Perputaran waktu terus bergulir seiring dengan perputaran matahari. Dari hari ke hari, minggu ke minggu dan bulan ke bulan, tanpa terasa kita sampai pada suatu putaran bulan Muharam yang merupakan permulaan dari putaran bulan dalam kalender hijriyah. Banyak dari saudara kita yang menjadikan bulan Muharram ini sebagai momentum, sehingga memperingatinya merupakan suatu hal yang menjadi keharusan bahkan terkadang sampai keluar dari syariโat Islam. Padahah Rasul Shalallaahu Alaihiwassalam dan para sahabatnya serta ulama pendahulu umat tidak pernah melakukan hal tersebut.
Mestinya kita banyak bertafakur untuk bermuhasabah atas bertambahnya umur, karena sesungguhnya dengan bertambah-nya umur berarti hakekatnya berkurang kesempatan untuk hidup di dunia ini. Allah menciptakan kita hidup di muka bumi ini bukan untuk sia-sia. Tanpa tujuan yang jelas. Sebagaimana kita tahu bersama bahwa Allah menciptakan makhluk bernama manusia tiada lain hanya untuk beribadah kepadaNya. Allah berfirman di dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56 sebagai berikut:
Artinya: โDan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu (beribadah kepadaKu).โ
Hidup di dunia ini sementara bukan kehidupan yang abadi atau kekal, dan dunia ini hanya merupakan persinggahan, yang tujuannya adalah kehidupan yang kekal abadi yaitu kehidupan akhirat. Berkenaan dengan ini Allah Subhannahu wa Taโala berfirman:
Artinya: โSedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekalโ. (Al-Aโla: 17).
Ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan dunia dengan segala gemerlapan dan keindahannya tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan kebaikan dan kekekalan kehidupan akhirat yang kekal abadi.
Maka seorang yang beriman kepada Allah, dia harus lebih memanfaatkan kehidupan dunia ini dengan sebaik-baiknya untuk mempersiapkan kehidupan yang abadi tersebut. Dan menjadikan dunia ini sebagai sarana menuju kehidupan akhirat yang lebih baik. Allah Subhannahu wa Taโala berfirman dalam surat Al-Hasyr: Artinya: โHai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akherat) dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakanโ. (Al-Hasyr: 18).
Lalu bekal apa yang akan kita bawa menuju kehidupan yang penuh dengan kebaikan tersebut? Dengan hartakah? Pangkatkah yang kita banggakan? Atau keturunankah? Saya keturunan raja, bangsawan atau kyai. Ternyata bukan itu semua, sebab Allah Maha Kaya, Maha Berkuasa dan Maha Suci tidak memandang yang lain dari hambaNya kecuali taqwa hambaNya. Sebagaimana Allah ingatkan dalam firmanNya:
Artinya: โSesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamuโ.
Jelas bagi kita bahwa bekal yang harus kita persiapkan tiada lain hanyalah taqwa, karena taqwa adalah sebaik-baik bekal dan persiapan. Allah berfirman dan mengingatkan kita semua dalam surat Al-Baqarah:
Artinya: โBerbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepadaKu hai orang-orang yang berakalโ. (QS. Al. Baqarah: 197).
Sering kita mendengar kata takwa dari ustad, mubaligh dan para penceramah, namun bagi kebanyakan kita antara perbuatan dengan apa yang didengar tentang takwa jauh dari semestinya. Mengapa demikian? Di antara sebabnya mereka belum tahu hakekat takwa, tingkatan dan buah dari takwa tersebut. Sehingga hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri tanpa adanya perhatian penuh terhadap pentingnya bertakwa yang merupakan sebaik-baik bekal bagi kehidupan dunia ini terlebih kehidupan akhirat nanti.
