32 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Berhasil Tidak Dipuji, Gagal Dicaci Maki

Supono Soegirman, Perekrut dan Guru Intelijen Indonesia

Dunia intelijen selalu penuh misteri dan kerahasiaan. Apakah hidup sebagai mata-mata seindah yang digambarkan dalam film James Bond besutan Holywood? Inilah pengalaman senior intelijen Indonesia yang telah 32 tahun mengabdi sebagai telik sandi negara.

Ridlwan Habib, Jakarta

“Panjenengan (Anda, Red) jalan lurus saja ke belakang, saya sudah melihat Anda, pakai batik kan?” ujar Supono Soegirman di ujung telepon.

Padahal, Jawa Pos (grup Sumut Pos) yang belum pernah bertemu muka sebelumnya baru saja keluar dari kompleks parkir mobil. Rupanya, Supono sudah mengawasi satu jam sebelum waktu yang dijanjikan untuk bertemu di sebuah tempat di Depok, Jawa Barat, itu. Ciri-ciri fisik koran ini, bahkan rekam jejak masa lalu, juga diketahui lebih awal. “Hehe. Kita sama-sama dari Bulaksumur (nama wilayah kampus Universitas Gadjah Mada, Red). Jadi saya panggil Dik saja ya,” sapanya sambil menjabat tangan.

DITEMUI: Supono Soegirman, perekrut  guru intelijen,  saat ditemui beberapa waktu lalu.//jawapos/jpnn
DITEMUI: Supono Soegirman, perekrut dan guru intelijen, saat ditemui beberapa waktu lalu.//jawapos/jpnn

Untuk lelaki yang pada 7 November nanti berulang tahun ke-65 itu, fisiknya masih sangat bugar. Badannya tegap dan sorot matanya tajam. Supono hanya mengenakan kaus santai dengan satu kancing atas dibuka.

Di depan meja terletak sebuah laptop, notes kecil, sebuah USB flashdisk warna merah jambu (pink) dan segelas teh hangat tanpa gula (teh pahit). Dia membawa satu tas jinjing kecil dan sebuah pouch di ikat pinggang. “Kalau senggang seperti ini, selalu saya isi waktu dengan menulis. Judul tulisan soal intelijen sudah antre di sini,” katanya sembari memegang belakang kepala.

Supono memang baru saja meluncurkan buku pada pekan ketiga Oktober lalu. Judulnya: Intelijen, Profesi Unik Orang-Orang Aneh. Buku setebal 310 halaman itu berisi aneka macam teknik, pengalaman, dan metode intelijen, baik secara ilmiah maupun aplikasi praktis. “Memang hanya orang aneh yang mau jadi intel,” katanya lantas tersenyum kecil.

Bagaimana tidak, menjadi intel seakan tinggal dalam tanah. Artinya, tidak boleh terlalu menonjol. “Jargon intelijen itu berhasil tidak dipuji, gagal dicaci maki, hilang tidak dicari, mati tidak diakui,” tegasnya.

Alumnus Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM itu tak sekadar mengarang indah dalam bukunya, tapi hasil dari pengalamannya bergabung dengan Badan Intelijen Negara (BIN). Berbagai penugasan sudah dia jalani. Dia hitung sudah 35 negara disinggahi dalam baktinya sebagai intelijen.

Supono juga alumnus pelatihan CIA (Central Intelligence Agency) dan Mossad (lengkapnya Ha-Mossad le-Modiin ule-Tafkidim Meyuhadim, dalam bahasa Ibrani berarti Institut Intelijen dan Operasi Khusus, Israel).  “Saya di CIA berlatih advance collection atau metode tingkat mahir untuk pengumpulan data di lapangan,” katanya.

Collection dalam artian intelijen termasuk teknik menyamar, teknik menyadap, teknik menyusup, meniru, dan sebagainya. “Kalau di Mossad, dua kali; advance analysis dan training for trainer,”  katanya. Baik di CIA maupun Mossad, Supono lulus kursus dengan nilai memuaskan.

“Sebenarnya kita tidak boleh minder. Kualitas intel kita sama baik, bahkan lebih baik daripada Mossad dan CIA. Hanya kalah di fasilitas,” tambahnya.

Supono muda sebenarnya sama sekali tak ada bayangan akan berkarir di dunia mata-mata hingga tua. Dulu dia hanya berkeinginan menjadi PNS atau pegawai agar orangtuanya di Blora, Jateng, bahagia. “Saya lulus Fisipol tahun 72 nekat bawa ijazah ke Jakarta,” ujarnya.

