23.9 C
Medan
Sunday, June 23, 2024

Sempat Bangkrut, Bangkit karena Filosofi Kaca Spion

Mohammad Baedowy, dari Auditor Bank menjadi Pengusaha Sampah yang Sukses

Awalnya, pekerjaan Mohammad Baedowy cukup mentereng: auditor sebuah bank yang sangat mapan. Ketika karirnya menanjak, dia memutuskan untuk keluar. Dia memilih menjadi pengusaha sampah. Kini usahanya menjadi bosnya para pemulung itu kian maju.

Sugeng Sulaksono, Jakarta

SEHARI-hari Baedowy berkantor di sebuah bangunan yang luasnya sekitar 100 meter persegi. Bangunan yang dilengkapi AC itu terletak agak tersembunyi di antara tumpukan botol oli bekas, botol minuman, botol shampo, dan berbagai sampah plastik.

Bangunan tersebut berdiri di atas lahan seluas total seribu meter persegi, di kawasan Desa Cimuning, Bekasi Timur. Di tempat itulah, Baedowy meraup rezeki di bawah bendera CV Majestik Buana Group.
Kantor yang ditempati Baedowy itu tentu saja tak sementereng kantornya sebelumnya. Yakni, ketika dia masih menjadi auditor di Royal Bank of Scotland (RBS) yang berlokasi di kawasan elite Jakarta.
“Sekarang saya lihat teman-teman yang masih bertahan di bank tersebut. Saya tanya mobilnya apa dan gajinya berapa. Setelah tahu, saya bersyukur. Berarti keputusan saya keluar
dari bank itu sudah benar. Sebab, pencapaian saya sekarang jauh dari mereka,” paparnya. “Saya punya driver. Mobil ada beberapa, dan rumah sangat baik,” ucap pria kelahiran Balikpapan, 2 Mei 1973, itu.
Dia lantas menceritakan mengapa memutuskan keluar dari pekerjaan sebagai auditor. “Saya menyadari bahwa kita bekerja baik pun tidak lantas berbanding lurus dengan prestasi dalam reward gaji,” ucapnya.
Akhirnya, setelah dipikir secara masak, Baedowy memutuskan untuk keluar dari tempatnya bekerja. Dia bekerja di RBS sejak 1997, setelah setahun lulus kuliah di Malang. “Jadi, saya bekerja di RBS hanya tiga tahun. Pada 2000 saya keluar,” ujar lulusan Universitas Merdeka Malang ini.

Di tempat kerja sebelumnya itu, Baedowy sebenarnya berprestasi. Dia bahkan dijuluki rising star karena dianggap berprestasi ketika usianya masih muda, sekitar 24 tahun.
Meski begitu, tekadnya untuk berwirausaha sudah bulat. Karena itu, dia memberanikan diri untuk berpamitan kepada bosnya. “Ketika saya berhenti, bos saya waktu itu bilang, asal kamu tahu ya, orang kayak kamu inilah yang nggak akan bisa sukses. You are so young, very emotional. Ingat kata-kata saya, kamu tidak akan bisa sukses. Kamu tidak sabaran,” papar Baedowy mengenang perkataan bosnya. Dia hanya ingat bahwa itu hari Kamis, pada pengujung 2000.
Menyandang gelar mantan karyawan, Baedowy sempat kebingungan. Dia mulai banyak berpikir harus berbisnis apa. Bayangannya saat itu, jika bisnis makanan, ada risiko basi. Buah-buahan risikonya busuk, tanaman ada hama, dan peternakan bisa mati.

Meski begitu, akhirnya dia nekat juga berbisnis ternak jangkrik. Dia pun merombak salah satu kamar di rumahnya. Tetapi, giliran musim panen tiba, bukannya bertambah, populasi ternaknya malah susut. “Mungkin kanibal atau apa saya tidak paham,” kisahnya.

Suatu saat dia melihat ada seorang pengusaha sampah. Dia punya mobil sedan untuk istrinya dan punya mobil Kijang. “Padahal, dia hanya lulusan SD,” tutur Baedowy.
Dia akhirnya bekerja dengan pengusaha sampah itu, sekaligus menggali ilmu dari lulusan SD tersebut. Dalam beberapa bulan, Baedowy merasa bisa membuka usaha sendiri. Untuk itu, dia memutuskan menyewa lahan. Kantornya saat itu hanya berdinding gedek. Dia pun memberanikan diri membeli mesin penggiling sampah.

