32 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Meraih Haji Mabrur

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji (berziarah ke tanah suci), niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh” (Ayat QS. Al-Hajj 22:27)

Arti ayat di atas, meletakkan dasar kegiatan berziarah ke tanah suci Makkah. Berziarah merupakan sistem yang dianut oleh komunitas manusia di seantero dunia ini. Haji menempati posisi unik dan penting bila dibandingkan dengan ziarah yang dilakukan kalangan umat Kristiani ataupun Hindu, baik dalam doktrin, geografis, histories dan cakupan globalnya.
Berbagai bangsa, ras, etnik, warna kulit, bahasa berbaur dan berinteraksi, membentuk majlis manusia terbesar dan terhetrogen dalam waktu dan tempat yang sama, di Makkah al-Mukarromah tempat beradanya “Baitullah”, dan itulah saat-saat peribadatan haji, rukun Islam yang ke lima di lakukan.

Haji merupakan ibadah tahunan selama minggu kedua bulan Dzulhijjah dan di laksanakan di Makkah al-Mukarromah. Serangkaian ritual yang sangat simbolis dan emosional di lakukan bersama-sama secara serentak oleh semua jamaah haji, dengan hanya semata mengikuti jejak contoh Nabi Muhammad saw sebagai reka ulang peristiwa ujian keimanan atas Nabi Ibrahim, Siti Sarah sang istri dan Ismail sang anak. Dalam hadis riwayat Muslim dan an-Nasa-i dari Jabir ibn Abdillah, Rosulullah saw bersabda “Khudzu ‘anni manasikakum.” Artinya: ambillah contoh dariku tata cara ibadah hajimu.
Ibadah haji yang dilakukan dengan benar membentuk manusia yang secara spiritual lahir kembali “roja’a ka yaumin waladathu ummahu” (H.R.as-Syaikhoni dari Abi Hurairoh ra), yang seluruh dosa dan kesalahannya telah terampuni (H.R.Abdillah, Jabir, Amr bin Ash, Umar dll). Pada wacana ini, jamaah berusia lanjut dan lemah banyak yang berangan-angan untuk mati di sana, karena menguatnya keyakinan bahwa dirinya telah bersih yang akan segera masuk surga. Namun hal ini bisa terjadi manakala ibadah hajinya diterima oleh Allah SWT, tetapi ketentuan keabsahannya tidak mungkin diketahui oleh siapapun. Tanda ibadah haji di terima oleh-Nya, yang kemudian biasa di sebut hajinya mabrur, bukanlah karena sudah melakukan semua ritual manasik secara benar semata, melainkan dengan kemampuan menerapkan niat yang tulus, ikhlas dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT pada setiap perjalanan spiritual ibadah haji.

Berbagai indikator kemabruran yang harus berlangsung sepanjang sejarah kehidupan seseorang yang telah menunaikan ritual haji yang baik dan benar, haruslah tercermin dalam realitas hidup. Struktur simbolis haji yang mengandung multi makna dan membuka berbagai penafsiran alternatif, mendorong banyak karakter bagi jamaah haji dalam menapaki hari-hari esok yang penuh tantangan dan dinamika, sehingga aktualisasi kemabruran akan sangat memberi cercah positif dan terpenuhinya harapan indah dan diraihnya kebahagiaan yang tidak nisbi.

Rasulullah saw menawarkan peluang dengan prospek yang membahagiakan bagi jamaah haji yang telah dapat menunaikan syarat, rukun dan wajib haji dengan baik dan sempurna. Sabda beliau menegaskan tentang hakikat kemabruran haji yang adalah dambaan setiap insan yang pergi haji dan pahala yang sangat maksimal yaitu “al-Jannah”. Hadist dari Jabir bin Abdillah ra. Rasulullah saw bersabda : Haji mabrur itu tidak ada pahalanya selain surga”, mereka berkata: Wahai Rosulallah, apakah birrul-haji itu ? (kebaikan yang timbul karena ibadah haji ?);
Beliau bersabda: “Memberi makan (bersedekah) ; dan menebar kesejahteraan” diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan ditakhrij oleh al-Mukhollish’l-Dzahabiy; beliau bersabda: “Dan bertutur sapa yang santun, menempati “menebar kesejahteraan”.