Awalnya dia melamar di Badan Urusan Logistik (Bulog). Baru masuk, sudah disodori naskah bahasa Inggris. “Waktu itu saya masih pating grathul (tidak lancar, Red) bahasa Inggrisnya,”  katanya. Tentu saja dia ditolak.

Beberapa kantor lain dicoba dimasuki, tapi juga nihil. Hampir putus asa, Supono termenung di terminal bus Lapangan Banteng. “Tiba-tiba ada kakak angkatan di HMI menyapa, dia alumnus fakultas hukum. Dia bilang, Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara) ada lowongan,” katanya.

Saat itu, era Orde Baru, Bakin menjadi lembaga yang sangat sangar. Supono pun nekat mendatangi markas Bakin yang dulu berada di Jalan Senopati Raya (sekarang Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara). “Satpamnya gagah tinggi besar, kumisnya tebal. Saya berpikir spontan saja. Saya bilang punya informasi penting untuk pimpinan Bakin,” tuturnya.

Mujur, satpam itu percaya. Supono malah diantar langsung bertemu dengan kepala personalia Bakin. “Saya langsung sodorkan ijazah. Kepala personalia itu bilang saya beruntung karena siang itu hari terakhir pendaftaran untuk masyarakat umum,”  katanya.

Pendaftarnya 70 orang, sebagian besar adalah agen-agen honorer Bakin yang memang direkrut sebelumnya. Rupanya, di antara jumlah tersebut, hanya delapan orang yang dinyatakan lolos tes dan bisa resmi menjadi pegawai negeri Bakin. “Di antara delapan itu, empat orang, termasuk saya, dari kalangan orang awam. Alhamdulillah, semuanya pensiun dalam level eselon I (setingkat Dirjen, Red),” katanya.

Selesai pendidikan, Supono mendapat tugas awal sebagai LO (liaison officer, petugas penghubung) antara DPR dan Bakin. “Jadi sehari-hari saya nongkrong bareng wartawan-wartawan DPR dan staf-staf lain,”  katanya.

Tak seperti sekarang, hasil rapat-rapat DPR zaman itu tak bisa dengan mudah diakses publik. Nah, Supono mengambil data-data itu, lalu dilaporkan ke pimpinan di Bakin.

Karena dinilai berprestasi, Supono lantas promosi jabatan.  “Saya lama di bagian analisis. Bahkan, sebelum di Sekolah Tinggi Intelijen Negara, jabatan eselon I saya adalah deputi analisis (deputi III),”  katanya.

Berbagai cover (kedok) profesi Supono sebagai intel sudah dijalani. “Saya beberapa kali berkedok sebagai diplomat. Ini cover yang memang paling lazim digunakan semua petugas intelijen di dunia,” ungkapnya.

Dia juga pernah berkedok sebagai staf Kantor Dagang Indonesia di Taipei (Taiwan).  “Seolah-olah saya pegawai Departemen Perdagangan. Saya dibekali SK, kartu pengenal, semua dari Departemen Perdagangan,” tuturnya.

Setiap operasi, baik di dalam maupun luar negeri, Supono memberi tahu istrinya, Sri Rahayuningsih.  “Tidak perlu detail, yang penting cukup tahu di kota mana, berapa hari. Itu saja agar hatinya tenang, “ katanya.

Kakek delapan cucu itu berpegang pada sifat pokok yang wajib dimiliki seorang intelijen, yakni kejujuran. “Kalau intel berbohong, bagaimana datanya bisa dipercaya pimpinan atau user-nya,” katanya.

Tentu saja kehidupan asli seorang agen intelijen, terutama di luar negeri, tak seperti James Bond. “Kita tidak boleh menimbulkan perhatian, apalagi minum-minuman keras di kafe-kafe bersama wanita-wanita cantik. Wah, itu sangat berbahaya,” ungkapnya.

“Dalam intelijen, operasi selalu pegang prinsip RAE. Yakni, reguler, alternatif, emergency,” tambahnya.

Reguler adalah rencana awal seperti biasa, alternatif adalah skenario cadangan jika rencana awal terdeteksi. Sedangkan, emergency adalah the worst scenario atau skenario terakhir jika hal paling buruk terjadi.