Problem pertama, mesin bekas yang dia beli itu rusak. Pihak penjual tidak bisa membetulkannya. Ketika pengepul lain diminta tolong, mereka tidak mau mengajarkan bagaimana cara memperbaiki mesin penggiling sampah. “Akhirnya saya mencoba membetulkan mesin ini sendiri selama setahun. Saya bawa ke tukang besi dan las bubut,” kenangnya.
Gara-gara mengerjakan sendiri perbaikan mesin penggiling sampah itu, Baedowy jadi tahu seluk-beluk mesin. Dia bahkan sanggup mendesain mesin sendiri dengan mempelajari kesalahan dari mesin yang ada. Namun, saat itu modalnya semakin tipis.

Tepat setahun sejak membuka usaha sendiri, dia bangkrut total. Harta tinggal kontrakan rumah, sebuah kipas angin, dan TV. “Kipas angin itu satu buah, kalau saya terima tamu di pabrik, saya bawa kipas itu ke pabrik. Kalau pulang, ya bawa pulang lagi karena ditagih anak. Sebab, waktu itu anak saya sudah dua,” kata ayahanda Muhammad Fahrezi Fatahillah (14), M Fahrehan Fatahillah (12), dan M Fahrezi Husaini (9).
Dalam keadaan bangkrut, orangtua Baedowy dari Balikpapan datang. Kebetulan orang tuanya dari kalangan mampu. Begitu pula mertuanya yang kini tinggal di Malang. Baik orangtua maupun mertua Baedowy saat itu meminta agar pabrik dijual saja. “Waktu itu saya manut. Pabrik pun saya jual,” ucap suami Ririn Sari Yuniar itu.

Selama ditawarkan, tak ada yang mau membeli pabrik Baedowy. Lamanya hampir tiga bulan. Saat itu Baedowy juga sudah berancang-ancang untuk melamar pekerjaan.
“Tapi, belakangan saya sadari bahwa itu sebagai kesalahan. Kesalahan saya, menyesali keputusan masa lalu itu salah. Masa lalu itu kaca spion. Cukup sekali dilirik, tapi jangan kelamaan, nanti jadi nabrak,” paparnya.
Saat itu Baedowy masih bertahan di rumah kontrakan. Istri dan kedua anaknya (waktu itu) dipulangkan ke Malang. Sebab, uangnya semakin tidak memungkinkan karena dia bersikukuh untuk tidak mau meminta bantuan dana kepada orangtua.
“Waktu bangkrut, saya menangis dan berdoa. Di atas tempat tidur saya menangis sambil bilang, sempatkan saya bisa ya Allah, Kalau saya bisa, saya janji saya akan mengajari siapa pun yang ingin bisa,” kisahnya.
Pada saat uangnya semakin tipis itu, Baedowy yang kebetulan aktif di sebuah pesantren di Bekasi Timur didatangi seorang kiai yang meminta bantuan dana karena harus ada peletakan batu pertama pembangunan pesantren dan akan dihadiri wali kota.

“Saya tahu mereka butuh banget uang untuk membeli semen atau batu. Akhirnya saya kasihkan sisa uang yang ada, walaupun tidak semua,” ujarnya.
Namun, akhirnya dia menyadari bahwa efek sedekah itu luar biasa. Dia lantas meneruskan bisnis itu dengan modal mobil pick-up. Baedowy kembali belajar kepada pengepul besar. “Saya nongkrong saja di sekitar sana,” ujarnya.
Dari hasil nongkrong itulah Baedowy mendapat banyak pelajaran. Dia akhirnya bisa mendapatkan ilmu baru, bagaimana cara menetapkan harga agar disenangi para pemulung. “Kalau pengepul lain menerima dengan harga Rp1.500 per kilogram, saya berani menerima dengan harga Rp1.700. Akhirnya, para pemulung lebih suka menjual kepada saya,” ceritanya. Sejak saat itu usaha Baedowy mulai bangkit.

