32 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Warga Jakarta Paling Tak Bebas Berekspresi

Kebebasan berekspresi di ibu kota negara DKI Jakarta menjadi yang paling buruk. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyebutkan, DKI Jakarta memiliki skor kebebasan berekspresi terendah jika dibandingkan dengan empat provinsi lain yang menjadi objek survei.

Kebebasan berekspresi
Kebebasan berekspresi

“DI DKI Jakarta dengan kemajemukannya, ternyata kebebasan berekspresinya tidak lebih baik daripada Papua sebagai wilayah konflik,” ujar Wahyudi Djafar, peneliti dari ELSAM, saat memaparkan hasil survei di Tjikini Cafe, Jakarta, kemarin (30/5). Survei yang dilakukan ELSAM bukan merupakan jajak pendapat umum. ELSAM melakukan survei dengan melibatkan tenaga ahli daerah (regional representative) yang memahami subjek penelitian.

Wahyudi menyatakan, kompleksitas masalah yang dihadapi Jakarta menjadi tantangan berbeda dalam kebebasan berekspresi. Kompleksitas masalah itu yang menempatkan kebebasan berekspresi Jakarta pada skor 60,41 dalam dimensi sosial politik, agama, dan budaya. Buruknya ekspresi di bidang sosial politik menjadi andil rendahnya kebebasan berekspresi di Jakarta.

“Pelaku pelanggaran kebebasan berekspresi di Jakarta didominasi kelompok intoleran, yang sering melakukan tekanan dan intimidasi terhadap berbagai macam aktivitas ekspresi,” papar Wahyudi.

Tak jauh berbeda dengan DKI Jakarta, Daerah Istimewa Jogjakarta juga mendapat penilaian rendah dalam kebebasan berekspresi. Ekspresi sosial politik DI Jogjakarta sangat rendah, yakni 43,75. Dengan demikian, dalam penilaian tiga dimensi secara keseluruhan, Jogja hanya menempati peringkat keempat di atas Jakarta dengan skor 62,50.

“Ekspresi budaya Jogjakarta sangat tinggi, namun ada ‘pengekangan’ kebebasan berekspresi di dimensi sosial politik,” ujar Wahyudi. Dia menyebut, menguatnya kelompok intoleran di Jogjakarta memberikan kontribusi bagi banyaknya praktik pelanggaran kebebasan berekspresi.

Sedangkan di Papua, praktik pelanggaran yang terjadi benar-benar mencerminkan situasi daerah sebagai wilayah konflik. Ekspresi sosial politik di Papua paling buruk karena hanya mendapat skor 31,25. Namun, Papua memiliki penilaian tinggi di ekspresi budaya dan agama. Homogenitas di Papua memberikan kontribusi tingginya penilaian ekspresi di Papua dengan skor 66,67 poin.

Diantara lima provinsi yang disurvei, Provinsi Kalimantan Barat mendapat penilaian yang paling tinggi, 77,08 poin. Wahyudi menyatakan, kebebasan berekspresi di bidang agama dan budaya di Kalbar sangat baik, melampaui 80 poin. Hanya kebebasan politik yang “hanya” menyentuh 68,75 poin.

Di tempat yang sama, Komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidah mengatakan, ada pekerjaan rumah terkait dengan kebebasan berekspresi. Menurut Aswidah, ada pelanggaran yang terjadi saat nilai Undang-Undang Perlindungan HAM diaplikasikan. “Banyak peraturan daerah yang sifatnya eksesif. Seakan menjadi justifikasi,” ujarnya.

Aswidah menambahkan, kebebasan berekspresi memang harus dibatasi, namun dalam batas yang sudah ditentukan. Saat ini terkadang situasinya menjadi ekstrem. Sebab, negara malah tidak ada saat terjadi pelanggaran kebebasan berekspresi. “Saat otoriter, negara kuat. Sementara saat reformasi, negara tidak ada,” ujarnya.

Direktur Lembaga Survei Indonesia Kuskridho Ambardi menambahkan, memang negara tidak bisa berbuat apa-apa saat terjadi pelanggaran. Namun, ada satu catatan penting bahwa saat ini masyarakat terlalu bergantung dan menyalahkan negara. “Seharusnya ada standar etika, mana yang boleh, mana yang tidak boleh. Kita belum memiliki,” ujar pria yang akrab disapa Dodi itu.
Menurut dia, perbaikannya harus dua arah. Negara harus menyediakan aparat dan peraturan. Masyarakat juga harus membangun sistem atau standar etika yang menjadi kesepakatan bersama.