Ar-Rafiโi menyatakan dalam Al-Mishbahul Munir Fi Gharibisy Syahril Kabir, โWaqahullahu Suโaโ artinya Allah menjaga dari kejahatan. Dan kata Al-Wiqaโ yaitu segala sesuatu yang digunakan sebagai pelindung. Itulah arti takwa secara bahasa. Sedangkan takwa menurut syariat para ulama berbeda pendapat, namun semuanya bermuara pada satu pengertian, yaitu seorang hamba melindungi dirinya dari kemurkaan Allah, dan juga siksaNya. Hal itu dilakukan dengan melaksanakan yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarangNya. Ibnu Qayyim menyatakan, hakikat takwa adalah mentaati Allah atas dasar iman dan ihtisab, baik terhadap perkara yang diperintahkan ataupun perkara yang dilarang. Maka dia melakukan perintah itu karena imannya terhadap apa yang diperintahkanNya disertai dengan pembenaran terhadap janjiNya, dengan imannya itu pula ia meninggalkan yang dilarangNya dan takut terhadap ancamanNya.
At-Takwa dalam Al-Qurโan mencakup tiga makna yaitu: pertama: takut kepada Allah dan pengakuan superioritas Allah. Hal itu seperti firmanNya:
Artinya: โDan hanya kepadaKulah kamu harus bertakwa.โ (Al-Baqarah: 41).
Kedua: Bermakna taat dan beribadah, sebagaimana firmanNya:
Artinya: โHai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwaโ. (Ali Imran: 102).
Ibnu Abas Radhiallaahu anhu berkata, โTaatlah kepada Allah dengan sebenar-benarnya ketaatan.โ
Mujahid berkata, โTakwa kepada Allah artinya, Allah harus ditaati dan pantang dimaksiati, selalu diingat dan tidak dilupakan, disyukuri dan tidak dikufuri.โ
Ketiga, dengan makna pembersihan hati dari noda dan dosa. Maka inilah hakikat takwa dari makna takwa, selain pertama dan kedua. Allah berfirman yang artinya: โBarangsiapa yang mentaati Allah dan rasulNya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepadaNya maka mereka itulah orang yang beruntungโ. (An-Nur: 52).
Para mufassir juga berkata, bahwa takwa mempunyai tiga kedudukan:
- Memelihara dan menjaga dari perbuatan syirik
- Memelihara dan menjaga dari perbuatan bidโah
- Memelihara dan menjaga dari perbuatan maksiat.
Sehingga seorang disebut muttaqin, selalu berusaha sungguh-sungguh berada dalam keadaan taat secara menyeluruh, baik dalam perkara wajib, nawafil (sunnah), meninggalkan kemaksiatan berupa dosa besar dan kecil. Serta meninggalkan yang tidak bermanfaat karena khawatir terjerumus ke dalam dosa, itulah cakupan takwa sebagaimana dimengerti oleh salafush shalih.
Apa yang kita dapatkan bila bertakwa kepada Allah?
Allah Taโala menjanjikan kepada kita, akan berada dalam kebahagiaan hidup didunia dan akhirat. Di antara janji Allah yang merupakan buah dari takwa adalah memberikan jalan keluar dan mendatangkan rizki. Allah Taโala berfirman:
โBarangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.โ (At-Thalaq: 2-3).
Mengadakan jalan keluar artinya menyelamatkannya dari setiap kesulitan di dunia dan akherat. Ibnu โUyainah berkata itu artinya, ia mendapat keberkahan dalam rizkinya. Dan Abu Saโid Al-Khudri berkata: Barangsiapa berlepas dari kuatnya kesulitan dengan kembali kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar dari beban yang ia pikul. โ (Jami Ahkamiil Qurโan, VIII: 6638-3369, secara ringkas) Dan balasan bagi mereka di akhirat yang jelas adalah akan mewarisi tempat yang merupakan dambaan setiap insan yaitu Surga dengan segala kenikmatannya. Allah Taโala berfirman:
โItulah Surga yang akan kami wariskan kepada hamba-hamba kami yang selalu bertakwaโ (Maryam: 63).
Demikianlah kita sebagai hamba Allah, sudah semestinya dalam menghadapi bulan Muharam ini dengan bertafakkur, sudah sejauh mana persiapan kita menghadapi kehidupan yang abadi tersebut. Yang terkadang kita begitu bersemangat dan penuh antusias menggapai kehidupan yang fana ini. Mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
Oleh Faqihuddin (alsofwah.or.id)