25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Jadi Supir Taksi, Baru Raih Penghargaan pada 2011

Marina Segedi, Mantan Juara Silat ASEAN yang Puluhan Tahun Terlupakan

Untuk menghidupi empat anak sendirian, Marina Martin Segedi harus gonta-ganti pekerjaan. Prestasinya baru dikenali setelah mengangkut penumpang dari Kemenpora.

MUHAMMAD AMJAD, Jakarta

REZEKI itu datang dari kliping koran yang telah berusia hampir tiga dekade. Isi beritanya, keberhasilan Marina Martin Segedi menjadi juara Kejuaraan ASEAN Pencak Silat Kelas A Putri pada 1983 di Singapura. Marina yang sangat bangga ketika itu langsung melaminating potongan surat kabar tersebut.

“Saya memang sengaja melaminating biar awet. Saya tak menyangka itu bermanfaat dan membuat saya mendapatkan penghargaan,” ucap Marina yang dilahirkan di Jakarta pada 7 Mei 1964 itu.
Penghargaan yang dimaksud datang dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) pada September lalu. Yakni, berupa rumah dengan nilai uang Rp125 juta yang diberikan kepada mantan atlet berprestasi. Realisasinya berbarengan dengan pemberian bonus bagi para atlet peraih medali di SEA Games 2011 pada Kamis, 24 November lalu.

“Saya bersyukur, akhirnya uangnya sudah di tangan,” ujar Marina yang beberapa kali juga menyabet gelar di kejuaraan nasional dan daerah itu. Wajar kalau perempuan 47 tahun itu bahagian
Sebab, hampir tiga puluh tahun berlalu, sepak terjangnya yang telah mengharumkan nama bangsa terlupakan. Padahal, keberhasilan menjadi jawara pencak silat ASEAN pada 1983 itu bisa dibilang setara dengan meraih emas di SEA Games saat ini. Sebab, saat itu silat belum dipertandingkan di ajang olahraga antarnegara Asia Tenggara tersebut.

Beruntung nasib mempertemukan Marina dengan Karsono, pelanggan taksinya yang bekerja di Kemenpora. Dari obrolan di atas taksi yang berlangsung pada April 2011 lalu, single parent yang harus menghidupi empat anak (dua di antaranya anak angkat) itu menemukan jalan untuk menerima penghargaan mantan atlet.

“Tapi, itu pun tidak mudah. Soalnya, saya masih disuruh memberikan pembuktian-pembuktian kalau saya benar-benar atlet berprestasi dulu,” terangnya.

Marina pun menyerahkan semua bukti kesuksesannya. Mulai medali sampai piagam prestasi. Namun, pihak Kemenpora belum sepenuhnya yakin. Beruntung, perempuan 47 tahun itu masih menyimpan kliping koran tadi yang di dalamnya juga dilengkapi foto dirinya saat juara ASEAN pada 1983 itu.

Akhirnya uang Rp125 juta tadi pun berhak dia miliki. Tapi, Kemenpora mewajibkan uang itu diwujudkan menjadi rumah. Kalau ada kekurangan, si penerima yang mesti menambahi.
Karena itulah, meski baru menerima rezeki dalam jumlah tidak sedikit, Marina tak lantas meninggalkan profesinya selama ini: sopir taksi.

Ya, pekerjaan yang sehari-hari memberinya penghasilan sekitar Rp100 ribu itulah yang dia jalani sejak bercerai dari sang suami yang menikahinya pada 1983 dan memberinya dua putri, Rayner Nurdin, pada 1989.

“Ketika itu, setelah bercerai, mau silat terus tidak mungkin karena saya harus menghidupi anak-anak. Karena itu, saya memutuskan untuk bekerja,” terang ibunda Ayu Yulina Sari dan Rima Afriany Caroline itu.

Pada awalnya, perempuan yang tinggal bersama ibunya di kawasan Bintara, Bekasi, sejak bercerai itu membuka warung kecil-kecilan. Sayang, usaha itu tidak berjalan lancar sehingga dia banting setir untuk mencari pekerjaan lain.

Marina akhirnya diterima menjadi sopir taksi. Sebuah pilihan yang kurang lazim, sebenarnya. Sebab, sampai sekarang pun jarang ditemui kaum hawa yang menekuni pekerjaan tersebut.

Namun, wanita berdarah Jerman-Jawa itu justru bersyukur karena menjadi sopir taksi telah menyelamatkan dia dan keluarga. “Apa yang saya dapatkan cukup untuk menghidupi keluarga dan untuk biaya pendidikan anak-anak. Apalagi, masih ada beasiswa Supersemar yang saya terima meskipun tidak banyak,” katanya.

