27.7 C
Medan
Thursday, July 4, 2024

Mampu Memeluknya Diyakini Bisa Naik Haji

Mitos Seputar Tiang Keramat Masjid Agung Al Karomah Martapura, Kalimantan Selatan

Bagaimana jadinya jika dengan memeluk tiang-tiang di dalam sebuah masjid  akan membuat kita bisa naik haji? Mungkin kita akan ke masjid  bukan untuk salat, tapi untuk memeluk tiang.

Pada zaman dahulu, sekitar tahun 1280 Hijriyah atau 1863 Masehi, seorang ulama Kalsel bernama Datu Landak ditugaskan oleh Sultan Kerajaan Banjar untuk mencari tiang yang terbuat dari kayu ulin sebagai sokoguru masjid, ke daerah Barito Kalimantan Tengah. Mendapati tugas itu maka Datu Landak akhirnya berangkat.

Konon, di daerah Barito Kalteng, beliau akhirnya menemukan empat buah pohon kayu ulin yang tinggi dan besar. Menurut  cerita, beliau lalu mencabut keempat pohon tersebut dengan tangan sendiri dan membawanya ke pinggir Sungai  Barito untuk di larutkan hingga sampai ke Martapura. Dan daerah-daerah yang dilalui kayu tadi hingga ke sungai, kata sebagian hikayat, menjadi daerah yang banyak intannya.

Nah, keempat kayu ulin itu sekarang masih dapat kita jumpai berdiri kokoh di dalam Masjid Agung Al Karomah Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Dulu ketika pertama kali hendak didirikan, Datu Landak hanya menepuk tanah dan dengan sendirinya tiang-tiang itu berdiri tegak.
Entah karena karomah Datu Landak, yang merupakan keturunan Datu Kelampayan ini, atau ada sebab lain. Yang jelas kemudian, ke empat tiang tersebut selalu dilingkarkan bunga melati setiap hari. Dan muncul kepercayaan sebagian masyarakat bahwa jika kita bisa memeluk keempat tiang ulin itu maka kita akan bisa segera mendapatkan rejeki untuk berhaji.

Ahmad Mulyadi (21), seorang mahasiswa STAI (Sekolah Tinggi Agama Islam) Martapura membenarkan fenomena sebagian masyarakat yang suka memeluk tiang masjid. Menurutnya, hal tersebut dilakukan warga karena ingin mengambil berkah dari kayu tersebut. “Bagiannya (mereka, Red) biasanya berharap berkah dari tiang itu,” ujarnya.

Seorang penjaga masjid  yang namanya enggan disebutkan juga mengiyakan apa yang telah di lakukan sebagian warga Martapura yakni memeluk tiang masjid. Ketika penulis bertanya padanya tentang kebenaran dari keramat tiang itu, dengan tertawa geli dia berkata: “Biar diragap jua, mun duit kadida, kada kawa jua naik haji (biar dipeluk, tapi kalau uang tidak ada maka tetap tidak bisa naik haji, Red)”.
Adapun Masjid Agung Al Karomah sendiri merupakan salah satu objek wisata di Martapura. Masjid ini sudah tiga kali mengalami renovasi, namun tetap mempertahankan tiang kayu ulin sebagai saksi sejarah.

Dilihat dari segi arsitekturnya, bentuk Masjid Agung Al Karomah Martapura ini mengikuti Masjid Demak Buatan Sunan Kalijaga. Miniaturnya dibawa utusan Desa Dalam Pagar dan ukurannya sangat rapi serta mudah disesuaikan dengan bangunan sebenarnya sebab telah memakai skala.
Sampai saat ini bentuk bangunan masjid menurut KH Halilul Rahman, Sekretaris Umum di kepengurusan masjid sudah tiga kali rehab. Dengan mengikuti bentuk bangunan modern dan Eropa, sekarang Masjid Agung Al Karomah Martapura terlihat lebih megah.

Meski bergaya modern, empat tiang Ulin yang menjadi Saka Guru peninggalan bangunan pertama masjid masih tegak di tengah. Tiang ini dikelilingi puluhan tiang beton yang menyebar di dalam masjid.

Arsitektur Masjid Agung Al Karomah Martapura yang menelan biaya Rp27 miliar pada rehab terakhir sekitar tahun 2004, banyak mengadopsi bentuk Timur Tengah. Seperti atap kubah bawang dan ornamen gaya Belanda.

Semula atap masjid berbentuk kerucut dengan konstruksi beratap tumpang, bergaya masjid tradisional Banjar. Setelah beberapa kali rehab akhirnya berubah menjadi bentuk kubah.

Bila arsitektur bangunan banyak berubah, namun mimbar tempat khatib berkhutbah yang berumur lebih satu abad sampai sekarang berfungsi.
Mimbar berukiran untaian kembang dan berbentuk panggung dilengkapi tangga sampai sekarang masih berfungsi dan diarsiteki HM Musyafa.
Pola ruang pada Masjid Agung Al Karomah juga mengadopsi pola ruang dari arsitektur Masjid Agung Demak yang dibawa bersamaan dengan masuknya agama Islam ke daerah ini oleh Khatib Dayan. Karena mengalami perluasan arsitektur Masjid Agung Demak hanya tersisa dari empat tiang ulin atau disebut juga tiang guru empat dari bangunan lama.(bbs/ij/ram/jpnn)

Mitos Seputar Tiang Keramat Masjid Agung Al Karomah Martapura, Kalimantan Selatan

Bagaimana jadinya jika dengan memeluk tiang-tiang di dalam sebuah masjid  akan membuat kita bisa naik haji? Mungkin kita akan ke masjid  bukan untuk salat, tapi untuk memeluk tiang.