Pulang dari penugasan luar negeri, menjelang pensiun (2007), Supono mendapat tugas memperbaiki sistem perekrutan dan kurikulum pendidikan calon-calon agen muda intelijen di Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN).

Dia lantas menjabat ketua 1 STIN yang membawahkan kurikulum. Dia lalu berkonsultasi dengan berbagai pakar dan akademisi. Di antaranya, dosen-dosen program S-2 Kajian Strategik Intelijen Universitas Indonesia yang memang bekerja sama dengan BIN. “Saya juga turun langsung ke daerah-daerah merekrut calon intel yang potensial,”   ujarnya.

Awalnya, BIN hanya mengambil input anak-anak cerdas dari sekolah unggulan yang semi militeristis seperti SMA Taruna Nusantara di Magelang, atau SMA Krida Nusantara di Bandung. Namun, belakangan BIN mulai merambah ke sekolah-sekolah unggulan yang lain di seluruh Indonesia. Misalnya, Makassar, Ambon, dan Aceh.

“Syaratnya harus cerdas. IQ minimal 120. Intelijen itu bukan modal otot, tapi otak. Karena itu, Pak Zulkifli Lubis, pendiri badan intelijen pertama republik, menyebutnya sebagai prajurit perang pikiran,” katanya.

Syarat lain, berbadan sehat dengan tinggi maksimal 175 cm untuk pria dan 167 cm untuk wanita. “Intel tidak boleh terlalu jangkung. Nanti ketahuan, sangat mencolok. Harus kelihatan biasa-biasa saja, tapi supercerdas,”  kata Supono.

Setelah lulus, agen-agen muda tersebut tentu harus mempunyai kedok (cover) untuk bertugas.” Ada yang dipilihkan pimpinan. Tapi, sebagian besar harus mencari kedok sendiri sesuai lingkup penugasannya,” jelasnya. Beberapa yang paling sering dipilih adalah kedok sebagai wartawan, peneliti, dosen, atau aktivis LSM.

Supono menegaskan, jika ada yang sok berlagak intel, sesungguhnya dia justru bukan intel alias intel bodong. “Ada yang mengaku-aku anggota BIN, pakai kartu anggota segala, tujuannya jahat, memeras orang. Ini harus dilaporkan polisi,” pungkasnya. (*)

Supono Soegirman, Perekrut dan Guru Intelijen Indonesia

Dunia intelijen selalu penuh misteri dan kerahasiaan. Apakah hidup sebagai mata-mata seindah yang digambarkan dalam film James Bond besutan Holywood? Inilah pengalaman senior intelijen Indonesia yang telah 32 tahun mengabdi sebagai telik sandi negara.

Ridlwan Habib, Jakarta

“Panjenengan (Anda, Red) jalan lurus saja ke belakang, saya sudah melihat Anda, pakai batik kan?” ujar Supono Soegirman di ujung telepon.

Padahal, Jawa Pos (grup Sumut Pos) yang belum pernah bertemu muka sebelumnya baru saja keluar dari kompleks parkir mobil. Rupanya, Supono sudah mengawasi satu jam sebelum waktu yang dijanjikan untuk bertemu di sebuah tempat di Depok, Jawa Barat, itu. Ciri-ciri fisik koran ini, bahkan rekam jejak masa lalu, juga diketahui lebih awal. “Hehe. Kita sama-sama dari Bulaksumur (nama wilayah kampus Universitas Gadjah Mada, Red). Jadi saya panggil Dik saja ya,” sapanya sambil menjabat tangan.

DITEMUI: Supono Soegirman, perekrut  guru intelijen,  saat ditemui beberapa waktu lalu.//jawapos/jpnn
DITEMUI: Supono Soegirman, perekrut dan guru intelijen, saat ditemui beberapa waktu lalu.//jawapos/jpnn

Untuk lelaki yang pada 7 November nanti berulang tahun ke-65 itu, fisiknya masih sangat bugar. Badannya tegap dan sorot matanya tajam. Supono hanya mengenakan kaus santai dengan satu kancing atas dibuka.

Di depan meja terletak sebuah laptop, notes kecil, sebuah USB flashdisk warna merah jambu (pink) dan segelas teh hangat tanpa gula (teh pahit). Dia membawa satu tas jinjing kecil dan sebuah pouch di ikat pinggang. “Kalau senggang seperti ini, selalu saya isi waktu dengan menulis. Judul tulisan soal intelijen sudah antre di sini,” katanya sembari memegang belakang kepala.

