Sejak kecil seorang muslim sudah harus membiasakan hidup teratur dan disiplin, baik di rumah maupun di sekolah, di kantor, di pemerintahan merapikan etika, moral maupun lainnya, di samping kita harus membiasakan diri bersikap loyal, seperti patuh kepada kedua orang tua dan para pemimpin. Sikap patuh kepada pemimpin sudah tertanam kuat, sehingga kita melaksanakan perintahnya tanpa ingin mengetahui lebih dahulu apa maksud dan tujuannya, semua itu perlu diperhatikan, agar terbiasa melaksanakan perintah tanpa membantah.
Demikian pula seorang muslim harus membiasakan dirinya disiplin dalam memegang amanat, khususnya dalam hal menyampaikan berita, dia dituntut untuk menyampaikannya seperti yang didengarnya tanpa menambah atau menguranginya, dia harus juga membiasakan diri mematuhi aturan-aturan yang telah digariskan, baik di rumah, di kantor maupun di barak-barak militer, agar sifat disiplin tumbuh dalam dirinya.
Generasi Islam sangat memerlukan tauladan yang baik dalam hal kedisiplinan dan loyalitas.
Kita tidak dapat membebaskan umat ini dari keterpurukan, kecuali bila kita membina mereka dengan sikap dan nilai-nilai ke-Islaman ini.
Aqidah Tauhid
Aqidah tauhid menjadi target pertama pembinaan generasi para muttaqin yang menempatkan Allah ‘Azza wa Jalla sebagai sumber kebergantungan diri setiap insan, yaitu, Allah sebagai sumber loyalitas, yang dimaksudkan adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya Ilah atau tidak menjadikan Ilah-Ilah yang lain selain Allah, sehingga terbangun sikap keberserah diri-an terhadap Allah secara totalitas (100 persen) atau sikap loyal yang sepenuh-penuhnya terhadap Allah.
Firman Allah dalam surah Al-Ahzab ayat 4 yang berbunyi: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu dan dia tidak menjadikan anak-anakmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan mu di mulut mu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)”.
Demikian pula agama Islam tidak mengabaikan aspek fisik. Sejarah hidup Rasulullah SAW banyak membuktikan hal ini, diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Rasulullah SAW beliau bersabda: “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah”.
Hadis ini menyerukan kepada kita untuk memperhatikan kekuatan, sebab ia merupakan pondasi masyarakat Islam, personel yang kuat adalah pilar masyarakat Islam. Islam tidak membiarkan sesuatu yang bersentuhan dengan eksistensi seorang muslim dan yang menjaga agamanya, kecuali Islam akan menjelaskan dengan sempurna.
Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya fisikmu memiliki hak yang harus engkau tunaikan”. Selanjutnya Allah berfirman dalam surah An-Nisa ayat 20: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu”. Oleh karena itu, Islam mengharamkan minum arak atas seorang muslim, dan semua yang memabukkan (narkoba), karena hal ini membahayakan tubuh, akal dan jiwanya.
Persiapan Mental
Kita mengingatkan dua hal, pertama, pendidikan islam yang komprehensif yang mencakup aspek spiritual, intelektual, mental dan fisik, kedua, bahwa manusia adalah satu kesatuan yang saling berinteraksi dimana akal seseorang akan memberi pengaruh pada jiwanya dan masing-masing berdampak pada fisik, seperti yang dikatakan oleh seorang penyair: “Jika jiwa kuat, fisik akan berat mengikuti kehendaknya”.
Jadi seorang muslim yang mengetahui dirinya sendiri, perannya dan tugasnya, akan bersiap-siap memikul beban berat dan ujian. Ketika rohaninya mengilap, karena senantiasa berhubungan dengan Allah SWT akan merasakan nikmatnya penderitaan di jalan Allah. Hal ini dikarenakan di balik itu ia sangat berharap bisa meraih surga keabadian, sehingga penderitaan terasa sebagai suatu hal yang remeh.
Manusia cenderung cinta pada keabadian, karena itu memang fitrahnya. Masalahnya, adalah ketika manusia hanya memperhatikan dunia saja, ia akan selalu terpaut dengannya dan ingin hidup abadi di dunia, sehingga takut mati namun bila ia memandang dunia dan akhirat secara seimbang dan mengetahui hakikat dunia dan akhirat, niscaya ia akan menyadari, bahwa dunia ini hanyalah sawah lading akhirat dunia dan akhirat dan akan bersusah payah serta selalu menerima ujian dari Allah untuk bisa selamat dan meraih kebahagiaan akhirat.
Oleh karena itu, ketika dia ditawari kebahagiaan akhirat, selamat dari api neraka, akan diberi istana dan bidadari Hurum ‘in surga, serta apa pun yang belum pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan belum pernah terbersit dalam hati manusia, ia segera maju pantang mundur, dimisalkan seperti salah seorang sahabat ketika membuang kurma dari tangannya dan segera menuju surga. Sungguh, demi Allah, meraih surga dan selamat dari neraka lebih baik bagi kita.
Merusak Tauhid
Karena sikap tauhid ini merupakan sikap mental (hati), hati yang kurang stabil akan menyebabkan sikap ini mudah berubah-ubah.
Oleh karena itu mari kita jauhi “Selendang Allah” yaitu kesombongan dan keagungan yang hanya milik Allah saja, karena Allah-lah yang Maha Segala, manusia tidak boleh mencuri selendang Allah ini, yaitu kesombongan dan keagungan.
Dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah dan Abu Daud disebutkan “Allah Yang Maha Mulia berfirman: “Kemuliaan adalah sarungNya, keagungan adalah selendangNya, maka barang siapa yang mencabutnya dariKu, Aku akan mengazabnya”, dan masih banyak lagi termasuk ria, ananiah (egois), takut dan bimbang, zhalim, hasad, dengki, pengadu domba, pengkhianat dan penjilat.
Maka dari ulasan ini nampak jelas apa yang telah kita bincangkan, Allah itu merupakan suatu prestasi yang paling besar dalam hidup setiap insan.
Oleh karena itu memenangkan perjuangan ini berarti telah memenangkan suatu perjuangan yang besar dalam kehidupan seseorang, mereka yang menang akan merasakan nikmat Allah yang paling tinggi berupa penghayatan secara penuh nilai deklarasi “Laa Illaha Illa Allah” mereka punya suatu sikap mental kemanusiaan yang paling tinggi derajatnya, pribadi yang punya sikap mental seperti tiada mengenal kata-kata tunduk, kecuali kepada Allah SWT semata-mata.
Inilah sikap mental yang paling merdeka, karena itu paling berbahagia hidupnya di dunia. (*)
(Penulis Dosen STAI Sumatera dan STAI RA Batang Kuis)