Pada zaman dahulu, sekitar tahun 1280 Hijriyah atau 1863 Masehi, seorang ulama Kalsel bernama Datu Landak ditugaskan oleh Sultan Kerajaan Banjar untuk mencari tiang yang terbuat dari kayu ulin sebagai sokoguru masjid, ke daerah Barito Kalimantan Tengah. Mendapati tugas itu maka Datu Landak akhirnya berangkat.

Konon, di daerah Barito Kalteng, beliau akhirnya menemukan empat buah pohon kayu ulin yang tinggi dan besar. Menurut  cerita, beliau lalu mencabut keempat pohon tersebut dengan tangan sendiri dan membawanya ke pinggir Sungai  Barito untuk di larutkan hingga sampai ke Martapura. Dan daerah-daerah yang dilalui kayu tadi hingga ke sungai, kata sebagian hikayat, menjadi daerah yang banyak intannya.

Nah, keempat kayu ulin itu sekarang masih dapat kita jumpai berdiri kokoh di dalam Masjid Agung Al Karomah Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Dulu ketika pertama kali hendak didirikan, Datu Landak hanya menepuk tanah dan dengan sendirinya tiang-tiang itu berdiri tegak.
Entah karena karomah Datu Landak, yang merupakan keturunan Datu Kelampayan ini, atau ada sebab lain. Yang jelas kemudian, ke empat tiang tersebut selalu dilingkarkan bunga melati setiap hari. Dan muncul kepercayaan sebagian masyarakat bahwa jika kita bisa memeluk keempat tiang ulin itu maka kita akan bisa segera mendapatkan rejeki untuk berhaji.

Ahmad Mulyadi (21), seorang mahasiswa STAI (Sekolah Tinggi Agama Islam) Martapura membenarkan fenomena sebagian masyarakat yang suka memeluk tiang masjid. Menurutnya, hal tersebut dilakukan warga karena ingin mengambil berkah dari kayu tersebut. “Bagiannya (mereka, Red) biasanya berharap berkah dari tiang itu,” ujarnya.

Seorang penjaga masjid  yang namanya enggan disebutkan juga mengiyakan apa yang telah di lakukan sebagian warga Martapura yakni memeluk tiang masjid. Ketika penulis bertanya padanya tentang kebenaran dari keramat tiang itu, dengan tertawa geli dia berkata: “Biar diragap jua, mun duit kadida, kada kawa jua naik haji (biar dipeluk, tapi kalau uang tidak ada maka tetap tidak bisa naik haji, Red)”.
Adapun Masjid Agung Al Karomah sendiri merupakan salah satu objek wisata di Martapura. Masjid ini sudah tiga kali mengalami renovasi, namun tetap mempertahankan tiang kayu ulin sebagai saksi sejarah.

Dilihat dari segi arsitekturnya, bentuk Masjid Agung Al Karomah Martapura ini mengikuti Masjid Demak Buatan Sunan Kalijaga. Miniaturnya dibawa utusan Desa Dalam Pagar dan ukurannya sangat rapi serta mudah disesuaikan dengan bangunan sebenarnya sebab telah memakai skala.
Sampai saat ini bentuk bangunan masjid menurut KH Halilul Rahman, Sekretaris Umum di kepengurusan masjid sudah tiga kali rehab. Dengan mengikuti bentuk bangunan modern dan Eropa, sekarang Masjid Agung Al Karomah Martapura terlihat lebih megah.

Meski bergaya modern, empat tiang Ulin yang menjadi Saka Guru peninggalan bangunan pertama masjid masih tegak di tengah. Tiang ini dikelilingi puluhan tiang beton yang menyebar di dalam masjid.

Arsitektur Masjid Agung Al Karomah Martapura yang menelan biaya Rp27 miliar pada rehab terakhir sekitar tahun 2004, banyak mengadopsi bentuk Timur Tengah. Seperti atap kubah bawang dan ornamen gaya Belanda.

Semula atap masjid berbentuk kerucut dengan konstruksi beratap tumpang, bergaya masjid tradisional Banjar. Setelah beberapa kali rehab akhirnya berubah menjadi bentuk kubah.

Bila arsitektur bangunan banyak berubah, namun mimbar tempat khatib berkhutbah yang berumur lebih satu abad sampai sekarang berfungsi.
Mimbar berukiran untaian kembang dan berbentuk panggung dilengkapi tangga sampai sekarang masih berfungsi dan diarsiteki HM Musyafa.
Pola ruang pada Masjid Agung Al Karomah juga mengadopsi pola ruang dari arsitektur Masjid Agung Demak yang dibawa bersamaan dengan masuknya agama Islam ke daerah ini oleh Khatib Dayan. Karena mengalami perluasan arsitektur Masjid Agung Demak hanya tersisa dari empat tiang ulin atau disebut juga tiang guru empat dari bangunan lama.(bbs/ij/ram/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/