25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Rumus Meraih Ikhlas

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS.Al-Bayyinah [98] :5)

Secara bahasa ikhlas berasal dari kata kholasha, khulushon, khalashon berarti murni dan terbebas dari kotoran. Kata ikhlas menunjukkan makna murni, bersih, terbebas dari segala sesuatu yang mencampuri dan mengotorinya. Maksudnya, ikhlas itu mengesampingkan pandangan manusia dengan senantiasa mengarahkan tujuan segala aspek hidupnya hanya kepada Allah SWT.

Di pertengahan bulan yang mulia ini, semestinya ibadah kita semakin dikuatkan dari hari-hari sebelumnya. Terutama menjelang 10 hari terakhir, di mana terdapat sunnah rasul saw dalam mengisinya dengan i’tikaf. Dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT ini, jangan sampai diabaikan perhatian kita terhadap niat di hati atas segala amal perbuatan.

Benar-benar harus disertai dengan keikhlasan yang tulus. Mengapa demikian? Karena Allah SWT hanya akan menerima amal seorang hamba jika amal itu disertai ikhlas karena Allah SWT.  Berikut ini rumus yang bisa kita jalankan untuk meraih keikhlasan:

  1. Jangan ingin dilihat orang lain. Seringkali ketika ada yang melihat maka ibadahnya lebih khusyuk, namun jika tidak ada maka ibadah biasa saja. Inilah salah satu penyakit riya.
  2. Jangan ingin diketahui. Bila beramal, cukuplah Allah saja yang mengetahui, orang lain tidak perlu tahu. Orang-orang tidak tertarik dengan apa yang kita ceritakan tentang pribadi kita. Buat apa segala diceritakan, lalu mau apa? Mari belajar untuk menahan diri dari amal-amal yang lebih baik dirahasiakan saja.
  3. Jangan ingin dipuji.  Dipuji semangat, tidak dipuji patah semangat. Orang yang ikhlas tidak berefek adanya pujian atau cacian.

Suatu saat di Malaysia, ada seorang ibu rumah tangga yang tengah shalat dhuha, lalu ada telepon yang masuk, dan yang menerima anaknya. Ibu yang shalat dhuha merasa bangga disampaikan oleh anaknya bahwa ia tengah dhuha. Namun, di sore harinya, ia shalat ashar sangat telat hingga menjelang maghrib, ketika ada telepon masuk, ia pun merasa malu, karena takut dicibir orang karena telat shalat.

Allah Maha Tahu hati kita ke mana-mana, orang yang ikhlas dipuji akan merasa malu, dan ketika ada yang mencaci tidak merasa sedih, karena ia tahu caciannya masih lebih baik daripada dirinya sesungguhnya. Nafsu saja yang membuat senang pujian. Padahal pujian hanya sebatas suara.

4. Jangan ingin dihargai. Diperlakukan istimewa bisa membuat diri lebih sengsara. Biasanya hal ini terjadi pada mereka yang memiliki jabatan yang tinggi. Padahal, sebaiknya kita tidak sibuk mencari pengakuan orang lain, namun lebih sibuk berusaha mendapatkan penerimaan terhadap kebaikan yang kita lakukan dari Allah.

Keinginan diperlakukan istimewa itu bisa menjadi ketagihan seperti narkoba. Ia tidak mau kehilangan kekuasaannya. Takut kehilangan penghormatan, maka ketika sudah pensiun, muncullah post power syindrome.

Rasul saw yang sempurna ingin diperlukan biasa-biasa saja. Rasul saw masuk ke mesjid, tidak ada sahabatnya yang berdiri. Rasulullah saw saat penakulukkan kota Mekah terlihat merunduk kepala beliau, tidak merasa sudah menang, sehingga berlaku sombong. Kalau kita di kantor berlagak sombong, tentu karyawan lain akan mendoakan dirinya dimutasi.

5. Jangan ingin dibalas budi Tidak perlu kita berbuat kebaikan kemudian ingin mendapat balas budi, walau hanya ucapan terima kasih. Allah SWT pasti membalas dengan sempurna.

Siapa yang menjadi jalan, itu merupakan ujian dari Allah SWT. Tidak bisa berbohong di hadapan Allah, tidak boleh tertarik dari apa pun yang ada di makhluk, mesti lillahita’ala. Sesungguhnya barang siapa yang benar-benar murni tulus pasti tidak akan membutuhkan pengakuan atau penilaian apapun dari selain Allah SWT. Bila kita puas hanya dengan penilaian Allah SWT, niscaya akan sangat tentram hatinya Sayyidina Ali r.a berkata, “Seseorang yang lahir dan batinnya, juga ucapan dan amalnya serasi, maka dia telah menunaikan amanah Ilahi serta telah melaksanakan ibadah secara ikhlas”. (*)

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS.Al-Bayyinah [98] :5)

Secara bahasa ikhlas berasal dari kata kholasha, khulushon, khalashon berarti murni dan terbebas dari kotoran. Kata ikhlas menunjukkan makna murni, bersih, terbebas dari segala sesuatu yang mencampuri dan mengotorinya. Maksudnya, ikhlas itu mengesampingkan pandangan manusia dengan senantiasa mengarahkan tujuan segala aspek hidupnya hanya kepada Allah SWT.

