Oleh: Siti Aisyah dan Suhrawardi K Lubis *)
Al-Quran telah mengatur segala tata kehidupan manusia, mulai dari hal yang bersifat umum hingga yang khusus. Namun demikian, ada juga yang tidak secara detail dijelaskan dan lebih labjut diperjelas melalui hadist-hadist Nabi, termasuk soal pernikahan.
Dalam Islam, pernikahaan diatur sedemikian rupa, mulai dari cara memilih calon pasangan, prosesi pernikahan hingga memperlakukan suami dan istri di dalam rumah tangga.
Pernikahan lazimnya selalu diikuti dengan resepsi pernikahan. Resepsi pernikahaan pada umumnya dilaksanakan dengan acara jamuan makan, pihak keluaraga menyediakan makanan ataupun minuman yang disajikan kepada para undangan. Selain itu, resepsi tersebut juga selalu diisi dengan musik-musik yang menghibur dan menarik, bahkan terkadang musik seolah-olah menjadi ‘rukun nikah’. Akan tetapi, apakah semua ini sesuai dengan anjuran Islam?
Di dalam kamus Bahasa Indonesia, pesta memiliki arti perjamuan makan minum (bersukaria) atau juga perayaan. Sedangkan pernikahan yang berasal dari kata dasar nikah memiliki makna upacara nikah. Dengan demikian dapat dipahamkan bahwa pesta pernikahan adalah perjamuan makan minum atau perayaan upacara pada saat pernikahan.
Dalam konsep Islam, pesta pernikahan dikenal dengan istilah walimah. Walimah berasal dari kata al walam, yang semakna dengan al jum’u, yakni berkumpul. Sadangkan nikah berasal dari kata nakaha, yang artinya menikah. Upacara nikah yang disebut walimah, adalah merupakan pesta perkawinan yang disyariatkan agama Islam. Adapun yang dikehendaki dengan pengertian walimah, adalah makanan yang dibuat untuk upacara pernikahan. Imam Syafi’i berpendapat, lafal walimah adalah tiap-tiap undangan dikarenakan mendapat kebahagiaan.
Anas r.a. memberikan keterangannya: bahwa ketika Nabi saw menikah dengan Zainab aku diberitahu oleh Sulaim: bagaimana jika kami memberi hadiah kepada Nabi SAW? Jawabku: buatlah apa yang ibu mau buat. Lalu ia mengambil kurma, samin dan susu kental (mentega/keju) dan dimasak dalam kuali, kemudian menyuruh aku membawanya ketempat Nabi SAW. Nabi SAWmenyuruh aku meletakkan kuali itu, lalu menyuruh aku untuk memanggil beberapa orang yang disebut nama mereka, lalu disuruh memanggil siapa saja yang bertemu di jalan. Maka aku laksanakan semua perintah itu, dan aku kembali ke rumah, sedang rumah telah sesak dengan undangan, maka aku melihat Nabi SAW meletakkan tangannya di atas masakan di kuali sambil berdo’a, kemudian mempersilahkan sepuluh orang untuk makan sambil mengingatkan supaya berzikir menyebut nama Allah SWT ketika makan, dan masing-masing orang supaya makan apa-apa yang dekat kepadanya, begitu keadaanya sehingga selesai semuanya dan bubar. Tetapi ada beberapa orang yang masih tinggal omong-omong, akupun merasa risau dengan orang-orang itu, kemudian Nabi SAW keluar ke bilik isteri-isterinya, dan akupun keluar mengikuti Nabi SAW. Lalu saya berkata: mereka sudah keluar, maka segera Nabi kembali masuk rumah, dan menurunkan tabir (dinding).
Anas r.a lebih lanjut mengemukakan: Tidaklah SAW menyelenggarakan walimah ketika menikah istri-istinya dengan sesuatu yang seperti beliau lakukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara walimahnya dengan Zainab.” (HR. Al-Bukhari).
Dikisah lain juga diceritakan dari Anas Ibnu Malik r.a. bahwa Nabi SAW pernah melihat bekas kekuningan pada Abdurrahman Ibnu Auf. Lalu beliau berkata: “Apa ini?” Ia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah menikahi seorang perempuan dengan maskawin senilai satu biji emas. Beliau bersabda: “Semoga Allah memberkahimu, selenggarakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing.”
