30 C
Medan
Monday, September 23, 2024

Pernahkah Anda Meminta Maaf ?

Pernahkah kita meminta maaf kepada anak-anak sendiri? Jika dilakukan jajak pendapat, rasa-rasanya yang menjawab “Ya” hanya sedikit.

Mungkin sebagian besar masyarakat kita malah akan terheran-heran kalau ada yang bertanya demikian kepadanya, karena bagaimana mungkin orang tua meminta maaf kepada anaknya. Ada satu hal yang menarik perhatian dalam suatu acara akad nikah. Yaitu pada saat seorang ayah memberikan sambutan dan nasehat untuk putrinya, “Saya atas nama ayahmu dan juga atas nama ibumu dengan ini mengikhlaskan dan merestui pemikahan ananda. Sebagai orang tua, kami meminta maaf kepada ananda atas segala kekurangan dan kesalahan yang telah kami perbuat selama mendidik dan mengasuhmu sejak kecil hingga saat menyerahkan tanggungjawab itu kepada suamimu”.

Yang hadir dan menyaksikan peristiwa tersebut tampak terpukau dan terbawa perasaan mendengar ucapan sang ayah kepada putrinya yang saat itu baru saja melangsungkan akad nikah. Sambil mengalirkan air mata sang ayah dan ibu mengantarkan putrinya ke pelaminan.

Dalam tradisi masyarakat kita yang lazim ditegakkan adalah prinsip patron dan clien (atasan-bawahan, bapak-anak). Orang tua adalah pemberi titah yang tidak boleh dilanggar oleh anak-anaknya. Anak wajib menurut, dan dia pun terbiasa enggan untuk melanggar atau mengkonfrontir segala apa yang jadi titah orang tuanya.

Orang tua memang selalu berada pada pihak yang “benar” dan “dimenangkan”, sementara anak berada di pihak yang “salah” dan cendrung “keliru”.
Karena tradisi itu pula jarang tampak, orang tua meminta maaf kepada anaknya, meski ia sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan, apalagi kalau memang si orang tua tak merasa “bersalah” atau “khilaf’ sama sekali.

Lihat saja pada saat lebaran, selalu yang meminta maaf adalah anak atau yang muda terlebih dahulu. Dan lazim pula saat lebaran pihak yang merasa dituakan merasa “tersinggung berat” saat kerabatnya yang lebih muda tidak hadir atau tidak mengcapkan selam lebaran dan meminta maaf terlebih dahulu, walau hanya via telepon atau sms.

Kenyataannya, kalau ada yang tua meminta maaf kepada yang muda maka itu dianggap sesuatu yang tidak lazim.

Bila kita melihat dengan dari sudut pandang agama Islam, meminta maaf atau mengakui kesalahan itu tidak diukur dengan usia dan status, mau tua atau muda, mau anak atau orang tua, atasan atau bawahan, majikan atau pembantu. Mana yang yang lebih dahulu mengulurkan tangan dan mengucapkan maaf, maka itulah seorang ksatria.

Disamping meminta maaf kepada manusia adalah bagian dari jalan bertaubat, tetapi meminta maaf juga mempunyai hikmah yang lain, yang diantaranya adalah usaha untuk menghindari terputusnya tali kasih-sayang (silaturrahim) antar sesama. Memutus tali silaturrahim itu adalah haram dan sangat dibenci oleh Allah SWT.

Sumber Buletin Mimbar Jumat

Pernahkah kita meminta maaf kepada anak-anak sendiri? Jika dilakukan jajak pendapat, rasa-rasanya yang menjawab “Ya” hanya sedikit.

Mungkin sebagian besar masyarakat kita malah akan terheran-heran kalau ada yang bertanya demikian kepadanya, karena bagaimana mungkin orang tua meminta maaf kepada anaknya. Ada satu hal yang menarik perhatian dalam suatu acara akad nikah. Yaitu pada saat seorang ayah memberikan sambutan dan nasehat untuk putrinya, “Saya atas nama ayahmu dan juga atas nama ibumu dengan ini mengikhlaskan dan merestui pemikahan ananda. Sebagai orang tua, kami meminta maaf kepada ananda atas segala kekurangan dan kesalahan yang telah kami perbuat selama mendidik dan mengasuhmu sejak kecil hingga saat menyerahkan tanggungjawab itu kepada suamimu”.

Yang hadir dan menyaksikan peristiwa tersebut tampak terpukau dan terbawa perasaan mendengar ucapan sang ayah kepada putrinya yang saat itu baru saja melangsungkan akad nikah. Sambil mengalirkan air mata sang ayah dan ibu mengantarkan putrinya ke pelaminan.

Dalam tradisi masyarakat kita yang lazim ditegakkan adalah prinsip patron dan clien (atasan-bawahan, bapak-anak). Orang tua adalah pemberi titah yang tidak boleh dilanggar oleh anak-anaknya. Anak wajib menurut, dan dia pun terbiasa enggan untuk melanggar atau mengkonfrontir segala apa yang jadi titah orang tuanya.

Orang tua memang selalu berada pada pihak yang “benar” dan “dimenangkan”, sementara anak berada di pihak yang “salah” dan cendrung “keliru”.
Karena tradisi itu pula jarang tampak, orang tua meminta maaf kepada anaknya, meski ia sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan, apalagi kalau memang si orang tua tak merasa “bersalah” atau “khilaf’ sama sekali.

Lihat saja pada saat lebaran, selalu yang meminta maaf adalah anak atau yang muda terlebih dahulu. Dan lazim pula saat lebaran pihak yang merasa dituakan merasa “tersinggung berat” saat kerabatnya yang lebih muda tidak hadir atau tidak mengcapkan selam lebaran dan meminta maaf terlebih dahulu, walau hanya via telepon atau sms.

Kenyataannya, kalau ada yang tua meminta maaf kepada yang muda maka itu dianggap sesuatu yang tidak lazim.

Bila kita melihat dengan dari sudut pandang agama Islam, meminta maaf atau mengakui kesalahan itu tidak diukur dengan usia dan status, mau tua atau muda, mau anak atau orang tua, atasan atau bawahan, majikan atau pembantu. Mana yang yang lebih dahulu mengulurkan tangan dan mengucapkan maaf, maka itulah seorang ksatria.

Disamping meminta maaf kepada manusia adalah bagian dari jalan bertaubat, tetapi meminta maaf juga mempunyai hikmah yang lain, yang diantaranya adalah usaha untuk menghindari terputusnya tali kasih-sayang (silaturrahim) antar sesama. Memutus tali silaturrahim itu adalah haram dan sangat dibenci oleh Allah SWT.

Sumber Buletin Mimbar Jumat

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/