Dijelaskan dalam kitab “al-Qiro’li qoshidi ummil’quro” dalam syarah hadits di atas bahwa: “al-mabrur, yakni “haji yang tidak di campuri oleh dosa, dikatakan juga “al-mutaqobbal, yaitu yang diterima; dan juga berarti “yang tidak ada riya di dalamnya, dan tidak ada rasa takabur serta tidak dibarengi dengan perbuatan atau perkataan yang porno juga tidak berbuat kefasikan”. Dikatakan pula, bahwa tanda-tanda haji mabrur adalah akan senantiasa bertambah kebaikannya dan tidak lagi membiasakan bermaksiat sesudah pulang kembali (ke kampung halamannya). Al-Hasan al-Bashori berkata tentang haji mabrur, bahwa dia (si haji) akan pulang (ke kampungnya) dalam situasi zuhud di dunia, dan berharap untuk keakhiratannya (zahidan fil-dunya wa ro-ghiban fi’l-a-khiroh).

Mabrur suatu predikat tertinggi dalam pencapaian target menunaikan ibadah haji; tapi sayangnya tidak mudah untuk meraihnya, bahkan bila telah didapatpun, tidak otomatis akan melekat sepanjang hayat pada diri sang haji ataupun hajah.

Imam al-Ghozali menceriterakan suatu kisah tentang mabrurnya haji yang hanya didapatkan oleh jamaah yang berjumlah sedikit bila dibandingkan dengan banyaknya jama’ah yang berwukuf di Arafah. Ali bin Muwaffaq menceriterakan tentang pengalamannya tatkala ia menunaikan ibadah haji suatu tahun:

Ketika malam hari Arafah ia tidur di Mina di Masjid al-Khaif, tiba-tiba ia bermimpi dalam tidurnya seakan-akan ada dua Malaikat turun dari langit. Keduanya berpakaian berwarna hijau, salah satu dari keduanya memanggil sahabatnya itu “Hai Abdallah”. Dijawab oleh yang lain: “Labbaik hai Abdallah” yang pertama berkata: “Tahukah engkau berapa jumlah jamaah yang berziarah di “bait Tahun kita” azza wajalla untuk berhaji tahun ini ?”

Dijawab: “Tidak tahu”. Ia berkata: “Telah berhaji di “bait Tuhan kita” enam ratus ribu orang. Tahukah engkau berapa yang diterima (mabrur)?”. Dijawab: “Tidak”. Ia berkata : “Enam orang”. Sang sufi berkata : “Kemudian kami naik ke atas ke udara”, dan kedua Malaikat itu menghilang dari padaku; maka akupun terbangun dengan kaget dan bersedih sekali, memikirkan tentang diriku.

Akupun berkata: “Kalau hanya enam orang yang mabrur hajinya, maka dimana aku di antara yang enam orang itu”. Setelah aku meninggalkan Arafah dan telah berada di al-Masy’aril Harom (Muzdalifah), aku berfikir tentang banyaknya manusia (jamaah haji) dan sedikitnya yang mabrur, sampai akupun tertidur pula. Tiba-tiba kedua Malaikat tadi turun dalam keadaan (asli) keduanya; Masing-masing saling memanggil dan mengulangi pembicaraan (di Arafah) juga. Kemudian ia bertanya “Tahukah engkau apa yang ditentukan Tuhan kita azza wa jalla pada malam ini?”. Dijawab: “Tidak tahu”. Ia berkata: “Bahwa Dia memberi setiap orang dari yang enam itu, seratus ribu jamaah”. Sang sufi terbangun dalam keadaan senang dan gembira (Ihya ulumuddin,vol.1. hal.242).

