32 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Kewajiban Terhadap Harta

Diantara semua agama yang ada di dunia ini, hanya Islamlah satu-satunya agama yang tidak memisahkan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, sehingga ungkapan hikmah yang berbunyi, “ad-dunya mazra ‘atu al-akhirak” (dunia adalah tempat bercocok tanam untuk kepentingan akhirat) sangat populer di tengah-tengah muslim. Salah satu prinsip Islam dalam kehidupan duniawi ialah tentang kewajiban manusia terhadap harta benda.

Harta atau kebendaan yang dimaksud di sini adalah semua jenis benda dan barang untuk bekal hidup manusia, seperti pangan, sandang, papan, perhiasan dan sebagainya. Kewajiban manusia untuk menuntut dan mencari harta itu secara patut, berusaha dan bekerja dengan sungguh-sungguh, dengan selalu mengharapkan ridha Allah SWT.

Tidak boleh seseorang mencari harta itu dengan menjadikan dirinya sebagai pengemis atau peminta-minta, kecuali jika ia sudah benar-benar tidak bedaya.

Demikian pula Islam tidak membolehkan seseorang mencari dan mengumpulkan harta dengan penuh tipu daya, menyalahgunakan wewenang dan jabatan, dengan cara yang tidak halal, dan sebagainya.

Hikmah utama menjaga harga diri jangan sampai merendahkan derajat kemanusiaan, serta untuk memelihara jangan terjadi kerusakan dalam pergaulan manusia.

Orang yang mencari harta benda dengan cara penuh kecurangan itu adalah penipu. Orang yang mencari harta dengan mengandalkan meminta-minta, itu adalah mengemis. Seseorang yang menuntut dan mencari harta dengan jalan yang tidak halal, seperti berjudi, mencuri, riba (seperti, rentenir, deposito), memeras atau pungutan liar (pungli), maka itu adalah pencuri, penjudi dan pemeras.

Semua aktifitas menuntut harta seperti itu pada hakikatnya dapat menjatuhkan harga dirinya, sekaligus akan mendapat hukuman dari-Nya.
Islam sangat menghargai seseorang yang makan dan mencari harta dengan hasil kerjanya sendiri. Rasulullah Saw bersabda, “Tak ada satupun makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang, selain dari jerih payahnya”. (Bukhari dan Ahmad).

Mencari rezeki dengan cara yang halal, meski hasilnya sedikit dan dipandang hina oleh orang lain, justru dalam pandangan Islam itu lebih baik. Mereka yang mencari rezeki dengan cara yang halal seperti pedagang asongan atau pedagang kaki lima, jauh lebih terhormat dalam pandangan Allah, dari pada mereka yang berdasi dan berjas bekerja di ruangan AC, tetapi mencari harta dengan cara melakukan penyimpangan dan kecurangan terhadap amanah yang dipercayakan kepadanya.

Rasulullah Saw dalam sabdanya mengatakan, “Sesungguhnya akan lebih baik, bila seseorang diantaramu memasukkan tanah ke dalam mulutnya (makan tanah) dari pada ia memakan sesuatu yang diharamkan Allah” (HR. Baihaqi).

Benar, tidak dijumpai satu ayat pun dalam al-Quran yang mencela kekayaan dan orang yang mencari kekayaan dan orang yang mencari kaya sesuai dengan syariat yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.

Yang banyak disebutkan dalam al-Quran adalah celaan terhadap kekayaan’ yang dipergunakan untuk mendurhakai Allah. Atau mencela si pengumpul kekayaan yang serakah, tanpa menghiraukan kesengsaraan orang-orang disekitarnya.

Sumber: Buletin Mimbar Jumat No. 13 Th. XXIII

Diantara semua agama yang ada di dunia ini, hanya Islamlah satu-satunya agama yang tidak memisahkan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, sehingga ungkapan hikmah yang berbunyi, “ad-dunya mazra ‘atu al-akhirak” (dunia adalah tempat bercocok tanam untuk kepentingan akhirat) sangat populer di tengah-tengah muslim. Salah satu prinsip Islam dalam kehidupan duniawi ialah tentang kewajiban manusia terhadap harta benda.

Harta atau kebendaan yang dimaksud di sini adalah semua jenis benda dan barang untuk bekal hidup manusia, seperti pangan, sandang, papan, perhiasan dan sebagainya. Kewajiban manusia untuk menuntut dan mencari harta itu secara patut, berusaha dan bekerja dengan sungguh-sungguh, dengan selalu mengharapkan ridha Allah SWT.

Tidak boleh seseorang mencari harta itu dengan menjadikan dirinya sebagai pengemis atau peminta-minta, kecuali jika ia sudah benar-benar tidak bedaya.

Demikian pula Islam tidak membolehkan seseorang mencari dan mengumpulkan harta dengan penuh tipu daya, menyalahgunakan wewenang dan jabatan, dengan cara yang tidak halal, dan sebagainya.

Hikmah utama menjaga harga diri jangan sampai merendahkan derajat kemanusiaan, serta untuk memelihara jangan terjadi kerusakan dalam pergaulan manusia.

Orang yang mencari harta benda dengan cara penuh kecurangan itu adalah penipu. Orang yang mencari harta dengan mengandalkan meminta-minta, itu adalah mengemis. Seseorang yang menuntut dan mencari harta dengan jalan yang tidak halal, seperti berjudi, mencuri, riba (seperti, rentenir, deposito), memeras atau pungutan liar (pungli), maka itu adalah pencuri, penjudi dan pemeras.

Semua aktifitas menuntut harta seperti itu pada hakikatnya dapat menjatuhkan harga dirinya, sekaligus akan mendapat hukuman dari-Nya.
Islam sangat menghargai seseorang yang makan dan mencari harta dengan hasil kerjanya sendiri. Rasulullah Saw bersabda, “Tak ada satupun makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang, selain dari jerih payahnya”. (Bukhari dan Ahmad).

Mencari rezeki dengan cara yang halal, meski hasilnya sedikit dan dipandang hina oleh orang lain, justru dalam pandangan Islam itu lebih baik. Mereka yang mencari rezeki dengan cara yang halal seperti pedagang asongan atau pedagang kaki lima, jauh lebih terhormat dalam pandangan Allah, dari pada mereka yang berdasi dan berjas bekerja di ruangan AC, tetapi mencari harta dengan cara melakukan penyimpangan dan kecurangan terhadap amanah yang dipercayakan kepadanya.

Rasulullah Saw dalam sabdanya mengatakan, “Sesungguhnya akan lebih baik, bila seseorang diantaramu memasukkan tanah ke dalam mulutnya (makan tanah) dari pada ia memakan sesuatu yang diharamkan Allah” (HR. Baihaqi).

Benar, tidak dijumpai satu ayat pun dalam al-Quran yang mencela kekayaan dan orang yang mencari kekayaan dan orang yang mencari kaya sesuai dengan syariat yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.

Yang banyak disebutkan dalam al-Quran adalah celaan terhadap kekayaan’ yang dipergunakan untuk mendurhakai Allah. Atau mencela si pengumpul kekayaan yang serakah, tanpa menghiraukan kesengsaraan orang-orang disekitarnya.

Sumber: Buletin Mimbar Jumat No. 13 Th. XXIII

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/