Inilah dasar perayaan pernikahan atau walimah itu dilaksanakan, yaitu didasarkan kepada nilai-nilai yang baik. Dengan pesta pernikahan/walimah, masyarakat akan tahu kalau pasangan tersebut sudah menikah dan dengan demikian pasangan tersebut terhindar daripada fitnah.
Perayaan pernikahan atau pesta pernikahan pada dasarnya mengutamakan kesederhanaan, bukan pada sikap pemborosan yang pada akhirnya mendatangkan dosa. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Israa ayat 26-27 “dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”.
Bahkan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Bukhori yang intinya menjelaskan bahwa tidak ada suatu keharusan melaksanakan acarah walimah dalam bentuk pemborosan atau membuang harta. Pemborosan pada pesta pernikahan yang kita lihat melalui media elektronik, cetak ataupun yang kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari sudah seperti tahap endemic, menghabiskan uang sebanyak ratusan juta hingga milyaran rupiah hanya untuk merayakan pernikahan dan apabila diperhatikan secra seksama, tidak ada sama sekali kemaslahatannya untuk umat.
Pesta pernikahan yang diselenggarakan secara mewah seolah-olah kewajiban yang harus dilakukan karena hanya untuk sebuah harga diri. Allah berfirman dalam surat QS Al-An’am ayat 141,”… dan janganlah berlebihan-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.
Pesta ataupun resepsi pernikahan di jaman sekarang ini pelaksanaannya memiliki makna yang berbeda jauh dengan anjuran Nabi sebagaimana dikemukakan di atas. Dengan cara pesta seperti yang banyak dilaksanakan dewasa ini timbul pertanyaan, Apakah pesta pernikahan yang diselenggarakan itu sebagai bentuk wujud syukur dua keluarga yang telah menyatu? Atau hanya kehebohoan yang menimbulkan kemacetan di jalan bahkan dengan seenak hatinya menutup jalan demi kepentingan pribadi sehingga menyusahkan pengguna jalan raya. Dan akhirnya kesyukuran itu bergelimang sumpah serapah dari orang yang kesusahan karena acara pesta pernikahan tersebut. Apakah dengan pesta seperti itu dapat menaikkan derajat seseorang di mata masyarakat, atau hanya ingin sekedar menunjukkan kesombongan atas harta yang dimilikinya? Nauzubillah.
Memang tidak ada larangan untuk menyelenggarakan pernikahan mewah secara limitatif, namun apabila diselenggarakan dengan menyia-nyiahkan harta maka itu sama saja menjerumuskan diri ke api neraka. Rasululalah saw. bersabda: “ Sesungguhnya Allah menyukai bagimu tiga perkara dan membenci tiga perkara ; Dia menyukai kalian bila beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun ,kalian berpegang teguh dengan agama-Nya dan tidak berpecah belah. Dan Allah membenci kalian dari mengatakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya (qilla wa qaala) , banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta” (HR Muslim). Sabda Nabi saw. Kepada Abdul Al- Rahman Bin ‘ Auf sewaktu dia menikah: “Adakanlah perayaan sekalipun hanya memotong seekor kambing’’ (HR. Bukhari dan Muslim).
Selain itu, juga merupakan kesalahan besar pula apabila para undangan dalam pesta perkawinan itu hanya orang kaya atau orang yang terpandang dan memiliki jabatan tinggi saja, karena Nabi Muhammad SAW pernah bersabda “Sejelek–jelek makanan adalah makanan walimah di mana yang diundang dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya sementara orang-orang miskin tidak diundang.” (HR.Al-Bukhari dan Muslim). Para fakir miskin yang kelaparan, yang sedang terhimpit ekonomi sebenarnya harus menjadi tamu spesial didalam pesta yang diselenggarakan.
Dari uraian yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan, bahwa suatu resepsi pernikahan yang diselenggarakan mestilah menimbulkan kemaslahatan bagi umat khususnya bagi yang sedang menderita. Jangan malah sebaliknya menimbulkan kesusahan.
Pernikahan merupakan hal yang sangat penting untuk dirayakan namun perayaan tersebut merupakan wujud syukur dan bahagia atas pernikahan itu dan sekaligus memberitahukan atau mengumumkannya kepada orang ramai. Pesta pernikahan tidak seharusnya dinodai dengan cara menghambur-hamburkan uang dan menyusahkan orang, akan tetapi merupakan bentuk syukur dengan cara menyelenggarakan perayaan pernikahan yang baik sesuai dengan sunnah Nabi. Wallahu a’lam. (*)
Mahasiswa dan Dosen Magister Kenotariatan UMSU