Pendemo Nurdin Halid, Berhari-hari Menggelandang di Luar Kantor PSSI
Ribuan suporter dari berbagai daerah sejak Senin pekan lalu (21/2) berdemo di depan Kantor PSSI, kompleks GOR Gelora Bung Karno. Tujuan mereka hanya satu: merevolusi PSSI, sekaligus menurunkan Nurdin Halid, sang ketua umum. Inilah kisah tentang kenekatan mereka.
MUHAMMAD AMJAD, Jakarta
PELUH Muhammad membasahi wajahnya yang terlihat agak kuyu. Sesekali dia menyeka peluh itu dengan lengan kanan. Meski tampak kuyu, pria 29 tahun ini sangat bersemangat ketika berbicara. Apalagi, ketika materi pembicaraan mengarah kepada sosok Nurdin Halid, sang ketua umum PSSI. Kedua matanya bisa terlihat membelalak, seperti orang yang akan melampiaskan amarah.
“Saya jual tiga ayam saya untuk biaya berangkat ke Jakarta. Saya mau berkorban karena saya ingin menunjukkan bahwa suporter sepak bola sudah bosan dengan permainan PSSI. Harus ada perubahan,” kata pria asal Bojonegoro, Jatim, yang akrab dipanggil Mamat ini, penuh semangat. Sore itu (25/2) dia ditemui JPNN (grup Sumut Pos) di depan Kantor PSSI di kompleks GOR Gelora Bung Karno, Jakarta.
Mamat dan ribuan suporter lain dari berbagai daerah di Indonesia, sejak Senin pekan lalu (21/2) memang tumplek blek di depan Kantor PSSI. Mereka berdemo berhari-hari, menuntut terjadinya revolusi di tubuh PSSI. Mereka juga menuntut Ketua Umum Nurdin Halid diturunkan.
Aksi mereka bahkan sampai menyegel Kantor PSSI, sehingga para pengurusnya tak bisa masuk kantor. Hingga kemarin, aksi unjuk rasa masih terjadi meski jumlahnya sudah sangat berkurang bila dibandingkan dengan aksi pada hari-hari sebelumnya.
Selama beberapa hari berada di Jakarta, ribuan suporter itu rela tidur menggelandang di halaman sekitar Kantor PSSI. Untuk tidur, mereka ditampung di dua tempat. Ada yang di halaman Masjid Albina, ada juga yang ditampung di halaman parkir timur Senayan.
Di dua tempat itu disediakan tenda besar berukuran lebar 4 meter dan panjang 15 meter. Di tempat itulah para suporter tidur dengan alas seadanya. Saking banyaknya suporter, tak sedikit yang tidur beratap langit dan beralas tanah. Sebagian suporter yang sudah siap menggelandang juga membawa tenda sendiri. “Untuk demo ini, saya tinggalkan keluarga dan pekerjaan saya,” lanjut Mamat, yang mengaku bekerja sebagai wiraswasta.
Jika Mamat sampai harus menjual ayam-ayamnya, lain halnya dengan Deni Setiawan. Pria 32 tahun itu adalah teman satu daerah Mamat, yang juga sama-sama suporter Persibo (dari Bojonegoro). “Saya terpaksa menggadaikan motor bebek milik saya untuk ongkos ke Jakarta,” katanya, tak kalah bersemangat dengan Mamat.
“Begitu tiba di sini, saya puas bisa bergabung dengan suporter lain dari daerah lain,” tandasnya, ketika ditemui Jawa Pos Jumat sore (25/2) di halaman parkir timur Senayan.
Keberangkatan para suporter asal Bojonegoro itu ternyata juga dilandasi kekecewaan mendalam karena kesebelasan kesayangan mereka (Persibo) pernah dikerjai PSSI. “Kali ini kami ingin menunjukkan dan menghentikan semua itu. PSSI tidak boleh lagi menjadi sarang mafia sepak bola,” ujarnya berapi-api.
Hal ini tak dibantah Prianto Jasmo, koordinator suporter asal Bojonegoro. “Kami berangkat ke sini murni atas kehendak hati nurani. Tidak ada paksaan. Kami ingin melihat perubahan di PSSI dan sepak bola tanah air. Karena itu, datang kemari juga memakai biaya sendiri-sendiri,” kata Prianto.
Bagaimana dengan kebutuhan makan” Sangab Surbhakti, salah satu koordinator suporter yang berasal dari Jakarta mengatakan, untuk memberi makan para pendemo itu, dia dan teman-temannya melakukan beberapa gerakan.
Salah satu yang terbukti cukup efektif, kata Sangab, adalah memanfaatkan jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Pria 44 tahun ini memaparkan, melalui situs jejaring sosial itulah dia berhasil mendapatkan banyak sumbangan makanan.
“Sambutan teman-teman melalui Facebook maupun Twitter ternyata luar biasa. Banyak yang bersedia memberikan bantuan makanan,” kata pria berkepala plontos yang sehari-hari berprofesi sebagai pengacara ini. “Setiap hari ada nasi bungkus yang dikirim,” lanjutnya.
Tak hanya Sangab yang berkampanye minta bantuan makanan melalui jejaring sosial di dunia maya. Hal yang sama dilakukan Hilmi Atmadja, koordinator suporter Jogja, Solo, Semarang (Joglo Semar). Dia menegaskan bahwa pengumuman yang dia buat di jejaring sosial dunia maya tersebut murni untuk mengetuk hati nurani orang lain.
“Kami umumkan bahwa kami hanya menerima bantuan dalam bentuk makanan. Tidak dalam bentuk uang,” cerita pria 26 tahun ini ketika ditemui Jawa Pos kemarin di kompleks GOR Bung Karno.
Bantuan yang diberikan kepada para suporter itu tidak hanya dalam bentuk makanan. Ada juga beberapa orang yang menyumbangkan tenda. “Dengan banyaknya sumbangan itu, kami melihat warga pencinta sepak bola lainnya yang tak turut berdemo ternyata mengungkapkan kepeduliannya dalam bentuk lain. Ini yang membuat para suporter semakin bersemangat menyuarakan perubahan,” tandas Hilmi.
Ketika disinggung bahwa kemarin jumlah pendemo menyusut cukup banyak, Hilmi awalnya tersenyum. Hilmi menjelaskan bahwa kondisi itu (jumlah pendemo berkurang) tidak akan berlangsung lama, karena bakal ada gelombang suporter yang lebih besar pada hari ini (1/3). Mereka datang dengan tujuan menunjukkan pada dunia dan FIFA bahwa terjadi masalah dalam persepakbolaan Indonesia yang butuh perbaikan segera.
“Besok (hari ini, Red) kan mau ada sidang exco FIFA yang katanya juga mau membahas masalah PSSI. Kami harus turun besar-besaran untuk menunjukkan bahwa PSSI harus direvolusi. Nurdin dan kroninya harus hilang dari PSSI,” tandas pria 26 tahun ini. (jpnn)