Bulan Syawal sebagai kelanjutan dari Bulan Ramadan, jika dilihat dari arti kata itu, yakni peningkatan, rasanya menjadi sangat tepat. Setelah sebulan penuh kaum beriman menjalankan ibadah puasa di Bulan Ramadan, yang diharapkan dari ibadah itu agar meraih derajat taqwa, maka dengan bersambung Bulan Syawal, maka makna itu terasa, ialah agar terjadi peningkatan.
Seolah-olah nama bulan ini mengingatkan bagi siapapun, bahwa seharusnya setelah menjadi bertaqwa maka seseorang atau sekelompok orang harus menampakkan diri, ada peningkatan kualitas hidupnya.
Setidak-tidaknya tatkala memasuki Bulan Syawal, ada harapan agar terjadi peningkatan kualitas, ialah kualitas ketaqwaan bagi mereka yang berpuasa.
Jika hal itu ingin dilihat secara nyata, maka akhlak orang-orang yang telah berpuasa menjadi meningkat, tempat-tempat ibadah semakin semarak karena jamaáhnya juga meningkat, orang-orang yang berkesusahan menjadi bisa tersenyum, lantaran persoalan mereka terselesaikan oleh karena munculnya banyak orang yang semakin sadar membayar infaq.
Sehingga, memasuki Bulan Syawal kehidupan menjadi semakin lebih baik dan damai, karena dihiasi oleh akhlaq yang mulia, kedekatan dengan Allah, dan juga dengan sesama makhluk. Akhirnya Bulan Syawal menjadi bulan yang sangat indah.
Namun sementara ini yang terjadi belum seindah itu. Bahkan beberapa hari terakhir yang terdengar adalah berita-berita yang agak menyedihkan, misalnya terjadi kemacetan lalu lintas karena padatnya kendaraan di jalan sebagai akibat banyaknya orang pulang dari mudik. Bahkan juga besarnya jumlah kecelakaan di jalan hingga meninggal. Di Malang, misalnya, terdapat sekeluarga, suami isteri dan empat anaknya, meninggal bersamaan akibat kecelakaan di Tuban sepulang dari mudik.
Meninggal adalah sebuah kepastian, atau disebut taqdir. Tetapi peristiwa itu terkait dengan hari raya idul fitri di Bulan Syawal. Sehingga, tidak mudah disalahkan jika kemudian muncul pandangan yang mengatakan bahwa ternyata hari raya idul fitri, atau memasuki Bulan Syawal tidak selalu menggembirakan.
Hari-hari yang semestinya penuh dengan gembira dan bahagia, ternyata justru sebaliknya, membawa duka. Sekalipun sesungguhnya tidak ada kejadian di alam ini yang sia-sia, melainkan selalu saja ada hikmah di balik semua itu, baik yang dirasakan menggembirakan maupun yang menyusahkan.
Selain itu, setelah hingar-bingar mudik usai, berbagai persoalan juga muncul, misalnya terjadi semakin banyak urbanisasi sehingga jumlah penduduk kota meningkat. Hal itu disebabkan karena sekembalinya dari mudik, tidak sedikit di antara mereka membawa serta keluarga atau tetangga untuk mencari pekerjaan ke kota. Berita lainnya yang kurang menyenangkan, terdapat beberapa PNS terkena sanksi, karena tidak bisa masuk kantor tepat pada hari yang seharusnya sudah aktif kembali. Belum lagi peristiwa kecil dan sederhana lainnya, misalnya uang belanja sementara keluarga, telah habis sebelum waktunya, karena digunakan membiayai hari raya, termasuk mudik itu.
Pertanyaannya, lalu apa yang meningkat sebagaimana arti Syawal itu sendiri. Siapa dan apa yang meningkat atau setidak-tidaknya teruntungkan.
Seharusnya orang-orang yang baru saja menjalankan ibadah puasa itu yang meningkat, ialah meningkat ketaqwaannya. Sebagai gambarannya, sebagaimana dikemukakan di muka, masjid menjadi lebih ramai karena jumlah jamaáhnya meningkat, orang berkekurangan atau fakir miskin menjadi tertolong dan seterusnya.
Namun yang demikian, ternyata juga tidak mudah terlihat. Bahkan tidak sedikit tempat ibadah, tatkala Ramadhan lewat, maka menjadi sepi kembali. Sementara fenomena lain, jangankan untuk berinfaq, sebatas untuk mencukupi kebutuhan hidup sebulan ke depan belum tentu tertutupi. Inilah realitas yang kadang jauh berbeda dengan gambaran idealitasnya.
Pertanyaannya kemudian adalah, lalu siapa yang beruntung dan untung apa. Menjelang hari raya tiba, biasanya juga terjadi semakin padatnya pengunjung pasar-pasar, mall, dan tempat perbelanjaan lainnya. Banyak orang mempersiapkan hari raya dengan cara berbelanja lebih banyak dari bulan atau hari biasa. Fenomena seperti itu menjadikan para pengusaha, pabrik-pabrik, transportasi dan apa saja, pedagang dan lain-lain mendapatkan peningkatan keuntungan. Pertanyaannya adalah siapakah para pengusaha dan pedagang besar itu, apakah selalu dari orang-orang yang juga ikut berpuasa. Jawabnya, tentu tidak mesti demikian.
Orang-orang yang tidak berpuasa pun, karena jeli membaca peluang pasar, maka secara ekonomis merekalah yang teruntungkan. Sebaliknya, banyak orang yang berpuasa, karena tidak melihat keuntungan yang bersifat material ini, justru setelah usai bulan ramadhan, maka secara ekonomis jangankan meningkat, sebaliknya justru mengalami defisit. Mereka yang mengalami peningkatan secara ekonomis itu, adalah orang-orang yang pandai membaca peluang bisnis, sekalipun mereka belum tentu berpuasa.
Akhirnya, memang puasa bukan untuk meningkatkan aspek ekonomi atau kekayaan. Puasa adalah untuk meningkatkan ketaqwaan.
Akan tetapi jika ternyata, setelah memasuki bulan Syawal masjid menjadi sepi kembali, rasa syukur, sabar, ikhlas, dan istiqomah tidak juga meningkat, maka boleh saja dikatakan, bahwa puasa tidak mendapatkan apa-apa. Secara ekonomis tidak meningkat, sedangkan spiritual pun juga tidak bertambah. Sehingga kata syawal hanya sebatas nama bulan itu, dan belum memberikan makna apa-apa, termasuk bagi yang berpuasa. Semogalah kita semua, tidak tergolong sebagai orang yang tidak mendapatkan apa-apa itu. Seharusnya jika mungkin, sebagai kaum muslimin, di Bulan Syawal ini, berhasil mendapatkan dua-duanya, yaitu keuntungan ekonomi, maupun juga derajat taqwa. Wallahu a’lam.(net/jpnn)