26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Pacu Ulama Berpolitik Profetik

Mengingat kembali kekhalifaan Rasulullah  SAW dahulu, tentu nampak jelas, beliau bukanlah sekedar sosok pememimpin saja. Akan tetapi, beliau juga merupakan seorang politikus. Dengan membaur dan terjun langsung sebagai seorang politisilah, beliau mampu menciptakan peradaban lebih mudah ditengah-tengah masyarakat Arab pagan yang pada saat itu notabenenya adalah “jahiliyyah”.

Selain kegigihan dalam bidang politik, akhlak dan kejujurannya juga merupakan faktor pendorong dihormati dan diseganinya beliau sebagai suri teladan oleh masyarakat Arab yang mengimaninya, khususnya para sahabat.

Jika dilihat secara transparan, diakui atau tidak, Rasulullah  nampak begitu mudah menarik simpati masyarakat kala itu. Dan hal ini bukan dikarenakan beliau adalah seorang Nabi dan Rasul, melainkan dikarenakan kepribadiannya yang begitu mulia. Dengan begitu, tidak heran apabila pemerintahan saat ini dan kedepannya mendambakan sosok pemimpin yang demikian.

Namun, sosok yang lebih mendekati kepemimpinan ala Rasulullah , tentunya adalah seorang Ulama. Pasalnya, ulama adalah seseorang yang diidentik dengan orang yang paham dan mengerti agama secara radikal dan mendalam, terlebih, Ulama memiliki peran yang sangat besar diranah sosial (masyarakat), yakni sebagai panutan atau suri tauladan pengganti Rasulullah  SAW.

Kendati seorang ulama memiliki porsi keistemawaan di mata masyarakat, semua itu tidak dapat dijadikan sebagi alasan para ulama untuk berbuat semaunya. Atinya, ulama tersebut melakukan perbuatan yang keluar dari koridor  semestinya.

Diakui atau tidak, menjadi seorang ulama tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Sebab, setiap gerak-gerik yang mereka lakukan dapat dijadikan sebagai contoh prilaku, bahkan kepribadian oleh para pengikutnya. Baik perilaku baik (terpuji) maupun perbuatan buruk (tercela).
Oleh karena itu, sebagai seorang yang notabenenya adalah penjaga moral, sudah merupakan kewajiban bagi para ulama untuk memberikan contoh yang baik, layaknya Rasulullah  SAW dalam membawa umat manusia dari lembah kebiadaban menuju  surga peradaban.

Kekinian dan Kedisinian

“Dilema”, itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan keadaan dunia perpolitikan saat ini.  Mengapa demikian? Tentu hal ini dikarenakan carut marutnya dunia politik dalam ranah partai, khususnya pada saat menjelang pesta demokrasi (PEMILU). Sebagai saksi bisunya, banyak media, baik cetak maupun elektronik yang dinggembar-gemborkan oleh dunia perpolitikan yang sedemikian rupa.

Semakin gencarnya dunia perpolitikan tersebut, nampaknya salah satunya dikarenakan sistem perpolitikan yang kurang benar. Dalam hal ini, sebut saja sistem “Money Politic” yakni, politik uang. Hal ini biasanya dilakukan oleh para elite penguasa, baik yang kurang mengerti tentang agama (pejabat) maupun yang lebih mengerti tentang agama (Ulama), yaitu tidak lain untuk menarik perhatian dan simpati rakyat.

Jadi, tidak mengherankan apabila keadaan dunia perpolitikan kekinian dan kedisian khususnya di Indonesia hancur lebur. Pasalnya, sistem tersebut sudah menjadi tradisi dan merupakan hal yang lumrah bagi negara Indonesia pada saat menjelang agenda rutinitas lima tahunan (PEMILU), yaitu diiringi dengan praktik kotor (politik uang).

Disadari atau tidak, politik uang berefek sangat signifikan terhadap kehidupan bermasyarakat. Pasalnya, dengan mewabahnya praktik kotor tersebut, pada saat pesta demokrasi berlangsung, masyarakat akan memilih calon pemimpin sesuai yang diinginkan elite penguasa yang telah membelinya, bukan yang sesuai dengan hati nuraninya sendiri. Jjika demikian, maka penderitaanlah yang akan dialami oleh rakyat. Sebab, selama lima tahun kedepan akan dipimpin oleh pemimpin yang salah.

Disisi lain, jika dipandang secara agama, nampak  jelas bahwa agama melarang keras hal yang demikian. Sebagaimana sabda Nabi, “arrasyi wal murtasyi finnaar”, yakni orang yang menyogok dan yang disogok masuk neraka.

