23.9 C
Medan
Sunday, June 23, 2024

Pemimpin Muslim vs Non-Muslim

Oleh: Misbahul Ulum

James Clarke, seorang politisi Amerika Serikat pernah berkata “A politician thinks of the next election.” Politisi hanya memikirkan pemenangan pemilu selanjutnya saja. Segala cara akan ditempuh untuk menang. Tak peduli cara itu baik atau buruk. Bahkan, nyawa sekalipun akan dipertaruhkan guna memenangi pemilihan.

Itulah politisi. Mereka bak ratu adil manakala kampanye digelar sampai hari pemilihan tiba. Semuanya berubah menjadi pahlawan yang menawarkan berbagai macam perubahan. Namun, Setelah pemilihan usai, semuanya akan kembali ke kehidupan normal. Seiring berjalannya waktu, rakyat dipaksa untuk memaklumi bahwa harapannya akan perubahan belum bisa terwujud.

Dunia politik memang penuh teka-teki. Segala sesuatu bisa berubah setiap saat. Kawan bisa berubah menjadi lawan, demikian juga sebaliknya. Maka tidak salah jika ada pameo bahwa “Tak ada musuh abadi di dalam politik. Yang ada adalah kepentingan abadi”. Politisi akan selalu berubah sepanjang langkah politiknya menguntungkan untuk dirinya sendiri.

Politisasi

Seorang politisi biasanya akan menggunakan segala macam cara agar kepentingannya tercapai. Etika dan moral acapkali diabaikan. Mereka tak pernah berfikir apakah langkah yang ditempuh itu benar atau salah. Baginya, semua hal sah-sah saja dalam berpolitik.

Tentu sudah sangat banyak praktik nakal politisi yang selalu terjadi saat pemilu digelar. Intrik politik terjadi disana-sini. Pelanggaran demi pelanggaran selalu terulang. Anehnya, hal ini seolah sudah menjadi hal yang wajar.

Yang lebih parah, politisi juga menggandeng tokoh-tokoh masayarakat, pengusaha, serta akademisi untuk bersama mewujudkan ambisinya. Bahkan tokoh agama juga dijadikan alat untuk memuluskan kepentingannya. Semua hal akan dipolitisasi selama hal itu menguntungkan.

Langkah-langkah para politisi semakin hari semakin tidak beraturan. Agama kerap kali dijadikan alat untuk memobilisir massa. Ayat-ayat Tuhan direkayasa sedemikian rupa untuk kepentingan mereka masing-masing.

Seperti yang terjadi beberapa waktu terakhir. Pilkada DKI juga diwarnai dengan penghembusan issue agama untuk mendeskriditkan salah satu calon tertentu. Kali ini pedangdut yang sekaligus Da’i, Roma Irama dinilai menyampaia pidato yang menyinggung agama salah satu calon. Hingga akhirnya memaksa Panwaslu untuk memanggilnya.

Sepertinya diperlukan kepala dingin untuk mengurai persoalan ini secara lebih rinci. Jangan sampai agama dijadikan tameng untuk menjegal hak konstitusional seseorang. Apalagi di negera Indonesia yang beraneka macam kepercayaan. Menjadikan perbedaan agama untuk menghentikan langkah seseorang dalam menjadi pemimpin tentu bukan langkah yang tepat. Ada baiknya dilakukan analisis yang lebih mendalam berkaitan dengan ayat-ayat Tuhan (al-Qur’an) tentang memilih pemimpin.

Islam dan Pemimpin

Dalam Islam memang diatur tentang bagaimana seseorang harus memilih pemimpin. Terdapat ayat Alquran yang melarang umat Islam untuk memilih pemimpin yang tidak beragama Islam. Yaitu QS Al-Maidah : 51 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpinmu”, dan QS An-Nisa : 144 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Kafir sebagai pemimpin-pemimpinmu dengan meninggalkan orang-orang Mukmin / Muslim”.

Dua ayat inilah yang dijadikan dasar untuk tidak memilih pemimpin non-muslim. Akan tetapi, pertanyaannya kemudian adalah orang Yahudi, Nasrani dan orang kafir yang seperti apa yang dilarang oleh al-Qur’an? Apakah semua orang non-muslim secara otomatis tidak sah menjadi pemimpin?
Ada baiknya dilakukan kontekstualisasi ayat ini sesuai dengan konteks kekinian dan kedisinian. Jangan sampai hanya memahami ayat secara tekstual semata. Harus difahami juga kondisi dan situasi masyarakat Arab pada saat ayat itu diturunkan.

Menurut penulis, Islam memang tidak boleh memilih pemimpin Kafir dengan catatan pemimpin tersebut membawa dampak negatif bagi agama dan umat Islam. Selama pemimpin Kafir tersebut diyakini tidak menyebabkan kemudharatan, maka tidak ada alasan untuk menjegalnya.

