25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Usai Maghrib, Anak-anak Rutin Mengaji

Menengok Aktivitas Masjid Jawa di Kota Bangkok

Di tengah beragamnya etnis di pusat kota Bangkok, Thailand, ternyata terselip komunitas masyarakat Jawa Muslim. Bahkan, mereka juga memiliki masjid yang diberi nama Masjid Jawa. Bagaimana situasinya?

Naufal Widi AR, Bangkok

TAK sulit mencari Masjid Jawa di kota Bangkok. Cukup pergi menuju ke distrik Sathorn, lalu tanyakan ke penduduk setempat di mana letaknya. Lalu dengan menyebut kata “surau” atau “hong lamat muslim”, telunjuk penduduk langsung menunjuk ke sebuah bangunan di jalan 707 Soi Rangnamkeang, Yanawa.

Seperti dengan namanya, Masjid Jawa masih mencerminkan bangunan klasik masjid di tanah Jawa. Bangunan utamanya berbentuk segi empat ukuran 12 x 12 meter dengan empat pilar di tengah yang menjadi penyangga. Selain sisi arah kiblat, di tiga sisi lainnya terdapat masing-masing tiga pintu kayu. Di luar bangunan utama, terdapat serambi dengan empat pintu yang terbuat dari jeruji besi.

Di bagian depan (pengimaman), terdapat sebuah mimbar kayu yang dilengkapi tangga. Di kanan dan kirinya terdapat dua buah jam lonceng, juga terbuat dari kayu. Sebuah bedug kayu kokoh berdiri di salah satu sudut serambi masjid.

Lantas mengapa bernama Masjid Jawa? Masjid itu memang terletak di wilayah yang dikenal dengan kampung Jawa. Penduduknya juga memiliki keturunan darah Jawa. Seperti Abdussamad, bilal Masjid Jawa yang memiliki kakek berasal dari Kendal, sebelah barat kota Semarang.

“Wes salat (sudah salat, Red),” sapa Abdussamad dengan logat khas Thailand begitu mengetahui wartawan koran ini berasal dari Jawa. Kebetulan Jawa Pos (Grup Sumut Pos) datang ketika Abdussamad yang masih memakai sarung, baru saja menyelesaikan salat Asar berjamaah. Meski lahir dan dibesarkan di Thailand, dia mengaku mengetahui beberapa kosakata Jawa yang umum digunakan. “Aku wong Jowo ning Thailand (saya orang Jawa yang tinggal di Thailand),” katanya lantas tertawa.

Dia tidak mengetahui persis bagaimana kakeknya yang bernama Muhammad Toyib bisa berada di Bangkok. Namun dari cerita, saat perang dunia kedua, banyak penduduk Jawa yang merantau ke Thailand dan bekerja di perkebunan. Hampir separo dari sekitar seribu penduduk di kampung Jawa, kata dia, memiliki leluhur di tanah Jawa.

Meski rata-rata sudah generasi ketiga, kata Abdussamad, beberapa tradisi Jawa masih dilakukan di Masjid Jawa. Misalnya, pengajian Maulid Nabi. Makanan khas disediakan, seperti mie lontong dan sate. Tidak hanya itu, jika Bulan Ramadan tiba, budaya buka bersama dengan takjil makanan khas juga tersedia. Menurut Abdussamad, beberapa jajanan disediakan misalnya kue cucur dan es cao.

Tentang sejarah Masjid Jawa, Abdussamad lantas menunjukkan prasasti tentang Masjid Jawa yang terletak dinding sebelah kiri bangunan utama. Dari dokumen yang ada disebutkan, masjid ini didirikan antara Bulan Juni hingga September di Era Rathanakosin (Periode Rama V) tahun 2440, di tahun ular atau bertepatan pada Bulan Muharam 1326 Hijriyah. Masjid ini didirikan oleh orang Jawa dengan luas 14 x 12 asta. Tanahnya merupakan wakaf dari Almarhum Haji Muhammad Shaleh. Akad wakaf tercatat pada 16 Juni 2440 diberikan pada masyarakat muslim pada umumnya.