“Masyarakat bisa secara otonom melakukan interaksi. Itu yang harus dibangun,” tandasnya. (bay/c7/fat/jpnn)

Kebebasan berekspresi di ibu kota negara DKI Jakarta menjadi yang paling buruk. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyebutkan, DKI Jakarta memiliki skor kebebasan berekspresi terendah jika dibandingkan dengan empat provinsi lain yang menjadi objek survei.

Kebebasan berekspresi
Kebebasan berekspresi

“DI DKI Jakarta dengan kemajemukannya, ternyata kebebasan berekspresinya tidak lebih baik daripada Papua sebagai wilayah konflik,” ujar Wahyudi Djafar, peneliti dari ELSAM, saat memaparkan hasil survei di Tjikini Cafe, Jakarta, kemarin (30/5). Survei yang dilakukan ELSAM bukan merupakan jajak pendapat umum. ELSAM melakukan survei dengan melibatkan tenaga ahli daerah (regional representative) yang memahami subjek penelitian.

Wahyudi menyatakan, kompleksitas masalah yang dihadapi Jakarta menjadi tantangan berbeda dalam kebebasan berekspresi. Kompleksitas masalah itu yang menempatkan kebebasan berekspresi Jakarta pada skor 60,41 dalam dimensi sosial politik, agama, dan budaya. Buruknya ekspresi di bidang sosial politik menjadi andil rendahnya kebebasan berekspresi di Jakarta.

“Pelaku pelanggaran kebebasan berekspresi di Jakarta didominasi kelompok intoleran, yang sering melakukan tekanan dan intimidasi terhadap berbagai macam aktivitas ekspresi,” papar Wahyudi.

Tak jauh berbeda dengan DKI Jakarta, Daerah Istimewa Jogjakarta juga mendapat penilaian rendah dalam kebebasan berekspresi. Ekspresi sosial politik DI Jogjakarta sangat rendah, yakni 43,75. Dengan demikian, dalam penilaian tiga dimensi secara keseluruhan, Jogja hanya menempati peringkat keempat di atas Jakarta dengan skor 62,50.

“Ekspresi budaya Jogjakarta sangat tinggi, namun ada ‘pengekangan’ kebebasan berekspresi di dimensi sosial politik,” ujar Wahyudi. Dia menyebut, menguatnya kelompok intoleran di Jogjakarta memberikan kontribusi bagi banyaknya praktik pelanggaran kebebasan berekspresi.

Sedangkan di Papua, praktik pelanggaran yang terjadi benar-benar mencerminkan situasi daerah sebagai wilayah konflik. Ekspresi sosial politik di Papua paling buruk karena hanya mendapat skor 31,25. Namun, Papua memiliki penilaian tinggi di ekspresi budaya dan agama. Homogenitas di Papua memberikan kontribusi tingginya penilaian ekspresi di Papua dengan skor 66,67 poin.

Diantara lima provinsi yang disurvei, Provinsi Kalimantan Barat mendapat penilaian yang paling tinggi, 77,08 poin. Wahyudi menyatakan, kebebasan berekspresi di bidang agama dan budaya di Kalbar sangat baik, melampaui 80 poin. Hanya kebebasan politik yang “hanya” menyentuh 68,75 poin.

Di tempat yang sama, Komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidah mengatakan, ada pekerjaan rumah terkait dengan kebebasan berekspresi. Menurut Aswidah, ada pelanggaran yang terjadi saat nilai Undang-Undang Perlindungan HAM diaplikasikan. “Banyak peraturan daerah yang sifatnya eksesif. Seakan menjadi justifikasi,” ujarnya.

Aswidah menambahkan, kebebasan berekspresi memang harus dibatasi, namun dalam batas yang sudah ditentukan. Saat ini terkadang situasinya menjadi ekstrem. Sebab, negara malah tidak ada saat terjadi pelanggaran kebebasan berekspresi. “Saat otoriter, negara kuat. Sementara saat reformasi, negara tidak ada,” ujarnya.

Direktur Lembaga Survei Indonesia Kuskridho Ambardi menambahkan, memang negara tidak bisa berbuat apa-apa saat terjadi pelanggaran. Namun, ada satu catatan penting bahwa saat ini masyarakat terlalu bergantung dan menyalahkan negara. “Seharusnya ada standar etika, mana yang boleh, mana yang tidak boleh. Kita belum memiliki,” ujar pria yang akrab disapa Dodi itu.
Menurut dia, perbaikannya harus dua arah. Negara harus menyediakan aparat dan peraturan. Masyarakat juga harus membangun sistem atau standar etika yang menjadi kesepakatan bersama.

“Masyarakat bisa secara otonom melakukan interaksi. Itu yang harus dibangun,” tandasnya. (bay/c7/fat/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/