JAKARTA- Tudingan adanya konspirasi di balik penetapan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq menjadi tersangka kasus suap, bukan hal baru. Dari sejak zaman Presiden Megawati Soekarnputri, istilah ini terus mengemuka ketika tokoh-tokoh politik ditetapkan sebagai tersangka.
“Ini sudah menjadi direktorinya koruptor di Indonesia. Koruptor tidak ada yang mengaku bersalah. Padahal di persidangan jelas sekali mereka korupsi,” ujar Peneliti Gerakan Politik Islam, Edi Sudrajat, di Jakarta, Sabtu (2/2).
Edi belum berani menyebut apakah di balik penetapan LHI sebagai tersangka, ada konspirasi. Ia hanya menilai jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama ini cukup berhati-hati. Paling tidak selalu melengkapi diri dengan dua alat bukti sebelum menetapkan seseorang menjadi pesakitan.
Jauh sebelum kasus LHI mengemuka, kasus korupsi menurut Edi, juga banyak melilit lingkaran partai politik. Hanya saja banyak dari kasus tersebut tidak terlalu berpengaruh kepada partai, karena media massa tidak memberitakannya.
“Tapi kalau kasus ini, sepertinya PKS akan hancur. Karena pengaruh media juga. Presiden partai ditangkap karena korupsi, saya pikir ini besar sekali pengaruhnya,” katanya.
Namun begitu ia meyakini kader PKS tidak akan pindah ke partai lain. Hanya saja jumlah kader PKS tidak terlalu banyak jika di banding para simpatisan yang senantiasa mendukung.
“Nah simpatisan ini kemungkinan akan beralih ke Partai Amanat Nasional (PAN). Mungkin banyak yang melihat PKS itu partai kader, tapi kalau saya melihatnya bukan partai kader murni. Ada saat tertentu sebagai partai kartel. Nah kalau sudah menjadi kartel, nggak ada lagi ideologi,” katanya.
Sementara itu, Pengamat Politik Burhanuddin Muhtadi, menilai adanya dugaan konspirasi zionis di balik penetapan Luthi Hasan Ishaaq, lebih merupakan bahasa untuk menyolidkan partai. Bukan sebagai bahasa hukum.
Namun jika terus menerus digaungkan, secara politik kondisi ini buruk sekali. “Banyak yang menyebut konspirasi. Karena sebagai partai kader, kalau kadernya yang kena (kasus korupsi,red), PKS sebagai organisasi yang hancur. Tapi secara politik ini buruk sekali karena tidak mau introspeksi,” katanya.
Untuk itu jika ingin kasus LHI tidak berimbas pada kemerosotan perolehan suara PKS pada Pemilu 2014 mendatang, Burhanuddin menilai ada beberapa langkah yang harus segera ditempuh. Diantaranya PKS perlu segera membantu KPK dalam penyelesaian kasus. “PKS juga harus segera melakukan upaya sistematik dan membuat disain internal yang kebal korupsi. Misalnya terkait proses pendanaan, harus transparan dan lebih terbuka soal uang masuk dan keluar,” katanya.
Langkah ini penting, karena citra PKS sebagai partai bersih terus merosot. Jika tidak, maka diprediksi suara PKS akan berpindah ke Partai Amanat Nasional (PAN). “PKS mulai kehilangan kepercayaan sebagai partai yang bersih. Padahal itu yang mereka rintis sejak tahun 1999 lalu. Kalau ini tidak segera diselesaikan, maka kemugkinan Partai Amanat Nasional (PAN) yang paling banyak meraup suara. Karena pemilih PKS dan PAN itu hampir sama. Tentu masih ada waktu untuk berbenah diri memerbaiki reputasi,” katanya.
Sebagaimana diketahui, KPK menangkap Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq di Kantor DPP PKS, Jalan TB Simatupang Jakarta Selatan, Rabu (30/1) malam sekitar pukul 23.30 WIB. Luthfi dijemput oleh beberapa penyidik KPK dengan menggunakan mobil Kijang Innova warna hitam dengan nomor polisi B 1031 UFS.
Ia ditetapkan sebagai tersangka suap, setelah KPK menangkap orang dekat Luthfi, Ahmad Fathana. Ahmad ditangkap karena menerima uang Rp1 miliar dari direktur PT Indoguna Utama, Juard Effendi dan Aria Abdi Effendi. Dari pengembangan penyidikan, uang tersebut rencananya akan diserahkan ke Luthfi, terkait impor daging sapi yang menjadi lahan garapan PT Indoguna Utama.(gir)