Ameen Mudpongtua, imam Masjid Jawa menjelaskan, masjid itu terbuka bagi siapa saja meski berada di tengah-tengah kampung Jawa. Bahkan, Ameen sendiri merupakan keturunan Melayu. “Melayu boleh, Indonesia juga boleh, dari mana saja,” katanya dalam bahasa Thailand yang diterjemahkan seorang takmir masjid. Ameen yang berusia 74 tahun telah menjadi imam masjid sejak tujuh tahun silam.

Buktinya, adalah seorang warga Pakistan Zahoor Ahmed, yang juga ikut menemani perbicangan dengan Jawa Pos. Mahasiswa tingkat delapan di Islamabad University itu sudah setahun tinggal di Bangkok.

Kegiatan di Masjid Jawa, tidak berbeda dengan masjid pada umumnya. Selain ibadah wajib, seperti salat lima waktu dan salat Jumat, juga ada pengajian dan pembagian zakat. Setiap hari selepas salat Maghrib, giliran anak-anak yang belajar mengaji. “Di sini, semuanya gratis,” kata imam yang hafal Al Quran itu.

Untuk belajar agama, lanjut Ameen, di depan masjid terdapat sebuah madrasah. Bangunannya berlantai dua dengan ruangan terbuka. Biasanya, waktu belajar dari jam 19.00 hingga 20.00. Pesertanya adalah anak-anak dan remaja.

Yang menarik lagi, di perkampungan itu juga tinggal salah satu keluarga dari KH Ahmad Dahlan, tokoh pembaharu Islam asal Yogyakarta yang mendirikan Muhammadiyah. Dia adalah Walidah Dahlan yang merupakan anak dari almarhum Irfan Dahlan, anak kelima KH Ahmad Dahlan.(*)

Menengok Aktivitas Masjid Jawa di Kota Bangkok

Di tengah beragamnya etnis di pusat kota Bangkok, Thailand, ternyata terselip komunitas masyarakat Jawa Muslim. Bahkan, mereka juga memiliki masjid yang diberi nama Masjid Jawa. Bagaimana situasinya?

Naufal Widi AR, Bangkok

TAK sulit mencari Masjid Jawa di kota Bangkok. Cukup pergi menuju ke distrik Sathorn, lalu tanyakan ke penduduk setempat di mana letaknya. Lalu dengan menyebut kata “surau” atau “hong lamat muslim”, telunjuk penduduk langsung menunjuk ke sebuah bangunan di jalan 707 Soi Rangnamkeang, Yanawa.

Seperti dengan namanya, Masjid Jawa masih mencerminkan bangunan klasik masjid di tanah Jawa. Bangunan utamanya berbentuk segi empat ukuran 12 x 12 meter dengan empat pilar di tengah yang menjadi penyangga. Selain sisi arah kiblat, di tiga sisi lainnya terdapat masing-masing tiga pintu kayu. Di luar bangunan utama, terdapat serambi dengan empat pintu yang terbuat dari jeruji besi.

Di bagian depan (pengimaman), terdapat sebuah mimbar kayu yang dilengkapi tangga. Di kanan dan kirinya terdapat dua buah jam lonceng, juga terbuat dari kayu. Sebuah bedug kayu kokoh berdiri di salah satu sudut serambi masjid.

Lantas mengapa bernama Masjid Jawa? Masjid itu memang terletak di wilayah yang dikenal dengan kampung Jawa. Penduduknya juga memiliki keturunan darah Jawa. Seperti Abdussamad, bilal Masjid Jawa yang memiliki kakek berasal dari Kendal, sebelah barat kota Semarang.