Disatu sisi, ada sebuah riwayat yang menyatakan bahwa suatu ketika Rasul berkata kepada para sahabat bahwa yang boleh menjadi pemimpin adalah kaum Quraisy. Dari hadits ini terjadi friksi dikalangan sahabat. Dan ternyata setelah dilakukan penelusuran yang dalam, perkataan Nabi itu didasari oleh kondisi waktu itu bahwa kaum Quraisy memiliki karakter dan kepribadian yang pas untuk menjadi pemimpin.

Lebih jauh, Ibnu Taimiyah dalam kitab al-Hisbah menyatakan bahwa “Allah akan menolong Negara yang adil meskipun Negara itu Kafir. Dan Allah tidak akan menolong Negara yang dholim meskipun Negara itu Mukmin (Islam)”.

Dari sini dapat ditafsirkan bahwa dalam memilih pemimpin harus didasarkan pada kemampuan calon, bukan atas dasar apapun. Sebab, pemimpin itu adalah penentu segala keputusan publik. Pemimpin itu harus memiliki kemampuan-kemampuan khusus guna mengatur urusan masyarakat. Dalam kaidaf fiqih juga dijelaskan bahwa “Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus mengacu pada kemaslahatan (kebaikan) rakyat”.

Pemimpin Islami

Sebenarnya penghembusan issu agama bukan kali pertama terjadi dalam pemilu. Pada Pilpres tahun 2004 misalnya, Istri Calon Presiden SBY dituduh beragama Kristen lantaran namanya Kristiani Herrawati. Ternyata isu agama memang sangat sensitif serta ampuh untuk mempengaruhi seseorang. Terlebih di Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Pemimpin yang sesungguhnya dibutuhkan adalah sosok pemimpin yang Islami. Bukan hanya sekedar beragama Islam (formal) saja. Sangat banyak pemimpin yang beragama Islam di KTP, tapi justru Kafir dalam tindakan, segala perilakunya tidak mencerminkan nilai-nilai Islam sama sekali, korupsi masih saja terjadi, suap menyuap merajalela, penegakan hukum juga tak jelas arahnya.

Nah, saat ini yang paling penting adalah memilih pemimpin yang diyakini mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Soal apa agama yang dianut itu bukan faktor penting. Boleh jadi seseorang yang di KTP tertulis non-Islam, tapi perilakunya justru sangat Islami. Toh, sudah terbukti pemimpin-pemimpin yang bergama Islam (formal) itu tidak membawa ngeri ini kedalam keadamaian dan kesejahteraan. Lantas pemimpin yang seperti apa yang harus kita pilih? Wallahu al’lam bi al-shawab

Aktivis Pemuda NU, Ketua Kajian
Islam dan Feminisme IAIN Walisongo Semarang

Oleh: Misbahul Ulum

James Clarke, seorang politisi Amerika Serikat pernah berkata “A politician thinks of the next election.” Politisi hanya memikirkan pemenangan pemilu selanjutnya saja. Segala cara akan ditempuh untuk menang. Tak peduli cara itu baik atau buruk. Bahkan, nyawa sekalipun akan dipertaruhkan guna memenangi pemilihan.

Itulah politisi. Mereka bak ratu adil manakala kampanye digelar sampai hari pemilihan tiba. Semuanya berubah menjadi pahlawan yang menawarkan berbagai macam perubahan. Namun, Setelah pemilihan usai, semuanya akan kembali ke kehidupan normal. Seiring berjalannya waktu, rakyat dipaksa untuk memaklumi bahwa harapannya akan perubahan belum bisa terwujud.

Dunia politik memang penuh teka-teki. Segala sesuatu bisa berubah setiap saat. Kawan bisa berubah menjadi lawan, demikian juga sebaliknya. Maka tidak salah jika ada pameo bahwa “Tak ada musuh abadi di dalam politik. Yang ada adalah kepentingan abadi”. Politisi akan selalu berubah sepanjang langkah politiknya menguntungkan untuk dirinya sendiri.

Politisasi

Seorang politisi biasanya akan menggunakan segala macam cara agar kepentingannya tercapai. Etika dan moral acapkali diabaikan. Mereka tak pernah berfikir apakah langkah yang ditempuh itu benar atau salah. Baginya, semua hal sah-sah saja dalam berpolitik.

Tentu sudah sangat banyak praktik nakal politisi yang selalu terjadi saat pemilu digelar. Intrik politik terjadi disana-sini. Pelanggaran demi pelanggaran selalu terulang. Anehnya, hal ini seolah sudah menjadi hal yang wajar.

Yang lebih parah, politisi juga menggandeng tokoh-tokoh masayarakat, pengusaha, serta akademisi untuk bersama mewujudkan ambisinya. Bahkan tokoh agama juga dijadikan alat untuk memuluskan kepentingannya. Semua hal akan dipolitisasi selama hal itu menguntungkan.

Langkah-langkah para politisi semakin hari semakin tidak beraturan. Agama kerap kali dijadikan alat untuk memobilisir massa. Ayat-ayat Tuhan direkayasa sedemikian rupa untuk kepentingan mereka masing-masing.

