeda antara orang-orang baik (ahlu al-khair) dan orang-orang jahat (ahlu as-syar). Itulah fungsi dari tempaan dan ujian, bukan dalam rangka melenyapkan keimanan orang-orang yang beriman dan bukan pula untuk menjadikan mereka murtad. Sesungguhnya Allah swt tidak akan menyia-nyiakan keimanan para hamba-Nya yang beriman”. (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal.58).
Ath-Thabari menjelaskan: “Ini adalah pemberitaan dari Allah swt kepada para pengikut Rasul-Nya, bahwa Ia akan menguji mereka dengan perkara-perkara yang berat, supaya nyata diketahui orang yang mengikuti Rasul-Nya dan orang yang berpaling”. (Jami’ul Bayan 2/41).
Perkara-perkara berat bagi siapapun pasti menimbulkan kesedihan dan segala sesuatu yang menimpa manusia, entah berupa kebaikan maupun keburukan, kesenangan ataupun kesusahan, kegembiraan atau kesedihan, semua itu merupakan sesuatu yang telah ditakdirkan dan ditetapkan Allah swt.
Firman Allah surat Al-Hadiid ayat 22: “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”
Segala taqdir telah Allah tentukan sejak 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Rasulullah bersabda: “Allah telah menulis taqdir seluruh mahluk (pada kitab Lauh Mahfudz) 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi”. (HR: Muslim dari sahabat Amr bin ‘Ash).
Seorang hamba tidak punya kemampuan untuk menahan atau mendapatkan kemaslahatan dan menolak segala kemadharatan meskipun memiliki kedudukan tinggi dan kekuasaan yang luas, karena itu tetap saja dikatakan fakir, lemah dan sangat bergantung (membutuhkan).
Dalam menghadapi cobaan dan musibah ini, manusia terbagi menjadi 4 reaksi:
Pertama: Marah, yaitu ketika menghadapi musibah dia marah dengan hatinya, seperti benci terhadap Rabb-nya dan marah terhadap taqdir Allah atasnya dan kadang-kadang sampai kepada tingkat kekufuran karena apa yang keluar dari perilakunya itu.
Allah swt berfirman: “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi, maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat yang demikian itu adalah kerugian yang nyata”. (QS: Al-Hajj: 11).
Sumber: Buletin Mimbar Jumat