Oleh:
Drs H Hasan Maksum Nasution SH SPdI MA
Ahmad Syauqi dalam salah satu syairnya: “Bahwasanya bangsa itu bisa bertahan selama mereka memiliki akhlak. Maka bila akhlak itu lenyap dari mereka, merekapun akan lenyap”.
Menurut ajaran Islam, berdasarkan praktik Rasulullah Saw, akhlak mulia adalah faktor penting dalam membina suatu umat atau membangun suatu bangsa. Suatu pembangunan tidaklah ditentukan semata dengan faktor kredit dan investasi materil. Berapa pun besarnya kredit dan investasi, kalau manusia pelaksananya tidak memiliki akhlak, niscaya segalanya akan berantakan akibat penyelewengan dan korupsi.
Demikian pula pembangunan tidak mungkin berjalan hanya dengan kesenangan melontarkan fitnah kepada lawan-lawan politik atau hanya mencari-cari kesalahan orang lain. Yang diperlukan oleh pembangunan ialah keikhlasan, kejujuran, jiwa kemanusiaan yang tinggi, sesuainya kata dengan perbuatan, prestasi kerja, kedisiplinan, jiwa dedikasi dan selalu berorientasi kepada hari depan dan pembaharuan. Itulah sebabnya dikatakan, bahwa mengisi kemerdekaan adalah jauh lebih berat dari perjuangan merebut kemerdekaan itu sendiri.
Karenanya, program utama dan perjuangan pokok segala usaha ialah pembinaan akhlak mulian, ia harus ditanamkan dan ditegakkan kepada seluruh lapisan masyarakat terbawah. Pada lapisan atas inilah yang pertama-tama wajib memberikan tauladan yang baik kepada masyarakat dan rakyat. Akan tetapi manakala para pemimpin berani memberikan contoh-contoh yang buruk, maka akan berlakulah pepatah “Kalau guru kencing berdiri, murid akan kencing berlari. Andaikata terjadi, justru guru kencing berlari, niscaya murid-murid kencing menari-nari”.
Akhlak dari suatu bangsa itulah yang menentukan sikap hidup dan tidak perbuatannya. Intelektual suatu bangsa tidak besar pengaruhnya dalam hal kebangunan dan keruntuhan. Sejarah mencatat kerajaan Abbasiyah di Timur yang memiliki tamaddun yang tinggi, telah diruntuhkan oleh bangsa Mongol yang tidak mengenal kebudayaan. Seluruh sejarah bangsa-bangsa mengajarkan kepada kita, bahwa tidak pernah ada suatu bangsa yang jatuh karena krisis intelektual, tetapi suatu bangsa jatuh adalah sebab krisis akhlak.
Dalam sejarah perjuangan pisik, rakyat Indonesia berhasil merebut kemerdekaannya berkat mental juang yang tinggi. Rakyat berjuang menggunakan senjata-senjata sederhana dan bambu runcing menghadapi serdadu-serdadu Belanda, Jepang dan Inggris yang terlatih dalam kemiliteran dan dengan persenjataan, teknis modern. Rahasia kemenangan bambu runcing ini adalah karena di belakangnya berdiri manusia-manusia yang punya mental baja, berani menyabung nyawa dan bertarung dengan maut, demi tegaknya kebenaran dan keadilan di bumi pertiwi tercinta ini.
Akhlak Islam adalah suatu mental dan perbuatan yang luhur, mempunyai hubungan dengan Zat Yang Maha Kuasa, Allah SWT. Akhlak Islam adalah produk dari keyakinan atas kekuasaan dan ke-Esaan Tuhan, jadi dia adalah produk daripada jiwa tauhid. Sebagai konsekwensinya, maka hanya Tuhan itulah satu-satunya yang wajib disembah, dimohon petunjuknya, pertolongannya serta yang harus diikuti.
Akhlak Karimah
Dari aqidah tauhid yang benar disertai menyandarkan hidup demi meraih mardhatillah, maka akan terbangunlah akhlak yang karim, yaitu senantiasa memenuhi segala kewajiban yang diperintah oleh Allah dalam hidup dan kehidupannya.
