Dikisahkan oleh Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin pada Bab Keutamaan Bekerja dan Mencari Penghidupan tentang dialog Nabi Isa ‘alayhissalam dengan seseorang.
Nabi Isa bertanya, “Apa pekerjaanmu?” Lelaki itu menjawab, “Aku hanya beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala saja.”
Nabi Isa bertanya kembali, “Siapa yang menanggung kebutuhan hidupmu sehari-hari?”
Lelaki itu menjawab, “Saudaraku.”
Nabi Isa pun bersabda, “Saudaramu itu lebih banyak ibadahnya dalam penilaian Allah Ta’ala daripada apa yang sudah kamu lakukan.”
Demikianlah Islam memberikan panduan bagi kita mengisi kehidupan ini. Allah sama sekali tidak memandang rendah orang yang bekerja, mencari kebutuhan sehari-hari bagi keluarga, daripada mereka yang hanya sibuk beribadah tanpa memikirkan kehidupan dunia.
Kisah di atas juga menyiratkan satu pelajaran bahwa umat Islam mesti seimbang di dalam memandang kehidupan. Ibadah yang dilakukan hendaknya tak membuat kita malas bekerja, sehingga hidup tergantung kepada orang lain. Allah justru mencintai orang yang bekerja untuk mencegah dirinya tergantung kepada orang lain, apalagi sampai hidup dengan meminta-minta.
Jadi, bekerja dengan niat yang benar untuk menjaga kemuliaan diri dan keluarga adalah ibadah yang tidak saja baik, bahkan terkategori mulia dan mendapatkan banyak janji kebaikan dari Allah Ta’ala seperti orang-orang yang berjihad di jalan-Nya.
Al-Ghazali kembali menyajikan sebuah kisah dalam kitab monumentalnya itu, Ihya Ulumuddin.
“Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam duduk bersama para Sahabat di masjid Nabawai, Madinah. Seorang pemuda yang kuat dan kekar terlihat melintas di dekat masjid untuk pergi berdagang. Lalu di antara para Sahabat ada yang berkata, ‘Alangkah mulianya pemuda itu jika masa mudanya yang kuat dan sehat digunakannya untuk berjihad di jalan Allah Subhanahu Wata’la.’
Mendengar itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Janganlah kalian mengatakan seperti itu. Sebab jika pemuda tadi berusaha dengan maksud melepaskan diri dari ketergantungan kepada orang lain, dan untuk tujuan menghindarkan diri dari meminta-minta, maka ia telah berjihad di jalan Allah Subhanahu Wata’ala.
Dan jika ia berusaha untuk menghidupi kedua orangtua dan anak-anaknya yang lemah, maka ia juga telah dianggap sebagai berjihad di jalan Allah Subhanahu Wata’ala. Namun, jika usaha dagang yang ia lakukan hanya untuk memperlihatkan kekuatan demi kebanggaaan atas dirinya sendiri, maka ia berada di jalan setan yang tersesat.” (HR. Thabrani).
Dalil tersebut memberikan penjelasan gamblang kepada kita mengapa Khalifah Abu Bakar, sekalipun telah menjadi pemimpin besar, namun tetap memilih berdagang, meski akhirnya diatur sedemikian rupa agar dapat fokus mengurusi umat.
Demikian pula dengan Salman Al-Farisi, yang tetap berdagang sekalipun telah menjadi seorang gubernur. Menariknya, hal itu dilakukan bukan karena tak puas dengan gaji sebagai pemimpin. Melainkan untuk mendapatkan kemuliaan dari Allah dengan bekerja. Hal ini bisa dilihat, saat wafat, Salman ternyata meninggalkan pakaian dengan banyak sekali tambalan.
Oleh karena itu, mari jauhi kemalasan di dalam diri. Jangan pernah merasa terlalu tua untuk bekerja. Jangan pula merasa masih muda untuk mengambil tanggung jawab dengan bekerja. Muda atau tua, jika memiliki niat dan tujuan bekerja yang benar, Insya Allah akan mendapatkan banyak kemuliaan dari sisi Allah Ta’ala.
Bekerjalah penuh semangat, bekerjalah penuh harapan, dan bekerjalah untuk memberikan arti bagi kehidupan.
Tak peduli panas atau hujan, semangat bekerja harus terus menyala dan berkobar di dalam jiwa. Kemudian dapatilah kebahagiaan sejati dunia-akhirat.(hidayatullah/ram)