Supono memang baru saja meluncurkan buku pada pekan ketiga Oktober lalu. Judulnya: Intelijen, Profesi Unik Orang-Orang Aneh. Buku setebal 310 halaman itu berisi aneka macam teknik, pengalaman, dan metode intelijen, baik secara ilmiah maupun aplikasi praktis. “Memang hanya orang aneh yang mau jadi intel,” katanya lantas tersenyum kecil.

Bagaimana tidak, menjadi intel seakan tinggal dalam tanah. Artinya, tidak boleh terlalu menonjol. “Jargon intelijen itu berhasil tidak dipuji, gagal dicaci maki, hilang tidak dicari, mati tidak diakui,” tegasnya.

Alumnus Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM itu tak sekadar mengarang indah dalam bukunya, tapi hasil dari pengalamannya bergabung dengan Badan Intelijen Negara (BIN). Berbagai penugasan sudah dia jalani. Dia hitung sudah 35 negara disinggahi dalam baktinya sebagai intelijen.

Supono juga alumnus pelatihan CIA (Central Intelligence Agency) dan Mossad (lengkapnya Ha-Mossad le-Modiin ule-Tafkidim Meyuhadim, dalam bahasa Ibrani berarti Institut Intelijen dan Operasi Khusus, Israel).  “Saya di CIA berlatih advance collection atau metode tingkat mahir untuk pengumpulan data di lapangan,” katanya.

Collection dalam artian intelijen termasuk teknik menyamar, teknik menyadap, teknik menyusup, meniru, dan sebagainya. “Kalau di Mossad, dua kali; advance analysis dan training for trainer,”  katanya. Baik di CIA maupun Mossad, Supono lulus kursus dengan nilai memuaskan.

“Sebenarnya kita tidak boleh minder. Kualitas intel kita sama baik, bahkan lebih baik daripada Mossad dan CIA. Hanya kalah di fasilitas,” tambahnya.

Supono muda sebenarnya sama sekali tak ada bayangan akan berkarir di dunia mata-mata hingga tua. Dulu dia hanya berkeinginan menjadi PNS atau pegawai agar orangtuanya di Blora, Jateng, bahagia. “Saya lulus Fisipol tahun 72 nekat bawa ijazah ke Jakarta,” ujarnya.

Awalnya dia melamar di Badan Urusan Logistik (Bulog). Baru masuk, sudah disodori naskah bahasa Inggris. “Waktu itu saya masih pating grathul (tidak lancar, Red) bahasa Inggrisnya,”  katanya. Tentu saja dia ditolak.

Beberapa kantor lain dicoba dimasuki, tapi juga nihil. Hampir putus asa, Supono termenung di terminal bus Lapangan Banteng. “Tiba-tiba ada kakak angkatan di HMI menyapa, dia alumnus fakultas hukum. Dia bilang, Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara) ada lowongan,” katanya.

Saat itu, era Orde Baru, Bakin menjadi lembaga yang sangat sangar. Supono pun nekat mendatangi markas Bakin yang dulu berada di Jalan Senopati Raya (sekarang Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara). “Satpamnya gagah tinggi besar, kumisnya tebal. Saya berpikir spontan saja. Saya bilang punya informasi penting untuk pimpinan Bakin,” tuturnya.

Mujur, satpam itu percaya. Supono malah diantar langsung bertemu dengan kepala personalia Bakin. “Saya langsung sodorkan ijazah. Kepala personalia itu bilang saya beruntung karena siang itu hari terakhir pendaftaran untuk masyarakat umum,”  katanya.

Pendaftarnya 70 orang, sebagian besar adalah agen-agen honorer Bakin yang memang direkrut sebelumnya. Rupanya, di antara jumlah tersebut, hanya delapan orang yang dinyatakan lolos tes dan bisa resmi menjadi pegawai negeri Bakin. “Di antara delapan itu, empat orang, termasuk saya, dari kalangan orang awam. Alhamdulillah, semuanya pensiun dalam level eselon I (setingkat Dirjen, Red),” katanya.

Selesai pendidikan, Supono mendapat tugas awal sebagai LO (liaison officer, petugas penghubung) antara DPR dan Bakin. “Jadi sehari-hari saya nongkrong bareng wartawan-wartawan DPR dan staf-staf lain,”  katanya.