Namun, jika melihat dan merasakan perpolitikan Indonesia kekinian, tidak dapat dipungkiri diramaikan oleh politik uang, hal ini sangat ironis jika yang melakukan praktik syetan tersebut adalah seorang Ulama. Secara logika, sangat tidak rasional sekali. Sebab, seseorang yang dianggap mengerti dan paham agama secara mendalam melakukan perbuatan syetan layaknya seorang yang tidak berpendidikan dan berilmu. Jika demikian, apa bedanya seorang Ulama dengan pemimpin tak berpendidikan?

Seharusnya, dengan bekal ilmu yang telah dimiliki para Ulama dapat memberikan pencerahan terhadap para elite penguasa yang telah terjerumus kedalam jurang kenistaan politik uang. Bukan malah sebaliknya, yakni ikut serta melakukan perbuatan tersebut.

Selain itu, seharusnya dengan keberhasilan Rasulullah  sebagai pemimpin dan politisi dahulu, dapat dijadikan sebagai figur dan contoh kepemimpinan sekarang, yakni dengan mengimplementasikan nilai dan ajaran yang telah dilakukan dalam menciptakan peradaban.

Oleh karena itu, untuk memperbaiki keadaan politik yang semakin hari kian memprihatinkan, sudah saatnya para Ulama sadar bahwa politik uang adalah perbuatan tidak baik, selain merugikan dirinya sendiri juga merugikan orang lain.

Lebih dari itu, para Ulama harus memposisikan dirinya sebagaimana status dan kemampuan yang dimilikinya. Jangan karena ingin mendapat jabatan dan kekuasaan, para ulama menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.

Dengan begitu, perlahan tapi pasti, Ulama akan berpolitik profetik, terlebih dunia perpolitikan yang sempat mengalami keterperukan akan bangkit, dan pesta demokrasi yang akan digelar, khususnya 2014 nanti akan bebas dari jeratan politik uang (Money Politic). Wallahua’lam bi al-shawab.(*)

Penulis adalah Peraih Beasiswa Unggulan di Monash Institute Semarang dan Ketua Umum Komunitas Mahasiswa Madura (KoMMA) Semarang.

Mengingat kembali kekhalifaan Rasulullah  SAW dahulu, tentu nampak jelas, beliau bukanlah sekedar sosok pememimpin saja. Akan tetapi, beliau juga merupakan seorang politikus. Dengan membaur dan terjun langsung sebagai seorang politisilah, beliau mampu menciptakan peradaban lebih mudah ditengah-tengah masyarakat Arab pagan yang pada saat itu notabenenya adalah “jahiliyyah”.

Selain kegigihan dalam bidang politik, akhlak dan kejujurannya juga merupakan faktor pendorong dihormati dan diseganinya beliau sebagai suri teladan oleh masyarakat Arab yang mengimaninya, khususnya para sahabat.

Jika dilihat secara transparan, diakui atau tidak, Rasulullah  nampak begitu mudah menarik simpati masyarakat kala itu. Dan hal ini bukan dikarenakan beliau adalah seorang Nabi dan Rasul, melainkan dikarenakan kepribadiannya yang begitu mulia. Dengan begitu, tidak heran apabila pemerintahan saat ini dan kedepannya mendambakan sosok pemimpin yang demikian.

Namun, sosok yang lebih mendekati kepemimpinan ala Rasulullah , tentunya adalah seorang Ulama. Pasalnya, ulama adalah seseorang yang diidentik dengan orang yang paham dan mengerti agama secara radikal dan mendalam, terlebih, Ulama memiliki peran yang sangat besar diranah sosial (masyarakat), yakni sebagai panutan atau suri tauladan pengganti Rasulullah  SAW.

Kendati seorang ulama memiliki porsi keistemawaan di mata masyarakat, semua itu tidak dapat dijadikan sebagi alasan para ulama untuk berbuat semaunya. Atinya, ulama tersebut melakukan perbuatan yang keluar dari koridor  semestinya.

Diakui atau tidak, menjadi seorang ulama tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Sebab, setiap gerak-gerik yang mereka lakukan dapat dijadikan sebagai contoh prilaku, bahkan kepribadian oleh para pengikutnya. Baik perilaku baik (terpuji) maupun perbuatan buruk (tercela).
Oleh karena itu, sebagai seorang yang notabenenya adalah penjaga moral, sudah merupakan kewajiban bagi para ulama untuk memberikan contoh yang baik, layaknya Rasulullah  SAW dalam membawa umat manusia dari lembah kebiadaban menuju  surga peradaban.