Sebenarnya, sebelum bercerai, Marina mendapatkan tawaran cukup menarik untuk melatih seni pencak silat di Belanda. Namun, setelah berkonsultasi dengan orangtua dan suami, dia batal berangkat karena anaknya saat itu masih kecil dan butuh dekat dengan dirinya.

Tawaran itu tentu didasarkan pada kegemilangan sepak terjang Marina di silat. Marina mulai mengenal bela diri ini dari sang ayah yang berdarah Jerman, Martin Segedi. Meski asli Jerman, latar belakang Martin adalah pejuang. Dia turut bergabung di daerah militer Siliwangi (kini Kodam Siliwangi).

“Saya sangat tertarik pada silat karena mendengar cerita dari ayah. Mulai kelas VI SD saya ikut perguruan Padjajaran,” kata Marina yang beribu perempuan asal Malang, Soekartin, itu.
Keterampilan yang terasah dari ketekunannya berlatih memikat ketua Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) saat itu, Eddie Mardjoeki Nalapraya. Apalagi, saat di kejurnas dia nyaris menjadi juara sebelum akhirnya dibatalkan karena tidak memperkuat DKI Jakarta sebagai daerah asalnya, melainkan Bogor.

Namun, Marina tetap dipanggil ke Pelatnas IPSI untuk kejuaraan ASEAN dan mampu menaklukkan juara kejurnas kala diadu dalam pelatnas. Alhasil, dia dipercaya turun sebagai wakil Indonesia di Kejuaraan ASEAN 1983 yang diikuti tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Setelah tampil di kejuaraan ASEAN itu, Marina sebenarnya masih berhasrat menggeluti silat. Namun, statusnya sebagai istri dan ibu memaksanya mengurangi frekuensi latihan dan bertanding. Bahkan, dia sempat berhenti total kala hamil dan pada masa awal kelahiran.

Perceraianlah yang akhirnya benar-benar membuat silat harus minggir dari kehidupan Marina. Sebagai orangtua tunggal, tenaga dan konsentrasinya tercurah untuk mencari uang. Berbagai kesempatan mendapatkan nafkah pun terus dia coba.

Tiga tahun setelah menjadi sopir taksi, dia pergi ke Sulawesi untuk bekerja. Tapi, belum genap tiga tahun bekerja, dia kembali ke Jakarta dan mulai mencari peluang bekerja di dunia layar lebar. Kebetulan, film berbau silat saat itu booming. Dia pun kecipratan peran kecil sebagai pendekar perempuan di sejumlah film.

Di antaranya dalam Warisan Ilmu Karang, Pendekar Tapak Sakti, dan Pendekar Naga Emas. Sayang, karirnya di dunia layar lebar tidak langgeng seiring merosotnya industri perfilman nasional pada 1990-an. Mulai awal 2000-an, Marina kembali menjadi sopir taksi hingga kini.

Berkat kerja kerasnya, dua anaknya bisa menyelesaikan pendidikan dan kini telah memberinya dua cucu. Yang mengagumkan, di tengah kondisi perekonomian yang serba terbatas, Marina masih mau menjadi orangtua angkat bagi Tya Oktaviany dan Jello Christoper. “Orangtua mereka teman-teman saya dan kondisinya jauh lebih buruk dari saya,” terangnya.

Dengan tambahan beasiswa dari manajemen Taksi Bluebird tempat dia bekerja, Marina juga bisa membesarkan Tya dan Jello dengan baik. Tya telah kuliah, sedangkan Jello yang masih di bangku sekolah dasar kini mulai serius menekuni pencak silat.

Lewat Jello ini pula Marina mencanangkan ambisi mencetak pesilat nasional. Untuk itu, pada saat anak-anaknya telah dewasa sehingga dia punya waktu cukup, Marina pun mulai meneruskan perguruan Padjajaran yang dulu menjadi tempatnya bernaung. Bahkan, dia menjadi pendekar utama yang menjadi instruktur para murid perguruan Padjajaran.

Tentu, fasilitasnya masih minim untuk 40-an murid dewasa dan 30-an anak-anak. Marina hanya melatih mereka di lapangan belakang kompleks rumahnya, di kawasan Bintara, Bekasi, dua kali dalam seminggu, setiap Minggu malam dan Kamis malam.

Meski demikian, dia yakin, dari kesederhanaan itu bakal lahir juara seperti dirinya. Dia pun tak lupa menitipkan harapan kepada PB IPSI agar tak melupakan para mantan atlet seperti dirinya. Tak muluk-muluk, sekadar dilibatkan dalam kepanitiaan sebuah kejuaraan atau menjadi asisten dalam pertarungan pun cukup. (*/c2/jpnn)

Marina Segedi, Mantan Juara Silat ASEAN yang Puluhan Tahun Terlupakan

Untuk menghidupi empat anak sendirian, Marina Martin Segedi harus gonta-ganti pekerjaan. Prestasinya baru dikenali setelah mengangkut penumpang dari Kemenpora.

