Pro Kontra Demokrasi di Medan
MEDAN-Pasca runtuhnya komunis, masyarakat dunia saat ini dihadapkan hanya pada dua pilihan ideologi, yakni ideologi Islam atau demokrasi.Hal ini sudah diakui dan disadari oleh para pemikir-pemikir dari Barat. “Dan umat Islam seharusnya memilih sistem Islam. Apalagi sistem demokrasi ternyata bertentangan dengan Islam,” ucap Pengamat Politik Universitas Sumatera Utara (USU), Warjio, MA, Kamis (24/1), pada acara Halaqah Islam dan Peradaban yang digelar Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di convention hall Food Court, Jalan Amaliun Medan.
Jika ditelusuri kembali literatur, katanya, ternyata terminologi demokrasi itu masih dipersoalkan oleh para intelektual politik Barat. Istilah ini digunakan hanya untuk mengakomodir pemikiran terkait dengan kebebasan beragama, transparansi, kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi dan partisipasi politik.
Namun kenyataannya, sistem yang sekarang ini dijalankan justru sistem demokrasi. “Itu makanya saya katakan, demokrasi sebenarnya merupakan pilihan yang buruk dari yang terburuk,” ucap Dosen Perbandingan Ilmu Politik, Fisip USU ini.
Ketua HTI Sumut, Muhammad Yusran Ramli menyebutkan bahwa kenyataan dunia saat ini, bahwa sistem demokrasi telah membawa kesengsaraan bagi seluruh umat manusia, terlebih bagi umat Islam.
Banyak kezaliman yang terjadi, misalnya pembunuhan massal yang dilakukan pemerintahan Barat terhadap perempuan dan anak-anak di sejumlah negara, seperti Palestina, Irak, Afghanistan dan beberapa negara Islam lainnya. Penghilangan nyawa orang-orang tidak berdosa itu mengatasnamakan kepentingan tegaknya demokrasi.
Yusran juga memaparkan fakta tentang agenda asing dibalik baju demokrasi yang digunakan oleh para pembebek asing itu.
Sementara, Sekretaris MUI Sumut, Prof Dr Hasan Bakti Nasuition, MA, mengatakan, bahwa selama ini ada dua ideologi besar yang mempengaruhi dunia. Yakni ideologi sosialis (komunis) dan ideologi kapitalis (demokrasi).
Namun diantara dua ideologi ini memiliki kelemahan sehingga beberapa pemikir termasuk dari Islam yang mencoba mengawinkan dua ideologi itu sehingga terbentuklan idelogi baru yang disebut neo-demokrasi. Ideologi baru itu dianggap sempurna karena menutupi kelemahan dua ideologi sebelumnya.
Ustadz Fatih al Malawy dalam paparannya menyebutkan tentang keharaman dan kekufuran sistem demokrasi. Pemahaman bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan telah menyebabkan nilai-nilai kebenaran menjadi sangat subjektif. Jika sebagian besar umat menganggap sebuah keburukan itu sebagai kebaikan, maka keburukan itu akan menjadi baik.
“Ini kan bertentangan dengan Islam. Padahal, sebagai umat Islam kita harus melandaskan nilai sesuatu itu benar atau tidak, baik atau buruk harus menurut ukuran Alquran dan al Hadist, bukan berapa banyak orang yang setuju,” ucapnya. (sih/rel)