Akhlak adalah sebuah pola hubungan yang baik yang terjalin antara makhluk sebagai ‘abid dan Khaliq sebagai ma’bud, yang garis lurus vertikal itu diciptakan melalui proses amal ibadah dalam artian yang khusus dan juga dalam implementasi yang luas, yaitu pengabdian atau keberserahdirian hamba baik sebagai pribadi (fardhiyah) maupun secara kelompok/komunitas kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Bahwa salah satu bentuk dari wujud akhlak karimah yang secara jama’ah itu adalah dalam konteks Ulil Amri yaitu ada dan terbangunnya suatu kepemimpinan yang menggerakkan dan mengatur masyarakat/komunitas muslim ke arah keridhaan Allah SWT.
Istilah ini berbeda dengan etika dan moral yang kita kenal dan sering padankan selama ini. Akhlak adalah sebuah terminology/peristilahan khusus yang digunakan untuk hubungan makhluk (manusia) terhadap Al-Khaliq (Allah swt.). Akhlak karimah wajiblah atasnya bercermin pada Rasulullah Saw, sebab beliau diutus oleh Allah SWT untuk memperbaiki akhlak hamba dengan penciptaNya Allah SWT.
Ummul mukminin Aisyah ra. pernah ditanya soal akhlak Rasulullah Saw. Beliau menjawab; “Khuluquhul Quran” artinya akhlak Nabi adalah Alquran.
Akhlak terbagi dua; pertama akhlak khas (khusus) adalah sekalian akhlak yang berkenaan dengan pribadi yang langsung kepada Khaliqul Alam, sedangkan kedua akhlak ‘am (umum) adalah sekalian akhlak yang ada hubungannya dengan makhluk yang lainnya, yang lazim dikenal sebagai baiknya hubungan vertikal antara manusia dengan Allah SWT (hablumminallah) dan hubungan baik antar sesama manusia dengan makhluk hidup lainnya (hablumminannas).
Kemungkaran Menyenangi Pendukungnya Sudah tidak asing lagi, bahwa pelaku kemungkaran akan cenderung menyenangi orang-orang yang mendukungnya dan membenci kepada siapa saja yang menghalanginya. Kondisi semacam ini tampak nyata pada agama-agama bobrok, selalu cenderung kepada yang sealiran dan memusuhi orang yang berbeda paham.
Dalam rangka memenangkan kekuasaan atau merencanakan perampokan, korupsi, adakalanya terjalin suatu bentuk kerja sama diantara mereka. Tak jarang mereka menganjurkan orang lain untuk ikut bekerja dalam kemungkaran yang mereka lakukan. Jika anjuran tersebut diabaikan, maka mereka akan memaksanya dengan cara apapun, walau dengan kekerasan sekalipun. Kemudian mereka yang menyuruh orang lain mengikuti jejaknya untuk melakukan tindakan tercela itu, sebenarnya pada hal-hal yang baik bisa juga terjadi bahkan lebih kuat dari itu.
Oleh karena itu, orang-orang beriman diperintahkan untuk selalu menghadang dan melawan keburukan musuh-musuhnya itu dengan kebaikan, serta diperintahkan untuk memperbaiki dirinya dengan dua cara, yaitu melakukan kebaikan dan meninggalkan segala bentuk kejelekan.
Di saat kebaikan mengalami hambatan serta adanya dorongan mengarah pada keburukan, maka ada empat cara perbaikan, dengan empat cara inilah para mukmin diperintahkan untuk memperbaiki orang lain sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang ada.
Allah SWT berfirman; “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan nasehat-menasehati, supaya menerapi kebenaran dan kesabaran”. (Al-’Ashr: 1-3).
Imam Syafi’i meriwayatkan serta mengatakan; “Kalau semua orang berfikir untuk memahami Al-’Ashr, maka cukuplah bagi mereka, sebab dalam surat itu Allah menekankan, bahwa sesungguhnya, manusia itu merugi, kecuali yang pada dirinya dilekati keimanan, kesalehan dan sesama orang lain, selalu berwasiat agar senantiasa menepati kebenaran dan kesabaran. (*)
Penulis adalah Dosen STAI
Sumatera, PTI AL-Hikmah dan STAI RA Batangkuis