Kini Baedowy bukan sekadar menjadi penadah, tetapi juga pembuat mesin dan menjualnya kepada mitra. Mekanismenya mirip franchise. Sebab, selain diberi pelatihan setelah membeli mesin darinya, hasil penggilingan mitra bisnis juga ditampung.

Mitra Baedowy saat ini sudah lebih dari 100. Mereka tersebar di seluruh wilayah di Indonesia, sampai ke Aceh. Bijih plastik hasil olahannya diekspor, terutama ke Tiongkok. “Pasarnya sangat besar. Kita tidak akan bisa memenuhi permintaan pasar,” akunya.

Usahanya juga berbuah banyak penghargaan. Di antaranya juara 1 pemuda pelopor tingkat nasional 2006. Dia juga menjadi tokoh terbaik pilihan majalah Tempo, Soegeng Sarjadi Awards on Good Governance, piagam penghargaan Kalpataru 2010, dan juara 1 wirausaha terbaik Indonesia versi Dji Sam Soe Awards.

Kini, Majestik Buana Group juga terbilang sukses. Di bawahnya ada Majestik Buana Cemerlang untuk penggilingan sampah plastik, mencari bahan baku, menggiling, dan mengeringkan sampah. Majestik Buana Cipta Kreasi bertugas mengkreasi mesin-mesin daur ulang sampah, mesin injeksi, blowing, dan kompos. Majestik Buana Cipta Guna membuat kepala sapu ijuk, celengan, dan sebagainya. Majestik Buana Cipta Selaras sebagai divisi nonprofit, menyelaraskan kepentingan para mitra.

Baedowy menerapkan prinsip keterbukaan kepada sekitar 30 karyawannya. Termasuk soal keuangan. “Nanti, usia saya 45 tahun kan pabrik ini punya karyawan, saya kasihkan karyawan. Itu obsesi saya. Nanti saya tidak akan mayoritas memiliki ini. Kan sekarang pemilik tunggal. Nanti saya 10 persen. Sisanya 90 persen untuk karyawan, dibagi proporsional menurut masa kerja dan jabatannya,” jelasnya. Tujuannya, untuk mengukur kesetiaan dan rasa memiliki. (*)

Mohammad Baedowy, dari Auditor Bank menjadi Pengusaha Sampah yang Sukses

Awalnya, pekerjaan Mohammad Baedowy cukup mentereng: auditor sebuah bank yang sangat mapan. Ketika karirnya menanjak, dia memutuskan untuk keluar. Dia memilih menjadi pengusaha sampah. Kini usahanya menjadi bosnya para pemulung itu kian maju.

Sugeng Sulaksono, Jakarta

SEHARI-hari Baedowy berkantor di sebuah bangunan yang luasnya sekitar 100 meter persegi. Bangunan yang dilengkapi AC itu terletak agak tersembunyi di antara tumpukan botol oli bekas, botol minuman, botol shampo, dan berbagai sampah plastik.

Bangunan tersebut berdiri di atas lahan seluas total seribu meter persegi, di kawasan Desa Cimuning, Bekasi Timur. Di tempat itulah, Baedowy meraup rezeki di bawah bendera CV Majestik Buana Group.
Kantor yang ditempati Baedowy itu tentu saja tak sementereng kantornya sebelumnya. Yakni, ketika dia masih menjadi auditor di Royal Bank of Scotland (RBS) yang berlokasi di kawasan elite Jakarta.
“Sekarang saya lihat teman-teman yang masih bertahan di bank tersebut. Saya tanya mobilnya apa dan gajinya berapa. Setelah tahu, saya bersyukur. Berarti keputusan saya keluar
dari bank itu sudah benar. Sebab, pencapaian saya sekarang jauh dari mereka,” paparnya. “Saya punya driver. Mobil ada beberapa, dan rumah sangat baik,” ucap pria kelahiran Balikpapan, 2 Mei 1973, itu.
Dia lantas menceritakan mengapa memutuskan keluar dari pekerjaan sebagai auditor. “Saya menyadari bahwa kita bekerja baik pun tidak lantas berbanding lurus dengan prestasi dalam reward gaji,” ucapnya.
Akhirnya, setelah dipikir secara masak, Baedowy memutuskan untuk keluar dari tempatnya bekerja. Dia bekerja di RBS sejak 1997, setelah setahun lulus kuliah di Malang. “Jadi, saya bekerja di RBS hanya tiga tahun. Pada 2000 saya keluar,” ujar lulusan Universitas Merdeka Malang ini.