Di pertengahan bulan yang mulia ini, semestinya ibadah kita semakin dikuatkan dari hari-hari sebelumnya. Terutama menjelang 10 hari terakhir, di mana terdapat sunnah rasul saw dalam mengisinya dengan i’tikaf. Dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT ini, jangan sampai diabaikan perhatian kita terhadap niat di hati atas segala amal perbuatan.

Benar-benar harus disertai dengan keikhlasan yang tulus. Mengapa demikian? Karena Allah SWT hanya akan menerima amal seorang hamba jika amal itu disertai ikhlas karena Allah SWT.  Berikut ini rumus yang bisa kita jalankan untuk meraih keikhlasan:

  1. Jangan ingin dilihat orang lain. Seringkali ketika ada yang melihat maka ibadahnya lebih khusyuk, namun jika tidak ada maka ibadah biasa saja. Inilah salah satu penyakit riya.
  2. Jangan ingin diketahui. Bila beramal, cukuplah Allah saja yang mengetahui, orang lain tidak perlu tahu. Orang-orang tidak tertarik dengan apa yang kita ceritakan tentang pribadi kita. Buat apa segala diceritakan, lalu mau apa? Mari belajar untuk menahan diri dari amal-amal yang lebih baik dirahasiakan saja.
  3. Jangan ingin dipuji.  Dipuji semangat, tidak dipuji patah semangat. Orang yang ikhlas tidak berefek adanya pujian atau cacian.

Suatu saat di Malaysia, ada seorang ibu rumah tangga yang tengah shalat dhuha, lalu ada telepon yang masuk, dan yang menerima anaknya. Ibu yang shalat dhuha merasa bangga disampaikan oleh anaknya bahwa ia tengah dhuha. Namun, di sore harinya, ia shalat ashar sangat telat hingga menjelang maghrib, ketika ada telepon masuk, ia pun merasa malu, karena takut dicibir orang karena telat shalat.

Allah Maha Tahu hati kita ke mana-mana, orang yang ikhlas dipuji akan merasa malu, dan ketika ada yang mencaci tidak merasa sedih, karena ia tahu caciannya masih lebih baik daripada dirinya sesungguhnya. Nafsu saja yang membuat senang pujian. Padahal pujian hanya sebatas suara.

4. Jangan ingin dihargai. Diperlakukan istimewa bisa membuat diri lebih sengsara. Biasanya hal ini terjadi pada mereka yang memiliki jabatan yang tinggi. Padahal, sebaiknya kita tidak sibuk mencari pengakuan orang lain, namun lebih sibuk berusaha mendapatkan penerimaan terhadap kebaikan yang kita lakukan dari Allah.

Keinginan diperlakukan istimewa itu bisa menjadi ketagihan seperti narkoba. Ia tidak mau kehilangan kekuasaannya. Takut kehilangan penghormatan, maka ketika sudah pensiun, muncullah post power syindrome.

Rasul saw yang sempurna ingin diperlukan biasa-biasa saja. Rasul saw masuk ke mesjid, tidak ada sahabatnya yang berdiri. Rasulullah saw saat penakulukkan kota Mekah terlihat merunduk kepala beliau, tidak merasa sudah menang, sehingga berlaku sombong. Kalau kita di kantor berlagak sombong, tentu karyawan lain akan mendoakan dirinya dimutasi.

5. Jangan ingin dibalas budi Tidak perlu kita berbuat kebaikan kemudian ingin mendapat balas budi, walau hanya ucapan terima kasih. Allah SWT pasti membalas dengan sempurna.

Siapa yang menjadi jalan, itu merupakan ujian dari Allah SWT. Tidak bisa berbohong di hadapan Allah, tidak boleh tertarik dari apa pun yang ada di makhluk, mesti lillahita’ala. Sesungguhnya barang siapa yang benar-benar murni tulus pasti tidak akan membutuhkan pengakuan atau penilaian apapun dari selain Allah SWT. Bila kita puas hanya dengan penilaian Allah SWT, niscaya akan sangat tentram hatinya Sayyidina Ali r.a berkata, “Seseorang yang lahir dan batinnya, juga ucapan dan amalnya serasi, maka dia telah menunaikan amanah Ilahi serta telah melaksanakan ibadah secara ikhlas”. (*)

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/