31 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Pemerintah Bentuk Pengawas Ketenagakerjaan

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar secara resmi menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans ) Nomor 10 Tahun 2012 tentang Komite Pengawasan Ketenagakerjaan, tertanggal 20 April 2012.

Komite ini dibentuk karena pelaksanaan sistem outsourcing di beberapa perusahaan-perusahaan di Indonesia semakin merajalela menekan dan menyengsarakan para pekerja/buruh.

Muhaimin menjelaskan, keberadaan aturan tersebut berguna untuk memperkuat fungsi pengawasan ketenagakerjaan di tingkat pusat dan daerah yang dilakukan oleh Komite Pengawasan Ketenagakerjaan. Sehingga, mampu memastikan pelaksanaan peraturan di bidang ketenagakerjaan seperti pelaksanaan sistem outsourcing, upah minimum, hubungan industrial, kondisi kerja, keselamatan dan kesehatan kerja serta penerapan jaminan sosial untuk tenaga kerja.

“Komite pengawasan ketenagakerjaan melakukan pemantauan, memberikan masukan, saran dan pertimbangan kepada Menteri atas pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan di pusat dan daerah,” jelas Muhaimin di Gedung Kemenakertrans, Jakarta, Rabu (2/5).

Disebutkan, keanggotaan komite pengawasan ketenagakerjaan ini terdiri dari 19 orang. Yakni, terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/ serikat buruh, dan pihak terkait yang lainnya yang dianggap perlu. Sedangkan susunan keanggotaan Komite Pengawasan Ketenagakerjaan dan mekanisme dan tata kerja, terang Muhaimin, akan diatur dan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pembinaan pengawasan Ketenagakerjaan (PPK) Kemenakertrans.

“Fungsinya adalah mendorong semua pihak untuk menjalankan peraturan serta kepentingan mereka di tempat kerja, dalam hal ini, melalui tindakan pencegahan, pendidikan, dan jika diperlukan, penegakkan hukum,” kata Muhaimin.

Lebih jauh Ketua Umum DPP PKB ini menambahkan, komite ini juga  memberikan masukan kepada menteri dalam menyusun dan menetapkan kebijakan pengawasan ketenagakerjaan serta mengumpulkan dan menganalisis data. “Maka itu diharapkan nantinya dapat memperkuat pengawasan ketenagakerjaan serta  memperbaiki sinergi dan koordinasi pusat dan daerah di bidang ketenagakerjaan, yang selama ini terputus sejak otonomi daerah,” imbuhnya.

Rencana pemerintah yang akan menghapus sistem outschorcing dalam skema perburuhan di Indonesia, disambut antusias oleh buruh. Karena menurut buruh, sistem tersebut tidak lebih dari sistem kapitalis yang secara otomatis menindas para buruh, sehingga para buruh tidak pernah merasakan kesejahteraan dari apa yang mereka hasilkan selama ini.

Penegasan itu dikemukakan Kepala Divisi Advokasi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Serikat Buruh Sumatera Utara (SBSU), M Amrul Sinaga SH kepada Sumut Pos, Rabu (2/5).

“Perjuangan SBSU bersama elemen serikat pekerja/serikat buruh secara masif sangat jelas, pemerintah harus menghapus sistem kerja outsourcing. Dan terkait dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenakertrans), pelaksanaan sistem kerja outsourcing yang diperkirakan akan terbit pada Bulan Juli ini, tidak berdampak banyak pada kesejahteraan kaum buruh,” tegasnya.

Hal itu, sambungnya, karena sebenarnya dalam UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan telah menjelaskan, pekerjaan yang boleh di-outsourcing adalah pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

“Kita contohkan seperti petugas kebersihan dan/atau petugas pengamanan. Artinya, ketika ada perusahaan yang mempekerjakan buruh outsourcing pada bagian proses produksi maka dinas tenaga kerja melalui pengawas ketenagakerjaan seharusnya bertanggungjawab dan bertindak tegas dengan menutup perusahaan-perusahaan tersebut. Namun langkah ini tidak dijalankan, karena faktanya hingga saat ini masih sangat banyak perusahaan penerima kerja maupun perusahaan  pengerah jasa tenaga kerja outsourcing yang menyalah. Jadi walaupun permenaker tersebut diterbitkan artinya tetap melegitimasi keberadaan outsourcing,” tegasnya. (cha/jpnn/ari)

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar secara resmi menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans ) Nomor 10 Tahun 2012 tentang Komite Pengawasan Ketenagakerjaan, tertanggal 20 April 2012.

