“Jika kau ingin menemuiku, carilah aku di tengah-tengah orang miskin,” kata Nabi Muhammad SAW. Dan beliau wafat dengan meninggalkan utang gadai baju besi kepada seorang yahudi.
Wasiat Rasulullah itulah yang membuat Shalahuddin Al Ayyubi memilih miskin hingga akhir hayat. Pada 1193, Sang Penakluk Aqsha (1192), meninggal dunia.
Ketika peti harta warisan Shalahuddin dibuka, isinya nyaris kosong. Bahkan sekadar untuk biaya pemakamannya pun tak cukup. Gaji, bagian ghanimah maupun fa’i yang diterima Jendral Shalahuddin semasa hidupnya, habis dibagikan kepada kaum dhuafa.
Demikianlah, Sholahuddin Al Ayyubi adalah Orang Kaya yang Kaya. Seperti dikatakan Rasulullah: Bukanlah orang kaya itu yang banyak harta-benda, tapi sejatinya orang kaya adalah yang kaya jiwanya (HR Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Orang kaya macam Shalahuddin Al Ayyubi “tidak punya waktu” untuk menikmati kekayaan harta-bendanya sendiri. Dia kaya untuk miskin. Kaum dhuafa lah yang menikmati kekayaan beliau.
Sesuai kata Nabi Muhammad SAW, sebaik-baik kekayaan adalah di tangan Muslim yang dermawan. Yakni, kata Abu Ishaq as Sabi’i dalam Kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin, yang memandang keluasan harta benda sebagai penolong agama.
Orang berjiwa kaya seperti Shalahuddin Al Ayyubi, bahkan bisa disebut sebagai “egois” bila tidak berusaha mencari harta sebanyak-banyaknya.
Seandainya kita mau memikirkan kepentingan keluarga lainnya, baik keluarga sedarah maupun keluarga seiman yang dhuafa dan membutuhkan bantuan finansial, maka kita tidak akan pernah merasa cukup meskipun penghasilan kita Rp 1 Milyar perbulan!
Penghasilan Rp5 juta atau 10 juta perbulan, mungkin cukup untuk makan kita dan keluarga, pendidikan anak, cicilan rumah, mobil, zakat/infaq dan sedikit tabungan.
Cukup memang jika kita hanya memikirkan diri dan keluarga kita saja. Tapi kita harus berusaha mendapatkan lebih banyak lagi, karena terlalu banyak umat Islam yang harus dibantu secara finansial. Maka, sebanyak-banyaknya uang harus kita hasilkan, dan sebanyak-banyaknya orang harus menikmati manfaat dari yang kita hasilkan.
Tapi hati-hati, jangan sebaliknya malah menjadi Orang Kaya yang Miskin. Yang sudah diberi kelebihan materi, namun tidak pernah merasa cukup dan selalu merasa kurang. Bagaikan meminum air laut. Itulah yang menyebabkannya miskin.
Memang, setiap manusia berpotensi untuk kemaruk harta. “Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan” (QS Al-Fajr: 20).
Rasulullah SAW pun telah memperingatkan: “Seandainya anak Adam memiliki dua lembah yang dipenuhi harta kekayaan, dia pasti menginginkan lembah yang ketiga” (HR Tirmidzi dari Ibnu Abbas).
Selanjutnya, kerakusan biasanya berjalin-kelindan dengan kebakhilan. “Dan sungguh dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta” (QS. Al-Adiyat: 8). Dia sewa sepasukan bodyguard untuk melindunginya dari sentuhan kaum dhuafa. Belum cukup setengah lusin satpam yang bertugas 2 shift siang-malam menjaga rumahnya, dia bangun pagar rumah senilai milyaran rupiah.
Kerakusan secara manusiawi bahkan mengikuti laju usianya. Seperti diingatkan Nabi, “Hati orang tua yang telah lanjut usia cenderung pada dua hal, yaitu umur panjang dan banyak harta” (HR Tirmidzi dari Abu Hurairah).
Orang yang kaya-rakus-bakhil, sejatinya dia orang miskin. Dia dengan segenap kekayaannya tidaklah menakutkan, tapi menyedihkan. (bbs)