Kekinian dan Kedisinian

“Dilema”, itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan keadaan dunia perpolitikan saat ini.  Mengapa demikian? Tentu hal ini dikarenakan carut marutnya dunia politik dalam ranah partai, khususnya pada saat menjelang pesta demokrasi (PEMILU). Sebagai saksi bisunya, banyak media, baik cetak maupun elektronik yang dinggembar-gemborkan oleh dunia perpolitikan yang sedemikian rupa.

Semakin gencarnya dunia perpolitikan tersebut, nampaknya salah satunya dikarenakan sistem perpolitikan yang kurang benar. Dalam hal ini, sebut saja sistem “Money Politic” yakni, politik uang. Hal ini biasanya dilakukan oleh para elite penguasa, baik yang kurang mengerti tentang agama (pejabat) maupun yang lebih mengerti tentang agama (Ulama), yaitu tidak lain untuk menarik perhatian dan simpati rakyat.

Jadi, tidak mengherankan apabila keadaan dunia perpolitikan kekinian dan kedisian khususnya di Indonesia hancur lebur. Pasalnya, sistem tersebut sudah menjadi tradisi dan merupakan hal yang lumrah bagi negara Indonesia pada saat menjelang agenda rutinitas lima tahunan (PEMILU), yaitu diiringi dengan praktik kotor (politik uang).

Disadari atau tidak, politik uang berefek sangat signifikan terhadap kehidupan bermasyarakat. Pasalnya, dengan mewabahnya praktik kotor tersebut, pada saat pesta demokrasi berlangsung, masyarakat akan memilih calon pemimpin sesuai yang diinginkan elite penguasa yang telah membelinya, bukan yang sesuai dengan hati nuraninya sendiri. Jjika demikian, maka penderitaanlah yang akan dialami oleh rakyat. Sebab, selama lima tahun kedepan akan dipimpin oleh pemimpin yang salah.

Disisi lain, jika dipandang secara agama, nampak  jelas bahwa agama melarang keras hal yang demikian. Sebagaimana sabda Nabi, “arrasyi wal murtasyi finnaar”, yakni orang yang menyogok dan yang disogok masuk neraka.

Namun, jika melihat dan merasakan perpolitikan Indonesia kekinian, tidak dapat dipungkiri diramaikan oleh politik uang, hal ini sangat ironis jika yang melakukan praktik syetan tersebut adalah seorang Ulama. Secara logika, sangat tidak rasional sekali. Sebab, seseorang yang dianggap mengerti dan paham agama secara mendalam melakukan perbuatan syetan layaknya seorang yang tidak berpendidikan dan berilmu. Jika demikian, apa bedanya seorang Ulama dengan pemimpin tak berpendidikan?

Seharusnya, dengan bekal ilmu yang telah dimiliki para Ulama dapat memberikan pencerahan terhadap para elite penguasa yang telah terjerumus kedalam jurang kenistaan politik uang. Bukan malah sebaliknya, yakni ikut serta melakukan perbuatan tersebut.

Selain itu, seharusnya dengan keberhasilan Rasulullah  sebagai pemimpin dan politisi dahulu, dapat dijadikan sebagai figur dan contoh kepemimpinan sekarang, yakni dengan mengimplementasikan nilai dan ajaran yang telah dilakukan dalam menciptakan peradaban.

Oleh karena itu, untuk memperbaiki keadaan politik yang semakin hari kian memprihatinkan, sudah saatnya para Ulama sadar bahwa politik uang adalah perbuatan tidak baik, selain merugikan dirinya sendiri juga merugikan orang lain.

Lebih dari itu, para Ulama harus memposisikan dirinya sebagaimana status dan kemampuan yang dimilikinya. Jangan karena ingin mendapat jabatan dan kekuasaan, para ulama menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.

Dengan begitu, perlahan tapi pasti, Ulama akan berpolitik profetik, terlebih dunia perpolitikan yang sempat mengalami keterperukan akan bangkit, dan pesta demokrasi yang akan digelar, khususnya 2014 nanti akan bebas dari jeratan politik uang (Money Politic). Wallahua’lam bi al-shawab.(*)

Penulis adalah Peraih Beasiswa Unggulan di Monash Institute Semarang dan Ketua Umum Komunitas Mahasiswa Madura (KoMMA) Semarang.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/