Komite ini dibentuk karena pelaksanaan sistem outsourcing di beberapa perusahaan-perusahaan di Indonesia semakin merajalela menekan dan menyengsarakan para pekerja/buruh.

Muhaimin menjelaskan, keberadaan aturan tersebut berguna untuk memperkuat fungsi pengawasan ketenagakerjaan di tingkat pusat dan daerah yang dilakukan oleh Komite Pengawasan Ketenagakerjaan. Sehingga, mampu memastikan pelaksanaan peraturan di bidang ketenagakerjaan seperti pelaksanaan sistem outsourcing, upah minimum, hubungan industrial, kondisi kerja, keselamatan dan kesehatan kerja serta penerapan jaminan sosial untuk tenaga kerja.

“Komite pengawasan ketenagakerjaan melakukan pemantauan, memberikan masukan, saran dan pertimbangan kepada Menteri atas pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan di pusat dan daerah,” jelas Muhaimin di Gedung Kemenakertrans, Jakarta, Rabu (2/5).

Disebutkan, keanggotaan komite pengawasan ketenagakerjaan ini terdiri dari 19 orang. Yakni, terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/ serikat buruh, dan pihak terkait yang lainnya yang dianggap perlu. Sedangkan susunan keanggotaan Komite Pengawasan Ketenagakerjaan dan mekanisme dan tata kerja, terang Muhaimin, akan diatur dan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pembinaan pengawasan Ketenagakerjaan (PPK) Kemenakertrans.

“Fungsinya adalah mendorong semua pihak untuk menjalankan peraturan serta kepentingan mereka di tempat kerja, dalam hal ini, melalui tindakan pencegahan, pendidikan, dan jika diperlukan, penegakkan hukum,” kata Muhaimin.

Lebih jauh Ketua Umum DPP PKB ini menambahkan, komite ini juga  memberikan masukan kepada menteri dalam menyusun dan menetapkan kebijakan pengawasan ketenagakerjaan serta mengumpulkan dan menganalisis data. “Maka itu diharapkan nantinya dapat memperkuat pengawasan ketenagakerjaan serta  memperbaiki sinergi dan koordinasi pusat dan daerah di bidang ketenagakerjaan, yang selama ini terputus sejak otonomi daerah,” imbuhnya.

Rencana pemerintah yang akan menghapus sistem outschorcing dalam skema perburuhan di Indonesia, disambut antusias oleh buruh. Karena menurut buruh, sistem tersebut tidak lebih dari sistem kapitalis yang secara otomatis menindas para buruh, sehingga para buruh tidak pernah merasakan kesejahteraan dari apa yang mereka hasilkan selama ini.

Penegasan itu dikemukakan Kepala Divisi Advokasi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Serikat Buruh Sumatera Utara (SBSU), M Amrul Sinaga SH kepada Sumut Pos, Rabu (2/5).

“Perjuangan SBSU bersama elemen serikat pekerja/serikat buruh secara masif sangat jelas, pemerintah harus menghapus sistem kerja outsourcing. Dan terkait dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenakertrans), pelaksanaan sistem kerja outsourcing yang diperkirakan akan terbit pada Bulan Juli ini, tidak berdampak banyak pada kesejahteraan kaum buruh,” tegasnya.

Hal itu, sambungnya, karena sebenarnya dalam UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan telah menjelaskan, pekerjaan yang boleh di-outsourcing adalah pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

“Kita contohkan seperti petugas kebersihan dan/atau petugas pengamanan. Artinya, ketika ada perusahaan yang mempekerjakan buruh outsourcing pada bagian proses produksi maka dinas tenaga kerja melalui pengawas ketenagakerjaan seharusnya bertanggungjawab dan bertindak tegas dengan menutup perusahaan-perusahaan tersebut. Namun langkah ini tidak dijalankan, karena faktanya hingga saat ini masih sangat banyak perusahaan penerima kerja maupun perusahaan  pengerah jasa tenaga kerja outsourcing yang menyalah. Jadi walaupun permenaker tersebut diterbitkan artinya tetap melegitimasi keberadaan outsourcing,” tegasnya. (cha/jpnn/ari)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/