Di tempat kerja sebelumnya itu, Baedowy sebenarnya berprestasi. Dia bahkan dijuluki rising star karena dianggap berprestasi ketika usianya masih muda, sekitar 24 tahun.
Meski begitu, tekadnya untuk berwirausaha sudah bulat. Karena itu, dia memberanikan diri untuk berpamitan kepada bosnya. “Ketika saya berhenti, bos saya waktu itu bilang, asal kamu tahu ya, orang kayak kamu inilah yang nggak akan bisa sukses. You are so young, very emotional. Ingat kata-kata saya, kamu tidak akan bisa sukses. Kamu tidak sabaran,” papar Baedowy mengenang perkataan bosnya. Dia hanya ingat bahwa itu hari Kamis, pada pengujung 2000.
Menyandang gelar mantan karyawan, Baedowy sempat kebingungan. Dia mulai banyak berpikir harus berbisnis apa. Bayangannya saat itu, jika bisnis makanan, ada risiko basi. Buah-buahan risikonya busuk, tanaman ada hama, dan peternakan bisa mati.

Meski begitu, akhirnya dia nekat juga berbisnis ternak jangkrik. Dia pun merombak salah satu kamar di rumahnya. Tetapi, giliran musim panen tiba, bukannya bertambah, populasi ternaknya malah susut. “Mungkin kanibal atau apa saya tidak paham,” kisahnya.

Suatu saat dia melihat ada seorang pengusaha sampah. Dia punya mobil sedan untuk istrinya dan punya mobil Kijang. “Padahal, dia hanya lulusan SD,” tutur Baedowy.
Dia akhirnya bekerja dengan pengusaha sampah itu, sekaligus menggali ilmu dari lulusan SD tersebut. Dalam beberapa bulan, Baedowy merasa bisa membuka usaha sendiri. Untuk itu, dia memutuskan menyewa lahan. Kantornya saat itu hanya berdinding gedek. Dia pun memberanikan diri membeli mesin penggiling sampah.

Problem pertama, mesin bekas yang dia beli itu rusak. Pihak penjual tidak bisa membetulkannya. Ketika pengepul lain diminta tolong, mereka tidak mau mengajarkan bagaimana cara memperbaiki mesin penggiling sampah. “Akhirnya saya mencoba membetulkan mesin ini sendiri selama setahun. Saya bawa ke tukang besi dan las bubut,” kenangnya.
Gara-gara mengerjakan sendiri perbaikan mesin penggiling sampah itu, Baedowy jadi tahu seluk-beluk mesin. Dia bahkan sanggup mendesain mesin sendiri dengan mempelajari kesalahan dari mesin yang ada. Namun, saat itu modalnya semakin tipis.

Tepat setahun sejak membuka usaha sendiri, dia bangkrut total. Harta tinggal kontrakan rumah, sebuah kipas angin, dan TV. “Kipas angin itu satu buah, kalau saya terima tamu di pabrik, saya bawa kipas itu ke pabrik. Kalau pulang, ya bawa pulang lagi karena ditagih anak. Sebab, waktu itu anak saya sudah dua,” kata ayahanda Muhammad Fahrezi Fatahillah (14), M Fahrehan Fatahillah (12), dan M Fahrezi Husaini (9).
Dalam keadaan bangkrut, orangtua Baedowy dari Balikpapan datang. Kebetulan orang tuanya dari kalangan mampu. Begitu pula mertuanya yang kini tinggal di Malang. Baik orangtua maupun mertua Baedowy saat itu meminta agar pabrik dijual saja. “Waktu itu saya manut. Pabrik pun saya jual,” ucap suami Ririn Sari Yuniar itu.