MUHAMMAD AMJAD, Jakarta

REZEKI itu datang dari kliping koran yang telah berusia hampir tiga dekade. Isi beritanya, keberhasilan Marina Martin Segedi menjadi juara Kejuaraan ASEAN Pencak Silat Kelas A Putri pada 1983 di Singapura. Marina yang sangat bangga ketika itu langsung melaminating potongan surat kabar tersebut.

“Saya memang sengaja melaminating biar awet. Saya tak menyangka itu bermanfaat dan membuat saya mendapatkan penghargaan,” ucap Marina yang dilahirkan di Jakarta pada 7 Mei 1964 itu.
Penghargaan yang dimaksud datang dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) pada September lalu. Yakni, berupa rumah dengan nilai uang Rp125 juta yang diberikan kepada mantan atlet berprestasi. Realisasinya berbarengan dengan pemberian bonus bagi para atlet peraih medali di SEA Games 2011 pada Kamis, 24 November lalu.

“Saya bersyukur, akhirnya uangnya sudah di tangan,” ujar Marina yang beberapa kali juga menyabet gelar di kejuaraan nasional dan daerah itu. Wajar kalau perempuan 47 tahun itu bahagian
Sebab, hampir tiga puluh tahun berlalu, sepak terjangnya yang telah mengharumkan nama bangsa terlupakan. Padahal, keberhasilan menjadi jawara pencak silat ASEAN pada 1983 itu bisa dibilang setara dengan meraih emas di SEA Games saat ini. Sebab, saat itu silat belum dipertandingkan di ajang olahraga antarnegara Asia Tenggara tersebut.

Beruntung nasib mempertemukan Marina dengan Karsono, pelanggan taksinya yang bekerja di Kemenpora. Dari obrolan di atas taksi yang berlangsung pada April 2011 lalu, single parent yang harus menghidupi empat anak (dua di antaranya anak angkat) itu menemukan jalan untuk menerima penghargaan mantan atlet.

“Tapi, itu pun tidak mudah. Soalnya, saya masih disuruh memberikan pembuktian-pembuktian kalau saya benar-benar atlet berprestasi dulu,” terangnya.

Marina pun menyerahkan semua bukti kesuksesannya. Mulai medali sampai piagam prestasi. Namun, pihak Kemenpora belum sepenuhnya yakin. Beruntung, perempuan 47 tahun itu masih menyimpan kliping koran tadi yang di dalamnya juga dilengkapi foto dirinya saat juara ASEAN pada 1983 itu.

Akhirnya uang Rp125 juta tadi pun berhak dia miliki. Tapi, Kemenpora mewajibkan uang itu diwujudkan menjadi rumah. Kalau ada kekurangan, si penerima yang mesti menambahi.
Karena itulah, meski baru menerima rezeki dalam jumlah tidak sedikit, Marina tak lantas meninggalkan profesinya selama ini: sopir taksi.

Ya, pekerjaan yang sehari-hari memberinya penghasilan sekitar Rp100 ribu itulah yang dia jalani sejak bercerai dari sang suami yang menikahinya pada 1983 dan memberinya dua putri, Rayner Nurdin, pada 1989.

“Ketika itu, setelah bercerai, mau silat terus tidak mungkin karena saya harus menghidupi anak-anak. Karena itu, saya memutuskan untuk bekerja,” terang ibunda Ayu Yulina Sari dan Rima Afriany Caroline itu.

Pada awalnya, perempuan yang tinggal bersama ibunya di kawasan Bintara, Bekasi, sejak bercerai itu membuka warung kecil-kecilan. Sayang, usaha itu tidak berjalan lancar sehingga dia banting setir untuk mencari pekerjaan lain.

Marina akhirnya diterima menjadi sopir taksi. Sebuah pilihan yang kurang lazim, sebenarnya. Sebab, sampai sekarang pun jarang ditemui kaum hawa yang menekuni pekerjaan tersebut.

Namun, wanita berdarah Jerman-Jawa itu justru bersyukur karena menjadi sopir taksi telah menyelamatkan dia dan keluarga. “Apa yang saya dapatkan cukup untuk menghidupi keluarga dan untuk biaya pendidikan anak-anak. Apalagi, masih ada beasiswa Supersemar yang saya terima meskipun tidak banyak,” katanya.