Jamaah haji tiap tahun bertambah, tapi yang mabrur sangat sedikit. Padahal semua mendambakannya. Lebih lanjut Imam al-Ghozali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin memberikan petunjuk bagi para jamaah haji dalam upaya meraih mabrur. Ada yang sifatnya upaya-upaya lahiriyah, ada juga langkah-langkah yang harus di lakukan secara ruhaniyah.
Secara panjang lebar di jelaskan dalam Bab III Kitab Asroril hajj, terhimpun “fi’l-a-dabid-daqiqoh wal-a’-malil-bathinah”. (Bersambung)

Oleh: Drs. H.Abdurahim hidayat, MM

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji (berziarah ke tanah suci), niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh” (Ayat QS. Al-Hajj 22:27)

Arti ayat di atas, meletakkan dasar kegiatan berziarah ke tanah suci Makkah. Berziarah merupakan sistem yang dianut oleh komunitas manusia di seantero dunia ini. Haji menempati posisi unik dan penting bila dibandingkan dengan ziarah yang dilakukan kalangan umat Kristiani ataupun Hindu, baik dalam doktrin, geografis, histories dan cakupan globalnya.
Berbagai bangsa, ras, etnik, warna kulit, bahasa berbaur dan berinteraksi, membentuk majlis manusia terbesar dan terhetrogen dalam waktu dan tempat yang sama, di Makkah al-Mukarromah tempat beradanya “Baitullah”, dan itulah saat-saat peribadatan haji, rukun Islam yang ke lima di lakukan.

Haji merupakan ibadah tahunan selama minggu kedua bulan Dzulhijjah dan di laksanakan di Makkah al-Mukarromah. Serangkaian ritual yang sangat simbolis dan emosional di lakukan bersama-sama secara serentak oleh semua jamaah haji, dengan hanya semata mengikuti jejak contoh Nabi Muhammad saw sebagai reka ulang peristiwa ujian keimanan atas Nabi Ibrahim, Siti Sarah sang istri dan Ismail sang anak. Dalam hadis riwayat Muslim dan an-Nasa-i dari Jabir ibn Abdillah, Rosulullah saw bersabda “Khudzu ‘anni manasikakum.” Artinya: ambillah contoh dariku tata cara ibadah hajimu.
Ibadah haji yang dilakukan dengan benar membentuk manusia yang secara spiritual lahir kembali “roja’a ka yaumin waladathu ummahu” (H.R.as-Syaikhoni dari Abi Hurairoh ra), yang seluruh dosa dan kesalahannya telah terampuni (H.R.Abdillah, Jabir, Amr bin Ash, Umar dll). Pada wacana ini, jamaah berusia lanjut dan lemah banyak yang berangan-angan untuk mati di sana, karena menguatnya keyakinan bahwa dirinya telah bersih yang akan segera masuk surga. Namun hal ini bisa terjadi manakala ibadah hajinya diterima oleh Allah SWT, tetapi ketentuan keabsahannya tidak mungkin diketahui oleh siapapun. Tanda ibadah haji di terima oleh-Nya, yang kemudian biasa di sebut hajinya mabrur, bukanlah karena sudah melakukan semua ritual manasik secara benar semata, melainkan dengan kemampuan menerapkan niat yang tulus, ikhlas dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT pada setiap perjalanan spiritual ibadah haji.

Berbagai indikator kemabruran yang harus berlangsung sepanjang sejarah kehidupan seseorang yang telah menunaikan ritual haji yang baik dan benar, haruslah tercermin dalam realitas hidup. Struktur simbolis haji yang mengandung multi makna dan membuka berbagai penafsiran alternatif, mendorong banyak karakter bagi jamaah haji dalam menapaki hari-hari esok yang penuh tantangan dan dinamika, sehingga aktualisasi kemabruran akan sangat memberi cercah positif dan terpenuhinya harapan indah dan diraihnya kebahagiaan yang tidak nisbi.

Rasulullah saw menawarkan peluang dengan prospek yang membahagiakan bagi jamaah haji yang telah dapat menunaikan syarat, rukun dan wajib haji dengan baik dan sempurna. Sabda beliau menegaskan tentang hakikat kemabruran haji yang adalah dambaan setiap insan yang pergi haji dan pahala yang sangat maksimal yaitu “al-Jannah”. Hadist dari Jabir bin Abdillah ra. Rasulullah saw bersabda : Haji mabrur itu tidak ada pahalanya selain surga”, mereka berkata: Wahai Rosulallah, apakah birrul-haji itu ? (kebaikan yang timbul karena ibadah haji ?);
Beliau bersabda: “Memberi makan (bersedekah) ; dan menebar kesejahteraan” diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan ditakhrij oleh al-Mukhollish’l-Dzahabiy; beliau bersabda: “Dan bertutur sapa yang santun, menempati “menebar kesejahteraan”.

