Idul Fitri merupakan moment sakral yang sangat tunggu-tunggu oleh ummat Islam seluruh dunia. Nuansa kegembiraan dan kemenangannya terasa dimana-mana. Takbir menggema disegala penjuru. Tempat peribadatan dipenuhi dengan lantunan ayat-ayat Tuhan. Uluran tangan untuk saling memaafkan menjadi pemandangan khas idul fitri. Semua manusia merasa gembira lantaran telah sampai pada hari kemenangan setelah melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh.
Oleh: Misbahul Ulum*
Idul Fitri memiliki makna yang sangat dalam. Idul Fitri diartikan sebagai moment kembali ke fitrah (awal kejadian). Yakni, sejak hari itu dan seterusnya, manusia diharapkan kembali pada fitrah dirinya. Ia laksana seorang bayi yang baru keluar dari dalam kandungan yang tidak mempunyai dosa dan salah. Hampir semua orang akan merasakan kegembiraan disaat Idul Fitri tiba. Kegembiraan itu sangat wajar mengingat idul fitri merupakan hari kemenangan. Yakni kemenangan diri dalam menahan nafsu dan amarah selama bulan Ramadhan.
Semua orang seolah telah terbawa dalam heroisme idul fitri ini. Terkadang mereka tidak pernah menyadari disaat idul ftri datang, disaat itu pula Ramadhan akan akan pergi. Ramadhan yang merupakan bulan penuh ampunan, bulan kemuliaan akan segera berakhir. Bukankah seharusnya moment ini menjadi refleksi diri karena akan segera ditinggalkan Ramadhan?
Namun, kenyataanya berbeda. Magnet kegembiraan menyambut idul fitri jauh lebih kuat daripada kesedihan akan segera ditinggal bulan Ramadhan. Hampir segala persiapan yang telah dirancang selama bulan ramadhan hanya diorientasikan guna menyambut datangnya idul fitri. Sangat sedikit yang mempersiapkan diri guna meningkalkan Ramadhan. Padahal seharusnya kita patut sedih karena akan ditinggalkan Ramadhan.
Makna Idul Fitri
Kata Idul Fitri memiliki makna kembali kepada fitrah atau kembali kepada kesucian. Kembali suci disini dimaksudnya adalah kembali pada kehidupan yang lurus (shirat al-mustaqim). Kembali kepada jalan kebaikan. Jalan yang telah ditunjukkan Tuhan melalui perintah-perintah agama.
Menurut Prof Dr Muhammad Quraish Shihab, fitrah disini memiliki tiga makna. Yakni fitrah kepada kebenaran yang menghasilkan ilmu, fitrah kepada kebaikan yang menghasilkan etika, dan fitrah kepada keindahan yang menghasilkan seni. Perpaduan antara ilmu, etika, dan seni itulah yang akan membuat hidup manusia menjadi utuh. Makna kembali pada kebenaran inilah yang harus selalu terpatri dalam sanubari setiap ummat Islam. Idul fitri harus menjadi gerbang awal dalam menyongsong bulan-bulan berikutnya dengan perilaku-perilaku yang baik. Akan tetapi selama ini idul fitri kerapkali dijadikan sebagai moment yang salah kaprah. Idul fitri hanya diartikan sebagai saat untuk bersenang-senang, saat untuk melampiaskan nafsu setelah selama sebulan terkekang. Bahkan tak jarang idul fitri hanya dijadikan saat untuk pamer.
Budaya Serba Baru
Barangkali sudah menjadi kebiasaan masyarakat, setiap kali hari raya tiba disaat itu pula budaya serba baru menjangkiti masyarakat. Diwaktu menjelang lebaran semua orang berburu barang-barang baru. Tempat perbelanjaan menjadi sangat ramai. Mereka berburu kebutuhan Ramadhan. Mulai dari mencari baju baru, sandal baru, mukena baru dan barang-barang baru lainnya.
Seolah hari raya dan budaya serba baru ini menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan. Hingga akhirnya muncul anggapan tidak ada lebaran tanpa barang baru. Ini tentu sebuah fenomena yang tidak sepenuhnya benar. Terlebih jika moment idul fitri dengan budaya serba baru-nya hanya dijadikan sebagai ajang adu gengsi, ajang untuk pamer pakaian baru. Sungguh sangat tidak tepat.
Memang boleh-boleh saja seseorang menyambut idul fitri dengan gegap gempita. Seseorang juga tidak salah jika menyiapkan perayaan hari raya dengan wujud memakai peralatan yang serba baru. Hanya saja pola hidup serba baru ini sesungguhya tidak mencerminkan rasa simpati. Justru hanya memberikan simbol pola hidup berlebihan.
Tentu ketika hari raya tiba, kita tidak bisa melupakan spirit Ramadhan yang telah kita jalani selama satu bulan penuh. Ramadhan yang didalamnya terdapat perintah untuk memupuk rasa empati dan rasa saling menghargai. Ternyata tidak memiliki signifikansi dengan perayaan hari raya.
Bukankah perilaku serba baru ini hanya akan melahirkan kesenjangan? Bukankah budaya baru ini hanya akan semakin menunjukkan ketidakmampuan kita dalam memahami kondisi orang yang tiddak mampu? Lalu, dimana rasa empati dan kasih sayang yang selama bulan Ramadhan meliputi diri kita? Apakah rasa simpati dan empati hanya diperbolehkan di bulan puasa semata?
Ada baiknya kita melaukan otokritik atas apa yang telah menjadi budaya sebra baru ini. Sebab, pada dasarnya, perilaku serba baru ini hanya akan membuat orang-orang yang hidup dalam garis kemiskinan merasa tersiksa. Bagaimana tidak, disaat sebagian ummat Islam merayakan dengan busana serba baru, mereka tetaplah menjadi diri mereka yang tidak mampu membeli busana baru. Jangankan untuk membeli busana baru, untuk mempersiapkan hidangan idul fitri saja mereka harus berjuang terlebih dulu. Untuk itulah, ada baiknya idul fitri harus kita maknai sebagai moment untuk kembali kepada kebaikan. Kembali pada jalan Tuhan. Bukan untuk sekedar untuk adu gengsi semata. Apalagi hanya untuk pamer. Wallahu a’lam bi al-shawab
Penulis adalah Pengajar di Pusat
kajian Islam dan Feminisme IAIN Walisongo Semarang