Sebenarnya, sebelum bercerai, Marina mendapatkan tawaran cukup menarik untuk melatih seni pencak silat di Belanda. Namun, setelah berkonsultasi dengan orangtua dan suami, dia batal berangkat karena anaknya saat itu masih kecil dan butuh dekat dengan dirinya.

Tawaran itu tentu didasarkan pada kegemilangan sepak terjang Marina di silat. Marina mulai mengenal bela diri ini dari sang ayah yang berdarah Jerman, Martin Segedi. Meski asli Jerman, latar belakang Martin adalah pejuang. Dia turut bergabung di daerah militer Siliwangi (kini Kodam Siliwangi).

“Saya sangat tertarik pada silat karena mendengar cerita dari ayah. Mulai kelas VI SD saya ikut perguruan Padjajaran,” kata Marina yang beribu perempuan asal Malang, Soekartin, itu.
Keterampilan yang terasah dari ketekunannya berlatih memikat ketua Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) saat itu, Eddie Mardjoeki Nalapraya. Apalagi, saat di kejurnas dia nyaris menjadi juara sebelum akhirnya dibatalkan karena tidak memperkuat DKI Jakarta sebagai daerah asalnya, melainkan Bogor.

Namun, Marina tetap dipanggil ke Pelatnas IPSI untuk kejuaraan ASEAN dan mampu menaklukkan juara kejurnas kala diadu dalam pelatnas. Alhasil, dia dipercaya turun sebagai wakil Indonesia di Kejuaraan ASEAN 1983 yang diikuti tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Setelah tampil di kejuaraan ASEAN itu, Marina sebenarnya masih berhasrat menggeluti silat. Namun, statusnya sebagai istri dan ibu memaksanya mengurangi frekuensi latihan dan bertanding. Bahkan, dia sempat berhenti total kala hamil dan pada masa awal kelahiran.

Perceraianlah yang akhirnya benar-benar membuat silat harus minggir dari kehidupan Marina. Sebagai orangtua tunggal, tenaga dan konsentrasinya tercurah untuk mencari uang. Berbagai kesempatan mendapatkan nafkah pun terus dia coba.

Tiga tahun setelah menjadi sopir taksi, dia pergi ke Sulawesi untuk bekerja. Tapi, belum genap tiga tahun bekerja, dia kembali ke Jakarta dan mulai mencari peluang bekerja di dunia layar lebar. Kebetulan, film berbau silat saat itu booming. Dia pun kecipratan peran kecil sebagai pendekar perempuan di sejumlah film.

Di antaranya dalam Warisan Ilmu Karang, Pendekar Tapak Sakti, dan Pendekar Naga Emas. Sayang, karirnya di dunia layar lebar tidak langgeng seiring merosotnya industri perfilman nasional pada 1990-an. Mulai awal 2000-an, Marina kembali menjadi sopir taksi hingga kini.

Berkat kerja kerasnya, dua anaknya bisa menyelesaikan pendidikan dan kini telah memberinya dua cucu. Yang mengagumkan, di tengah kondisi perekonomian yang serba terbatas, Marina masih mau menjadi orangtua angkat bagi Tya Oktaviany dan Jello Christoper. “Orangtua mereka teman-teman saya dan kondisinya jauh lebih buruk dari saya,” terangnya.

Dengan tambahan beasiswa dari manajemen Taksi Bluebird tempat dia bekerja, Marina juga bisa membesarkan Tya dan Jello dengan baik. Tya telah kuliah, sedangkan Jello yang masih di bangku sekolah dasar kini mulai serius menekuni pencak silat.

Lewat Jello ini pula Marina mencanangkan ambisi mencetak pesilat nasional. Untuk itu, pada saat anak-anaknya telah dewasa sehingga dia punya waktu cukup, Marina pun mulai meneruskan perguruan Padjajaran yang dulu menjadi tempatnya bernaung. Bahkan, dia menjadi pendekar utama yang menjadi instruktur para murid perguruan Padjajaran.

Tentu, fasilitasnya masih minim untuk 40-an murid dewasa dan 30-an anak-anak. Marina hanya melatih mereka di lapangan belakang kompleks rumahnya, di kawasan Bintara, Bekasi, dua kali dalam seminggu, setiap Minggu malam dan Kamis malam.

Meski demikian, dia yakin, dari kesederhanaan itu bakal lahir juara seperti dirinya. Dia pun tak lupa menitipkan harapan kepada PB IPSI agar tak melupakan para mantan atlet seperti dirinya. Tak muluk-muluk, sekadar dilibatkan dalam kepanitiaan sebuah kejuaraan atau menjadi asisten dalam pertarungan pun cukup. (*/c2/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/