Tak seperti sekarang, hasil rapat-rapat DPR zaman itu tak bisa dengan mudah diakses publik. Nah, Supono mengambil data-data itu, lalu dilaporkan ke pimpinan di Bakin.

Karena dinilai berprestasi, Supono lantas promosi jabatan.  “Saya lama di bagian analisis. Bahkan, sebelum di Sekolah Tinggi Intelijen Negara, jabatan eselon I saya adalah deputi analisis (deputi III),”  katanya.

Berbagai cover (kedok) profesi Supono sebagai intel sudah dijalani. “Saya beberapa kali berkedok sebagai diplomat. Ini cover yang memang paling lazim digunakan semua petugas intelijen di dunia,” ungkapnya.

Dia juga pernah berkedok sebagai staf Kantor Dagang Indonesia di Taipei (Taiwan).  “Seolah-olah saya pegawai Departemen Perdagangan. Saya dibekali SK, kartu pengenal, semua dari Departemen Perdagangan,” tuturnya.

Setiap operasi, baik di dalam maupun luar negeri, Supono memberi tahu istrinya, Sri Rahayuningsih.  “Tidak perlu detail, yang penting cukup tahu di kota mana, berapa hari. Itu saja agar hatinya tenang, “ katanya.

Kakek delapan cucu itu berpegang pada sifat pokok yang wajib dimiliki seorang intelijen, yakni kejujuran. “Kalau intel berbohong, bagaimana datanya bisa dipercaya pimpinan atau user-nya,” katanya.

Tentu saja kehidupan asli seorang agen intelijen, terutama di luar negeri, tak seperti James Bond. “Kita tidak boleh menimbulkan perhatian, apalagi minum-minuman keras di kafe-kafe bersama wanita-wanita cantik. Wah, itu sangat berbahaya,” ungkapnya.

“Dalam intelijen, operasi selalu pegang prinsip RAE. Yakni, reguler, alternatif, emergency,” tambahnya.

Reguler adalah rencana awal seperti biasa, alternatif adalah skenario cadangan jika rencana awal terdeteksi. Sedangkan, emergency adalah the worst scenario atau skenario terakhir jika hal paling buruk terjadi.

Pulang dari penugasan luar negeri, menjelang pensiun (2007), Supono mendapat tugas memperbaiki sistem perekrutan dan kurikulum pendidikan calon-calon agen muda intelijen di Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN).

Dia lantas menjabat ketua 1 STIN yang membawahkan kurikulum. Dia lalu berkonsultasi dengan berbagai pakar dan akademisi. Di antaranya, dosen-dosen program S-2 Kajian Strategik Intelijen Universitas Indonesia yang memang bekerja sama dengan BIN. “Saya juga turun langsung ke daerah-daerah merekrut calon intel yang potensial,”   ujarnya.

Awalnya, BIN hanya mengambil input anak-anak cerdas dari sekolah unggulan yang semi militeristis seperti SMA Taruna Nusantara di Magelang, atau SMA Krida Nusantara di Bandung. Namun, belakangan BIN mulai merambah ke sekolah-sekolah unggulan yang lain di seluruh Indonesia. Misalnya, Makassar, Ambon, dan Aceh.

“Syaratnya harus cerdas. IQ minimal 120. Intelijen itu bukan modal otot, tapi otak. Karena itu, Pak Zulkifli Lubis, pendiri badan intelijen pertama republik, menyebutnya sebagai prajurit perang pikiran,” katanya.

Syarat lain, berbadan sehat dengan tinggi maksimal 175 cm untuk pria dan 167 cm untuk wanita. “Intel tidak boleh terlalu jangkung. Nanti ketahuan, sangat mencolok. Harus kelihatan biasa-biasa saja, tapi supercerdas,”  kata Supono.

Setelah lulus, agen-agen muda tersebut tentu harus mempunyai kedok (cover) untuk bertugas.” Ada yang dipilihkan pimpinan. Tapi, sebagian besar harus mencari kedok sendiri sesuai lingkup penugasannya,” jelasnya. Beberapa yang paling sering dipilih adalah kedok sebagai wartawan, peneliti, dosen, atau aktivis LSM.

Supono menegaskan, jika ada yang sok berlagak intel, sesungguhnya dia justru bukan intel alias intel bodong. “Ada yang mengaku-aku anggota BIN, pakai kartu anggota segala, tujuannya jahat, memeras orang. Ini harus dilaporkan polisi,” pungkasnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/