Dijelaskan dalam kitab “al-Qiro’li qoshidi ummil’quro” dalam syarah hadits di atas bahwa: “al-mabrur, yakni “haji yang tidak di campuri oleh dosa, dikatakan juga “al-mutaqobbal, yaitu yang diterima; dan juga berarti “yang tidak ada riya di dalamnya, dan tidak ada rasa takabur serta tidak dibarengi dengan perbuatan atau perkataan yang porno juga tidak berbuat kefasikan”. Dikatakan pula, bahwa tanda-tanda haji mabrur adalah akan senantiasa bertambah kebaikannya dan tidak lagi membiasakan bermaksiat sesudah pulang kembali (ke kampung halamannya). Al-Hasan al-Bashori berkata tentang haji mabrur, bahwa dia (si haji) akan pulang (ke kampungnya) dalam situasi zuhud di dunia, dan berharap untuk keakhiratannya (zahidan fil-dunya wa ro-ghiban fi’l-a-khiroh).

Mabrur suatu predikat tertinggi dalam pencapaian target menunaikan ibadah haji; tapi sayangnya tidak mudah untuk meraihnya, bahkan bila telah didapatpun, tidak otomatis akan melekat sepanjang hayat pada diri sang haji ataupun hajah.

Imam al-Ghozali menceriterakan suatu kisah tentang mabrurnya haji yang hanya didapatkan oleh jamaah yang berjumlah sedikit bila dibandingkan dengan banyaknya jama’ah yang berwukuf di Arafah. Ali bin Muwaffaq menceriterakan tentang pengalamannya tatkala ia menunaikan ibadah haji suatu tahun:

Ketika malam hari Arafah ia tidur di Mina di Masjid al-Khaif, tiba-tiba ia bermimpi dalam tidurnya seakan-akan ada dua Malaikat turun dari langit. Keduanya berpakaian berwarna hijau, salah satu dari keduanya memanggil sahabatnya itu “Hai Abdallah”. Dijawab oleh yang lain: “Labbaik hai Abdallah” yang pertama berkata: “Tahukah engkau berapa jumlah jamaah yang berziarah di “bait Tahun kita” azza wajalla untuk berhaji tahun ini ?”

Dijawab: “Tidak tahu”. Ia berkata: “Telah berhaji di “bait Tuhan kita” enam ratus ribu orang. Tahukah engkau berapa yang diterima (mabrur)?”. Dijawab: “Tidak”. Ia berkata : “Enam orang”. Sang sufi berkata : “Kemudian kami naik ke atas ke udara”, dan kedua Malaikat itu menghilang dari padaku; maka akupun terbangun dengan kaget dan bersedih sekali, memikirkan tentang diriku.

Akupun berkata: “Kalau hanya enam orang yang mabrur hajinya, maka dimana aku di antara yang enam orang itu”. Setelah aku meninggalkan Arafah dan telah berada di al-Masy’aril Harom (Muzdalifah), aku berfikir tentang banyaknya manusia (jamaah haji) dan sedikitnya yang mabrur, sampai akupun tertidur pula. Tiba-tiba kedua Malaikat tadi turun dalam keadaan (asli) keduanya; Masing-masing saling memanggil dan mengulangi pembicaraan (di Arafah) juga. Kemudian ia bertanya “Tahukah engkau apa yang ditentukan Tuhan kita azza wa jalla pada malam ini?”. Dijawab: “Tidak tahu”. Ia berkata: “Bahwa Dia memberi setiap orang dari yang enam itu, seratus ribu jamaah”. Sang sufi terbangun dalam keadaan senang dan gembira (Ihya ulumuddin,vol.1. hal.242).

Jamaah haji tiap tahun bertambah, tapi yang mabrur sangat sedikit. Padahal semua mendambakannya. Lebih lanjut Imam al-Ghozali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin memberikan petunjuk bagi para jamaah haji dalam upaya meraih mabrur. Ada yang sifatnya upaya-upaya lahiriyah, ada juga langkah-langkah yang harus di lakukan secara ruhaniyah.
Secara panjang lebar di jelaskan dalam Bab III Kitab Asroril hajj, terhimpun “fi’l-a-dabid-daqiqoh wal-a’-malil-bathinah”. (Bersambung)

Oleh: Drs. H.Abdurahim hidayat, MM

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/