“Wes salat (sudah salat, Red),” sapa Abdussamad dengan logat khas Thailand begitu mengetahui wartawan koran ini berasal dari Jawa. Kebetulan Jawa Pos (Grup Sumut Pos) datang ketika Abdussamad yang masih memakai sarung, baru saja menyelesaikan salat Asar berjamaah. Meski lahir dan dibesarkan di Thailand, dia mengaku mengetahui beberapa kosakata Jawa yang umum digunakan. “Aku wong Jowo ning Thailand (saya orang Jawa yang tinggal di Thailand),” katanya lantas tertawa.

Dia tidak mengetahui persis bagaimana kakeknya yang bernama Muhammad Toyib bisa berada di Bangkok. Namun dari cerita, saat perang dunia kedua, banyak penduduk Jawa yang merantau ke Thailand dan bekerja di perkebunan. Hampir separo dari sekitar seribu penduduk di kampung Jawa, kata dia, memiliki leluhur di tanah Jawa.

Meski rata-rata sudah generasi ketiga, kata Abdussamad, beberapa tradisi Jawa masih dilakukan di Masjid Jawa. Misalnya, pengajian Maulid Nabi. Makanan khas disediakan, seperti mie lontong dan sate. Tidak hanya itu, jika Bulan Ramadan tiba, budaya buka bersama dengan takjil makanan khas juga tersedia. Menurut Abdussamad, beberapa jajanan disediakan misalnya kue cucur dan es cao.

Tentang sejarah Masjid Jawa, Abdussamad lantas menunjukkan prasasti tentang Masjid Jawa yang terletak dinding sebelah kiri bangunan utama. Dari dokumen yang ada disebutkan, masjid ini didirikan antara Bulan Juni hingga September di Era Rathanakosin (Periode Rama V) tahun 2440, di tahun ular atau bertepatan pada Bulan Muharam 1326 Hijriyah. Masjid ini didirikan oleh orang Jawa dengan luas 14 x 12 asta. Tanahnya merupakan wakaf dari Almarhum Haji Muhammad Shaleh. Akad wakaf tercatat pada 16 Juni 2440 diberikan pada masyarakat muslim pada umumnya.

Ameen Mudpongtua, imam Masjid Jawa menjelaskan, masjid itu terbuka bagi siapa saja meski berada di tengah-tengah kampung Jawa. Bahkan, Ameen sendiri merupakan keturunan Melayu. “Melayu boleh, Indonesia juga boleh, dari mana saja,” katanya dalam bahasa Thailand yang diterjemahkan seorang takmir masjid. Ameen yang berusia 74 tahun telah menjadi imam masjid sejak tujuh tahun silam.

Buktinya, adalah seorang warga Pakistan Zahoor Ahmed, yang juga ikut menemani perbicangan dengan Jawa Pos. Mahasiswa tingkat delapan di Islamabad University itu sudah setahun tinggal di Bangkok.

Kegiatan di Masjid Jawa, tidak berbeda dengan masjid pada umumnya. Selain ibadah wajib, seperti salat lima waktu dan salat Jumat, juga ada pengajian dan pembagian zakat. Setiap hari selepas salat Maghrib, giliran anak-anak yang belajar mengaji. “Di sini, semuanya gratis,” kata imam yang hafal Al Quran itu.

Untuk belajar agama, lanjut Ameen, di depan masjid terdapat sebuah madrasah. Bangunannya berlantai dua dengan ruangan terbuka. Biasanya, waktu belajar dari jam 19.00 hingga 20.00. Pesertanya adalah anak-anak dan remaja.

Yang menarik lagi, di perkampungan itu juga tinggal salah satu keluarga dari KH Ahmad Dahlan, tokoh pembaharu Islam asal Yogyakarta yang mendirikan Muhammadiyah. Dia adalah Walidah Dahlan yang merupakan anak dari almarhum Irfan Dahlan, anak kelima KH Ahmad Dahlan.(*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/