Selama ditawarkan, tak ada yang mau membeli pabrik Baedowy. Lamanya hampir tiga bulan. Saat itu Baedowy juga sudah berancang-ancang untuk melamar pekerjaan.
“Tapi, belakangan saya sadari bahwa itu sebagai kesalahan. Kesalahan saya, menyesali keputusan masa lalu itu salah. Masa lalu itu kaca spion. Cukup sekali dilirik, tapi jangan kelamaan, nanti jadi nabrak,” paparnya.
Saat itu Baedowy masih bertahan di rumah kontrakan. Istri dan kedua anaknya (waktu itu) dipulangkan ke Malang. Sebab, uangnya semakin tidak memungkinkan karena dia bersikukuh untuk tidak mau meminta bantuan dana kepada orangtua.
“Waktu bangkrut, saya menangis dan berdoa. Di atas tempat tidur saya menangis sambil bilang, sempatkan saya bisa ya Allah, Kalau saya bisa, saya janji saya akan mengajari siapa pun yang ingin bisa,” kisahnya.
Pada saat uangnya semakin tipis itu, Baedowy yang kebetulan aktif di sebuah pesantren di Bekasi Timur didatangi seorang kiai yang meminta bantuan dana karena harus ada peletakan batu pertama pembangunan pesantren dan akan dihadiri wali kota.

“Saya tahu mereka butuh banget uang untuk membeli semen atau batu. Akhirnya saya kasihkan sisa uang yang ada, walaupun tidak semua,” ujarnya.
Namun, akhirnya dia menyadari bahwa efek sedekah itu luar biasa. Dia lantas meneruskan bisnis itu dengan modal mobil pick-up. Baedowy kembali belajar kepada pengepul besar. “Saya nongkrong saja di sekitar sana,” ujarnya.
Dari hasil nongkrong itulah Baedowy mendapat banyak pelajaran. Dia akhirnya bisa mendapatkan ilmu baru, bagaimana cara menetapkan harga agar disenangi para pemulung. “Kalau pengepul lain menerima dengan harga Rp1.500 per kilogram, saya berani menerima dengan harga Rp1.700. Akhirnya, para pemulung lebih suka menjual kepada saya,” ceritanya. Sejak saat itu usaha Baedowy mulai bangkit.

Kini Baedowy bukan sekadar menjadi penadah, tetapi juga pembuat mesin dan menjualnya kepada mitra. Mekanismenya mirip franchise. Sebab, selain diberi pelatihan setelah membeli mesin darinya, hasil penggilingan mitra bisnis juga ditampung.

Mitra Baedowy saat ini sudah lebih dari 100. Mereka tersebar di seluruh wilayah di Indonesia, sampai ke Aceh. Bijih plastik hasil olahannya diekspor, terutama ke Tiongkok. “Pasarnya sangat besar. Kita tidak akan bisa memenuhi permintaan pasar,” akunya.

Usahanya juga berbuah banyak penghargaan. Di antaranya juara 1 pemuda pelopor tingkat nasional 2006. Dia juga menjadi tokoh terbaik pilihan majalah Tempo, Soegeng Sarjadi Awards on Good Governance, piagam penghargaan Kalpataru 2010, dan juara 1 wirausaha terbaik Indonesia versi Dji Sam Soe Awards.

Kini, Majestik Buana Group juga terbilang sukses. Di bawahnya ada Majestik Buana Cemerlang untuk penggilingan sampah plastik, mencari bahan baku, menggiling, dan mengeringkan sampah. Majestik Buana Cipta Kreasi bertugas mengkreasi mesin-mesin daur ulang sampah, mesin injeksi, blowing, dan kompos. Majestik Buana Cipta Guna membuat kepala sapu ijuk, celengan, dan sebagainya. Majestik Buana Cipta Selaras sebagai divisi nonprofit, menyelaraskan kepentingan para mitra.

Baedowy menerapkan prinsip keterbukaan kepada sekitar 30 karyawannya. Termasuk soal keuangan. “Nanti, usia saya 45 tahun kan pabrik ini punya karyawan, saya kasihkan karyawan. Itu obsesi saya. Nanti saya tidak akan mayoritas memiliki ini. Kan sekarang pemilik tunggal. Nanti saya 10 persen. Sisanya 90 persen untuk karyawan, dibagi proporsional menurut masa kerja dan jabatannya,” jelasnya. Tujuannya, untuk mengukur kesetiaan dan rasa memiliki. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/