Seperti yang terjadi beberapa waktu terakhir. Pilkada DKI juga diwarnai dengan penghembusan issue agama untuk mendeskriditkan salah satu calon tertentu. Kali ini pedangdut yang sekaligus Da’i, Roma Irama dinilai menyampaia pidato yang menyinggung agama salah satu calon. Hingga akhirnya memaksa Panwaslu untuk memanggilnya.

Sepertinya diperlukan kepala dingin untuk mengurai persoalan ini secara lebih rinci. Jangan sampai agama dijadikan tameng untuk menjegal hak konstitusional seseorang. Apalagi di negera Indonesia yang beraneka macam kepercayaan. Menjadikan perbedaan agama untuk menghentikan langkah seseorang dalam menjadi pemimpin tentu bukan langkah yang tepat. Ada baiknya dilakukan analisis yang lebih mendalam berkaitan dengan ayat-ayat Tuhan (al-Qur’an) tentang memilih pemimpin.

Islam dan Pemimpin

Dalam Islam memang diatur tentang bagaimana seseorang harus memilih pemimpin. Terdapat ayat Alquran yang melarang umat Islam untuk memilih pemimpin yang tidak beragama Islam. Yaitu QS Al-Maidah : 51 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpinmu”, dan QS An-Nisa : 144 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Kafir sebagai pemimpin-pemimpinmu dengan meninggalkan orang-orang Mukmin / Muslim”.

Dua ayat inilah yang dijadikan dasar untuk tidak memilih pemimpin non-muslim. Akan tetapi, pertanyaannya kemudian adalah orang Yahudi, Nasrani dan orang kafir yang seperti apa yang dilarang oleh al-Qur’an? Apakah semua orang non-muslim secara otomatis tidak sah menjadi pemimpin?
Ada baiknya dilakukan kontekstualisasi ayat ini sesuai dengan konteks kekinian dan kedisinian. Jangan sampai hanya memahami ayat secara tekstual semata. Harus difahami juga kondisi dan situasi masyarakat Arab pada saat ayat itu diturunkan.

Menurut penulis, Islam memang tidak boleh memilih pemimpin Kafir dengan catatan pemimpin tersebut membawa dampak negatif bagi agama dan umat Islam. Selama pemimpin Kafir tersebut diyakini tidak menyebabkan kemudharatan, maka tidak ada alasan untuk menjegalnya.

Disatu sisi, ada sebuah riwayat yang menyatakan bahwa suatu ketika Rasul berkata kepada para sahabat bahwa yang boleh menjadi pemimpin adalah kaum Quraisy. Dari hadits ini terjadi friksi dikalangan sahabat. Dan ternyata setelah dilakukan penelusuran yang dalam, perkataan Nabi itu didasari oleh kondisi waktu itu bahwa kaum Quraisy memiliki karakter dan kepribadian yang pas untuk menjadi pemimpin.

Lebih jauh, Ibnu Taimiyah dalam kitab al-Hisbah menyatakan bahwa “Allah akan menolong Negara yang adil meskipun Negara itu Kafir. Dan Allah tidak akan menolong Negara yang dholim meskipun Negara itu Mukmin (Islam)”.

Dari sini dapat ditafsirkan bahwa dalam memilih pemimpin harus didasarkan pada kemampuan calon, bukan atas dasar apapun. Sebab, pemimpin itu adalah penentu segala keputusan publik. Pemimpin itu harus memiliki kemampuan-kemampuan khusus guna mengatur urusan masyarakat. Dalam kaidaf fiqih juga dijelaskan bahwa “Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus mengacu pada kemaslahatan (kebaikan) rakyat”.

Pemimpin Islami

Sebenarnya penghembusan issu agama bukan kali pertama terjadi dalam pemilu. Pada Pilpres tahun 2004 misalnya, Istri Calon Presiden SBY dituduh beragama Kristen lantaran namanya Kristiani Herrawati. Ternyata isu agama memang sangat sensitif serta ampuh untuk mempengaruhi seseorang. Terlebih di Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Pemimpin yang sesungguhnya dibutuhkan adalah sosok pemimpin yang Islami. Bukan hanya sekedar beragama Islam (formal) saja. Sangat banyak pemimpin yang beragama Islam di KTP, tapi justru Kafir dalam tindakan, segala perilakunya tidak mencerminkan nilai-nilai Islam sama sekali, korupsi masih saja terjadi, suap menyuap merajalela, penegakan hukum juga tak jelas arahnya.

Nah, saat ini yang paling penting adalah memilih pemimpin yang diyakini mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Soal apa agama yang dianut itu bukan faktor penting. Boleh jadi seseorang yang di KTP tertulis non-Islam, tapi perilakunya justru sangat Islami. Toh, sudah terbukti pemimpin-pemimpin yang bergama Islam (formal) itu tidak membawa ngeri ini kedalam keadamaian dan kesejahteraan. Lantas pemimpin yang seperti apa yang harus kita pilih? Wallahu al’lam bi al-shawab

Aktivis Pemuda NU, Ketua Kajian
Islam dan Feminisme IAIN Walisongo Semarang

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/