27 C
Medan
Wednesday, July 3, 2024

Sumut Peringkat 1 Perda Terbanyak Dicoret

JAKARTA-Selama tahun 2011, Provinsi Sumatera Utara menduduki peringkat 1 jumlah peraturan daerah (perda) yang dicoret Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Dari sekitar 9.000 Perda yang dievaluasi di seluruh Indonesia, 351 perda dibatalkan. Dari jumlah itu, 36 perda berasal dari wilayah Sumut. Jumlah itu merupakan yang terbanyak dibanding provinsi lainnya di Indonesia.

Dari wilayah Sumut ini, terbanyak perda yang dibatalkan adalah perda Kabupaten Simalungun, yakni 9 perda. “Dari 9000-an perda, 351 kita minta untuk diperbaiki,” ujar Plt Kepala Biro Hukum Kemendagri, Prof DR Zudan Arif Fakrulloh SH MH kepada Sumut Pos di ruang kerjanya di Jakarta, Selasa (3/1).

Dia menjelaskan, dari perda-perda yang dibatalkan sebagian besar merupakan perda yang mengatur tentang  pajak dan retribusi, perda yang mengatur minuman beralkolhol, dan perda tentang sumbangan pihak ketiga.

Khusus mengenai perda minuman beralkohol, Zudan menjelaskan, yang dibatalkan karena melanggar aturan yang lebih tinggi, yakni Kepres Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengawasan dan pengendalian minuman beralkolhol. “Sementara, perda-perda yang dibatalkan itu, melarang peredaran secara keseluruhan,” ujar Zudan.

Dia menjelaskan, begitu Perda dinyatakan dibatalkan, maka dalam waktu paling lambat 15 hari kemudian, harus dicabut alias tak lagi diberlakukan. “Kegiatan-kegiatan yang terkait dengan Perda itu harus dihentikan dulu,” ujarnya.
Selanjutnya, mengenai kapan daerah harus memperbaiki perda itu, Zudan menyebutkan, terserah Pemda yang bersangkutan. “Karena ini juga terkait dengan dana (untuk kegiatan pembahasan perbaikan perda tersebut, Red),” kata Zudan.

Mengenai jumlah perda yang dibatalkan pada 2011 ini, jumlahnya turun dibanding 2010, yang mencapai 407 perda. Hanya saja, untuk jenis perdanya, hampir sama dengan tahun sebelumnya, yakni terbanyak menyangkut pajak dan retribusi.

Mendagri Gamawan Fauzi pernah menjelaskan, bila perda yang telah dibatalkan itu tetap diterapkan, maka bisa menjadi masalah hukum di kemudian hari.
Saat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit laporan keuangan pemda, maka secara otomatis akan terlihat perda-perda pajak dan retribusi apa saja yang menjadi dasar pungutan. Jika ternyata pungutan dilakukan berdasar perda yang sudah dicabut, maka hal itu jelas tergolong pelanggaran hukum. (sam)

JAKARTA-Selama tahun 2011, Provinsi Sumatera Utara menduduki peringkat 1 jumlah peraturan daerah (perda) yang dicoret Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Dari sekitar 9.000 Perda yang dievaluasi di seluruh Indonesia, 351 perda dibatalkan. Dari jumlah itu, 36 perda berasal dari wilayah Sumut. Jumlah itu merupakan yang terbanyak dibanding provinsi lainnya di Indonesia.

Dari wilayah Sumut ini, terbanyak perda yang dibatalkan adalah perda Kabupaten Simalungun, yakni 9 perda. “Dari 9000-an perda, 351 kita minta untuk diperbaiki,” ujar Plt Kepala Biro Hukum Kemendagri, Prof DR Zudan Arif Fakrulloh SH MH kepada Sumut Pos di ruang kerjanya di Jakarta, Selasa (3/1).

Dia menjelaskan, dari perda-perda yang dibatalkan sebagian besar merupakan perda yang mengatur tentang  pajak dan retribusi, perda yang mengatur minuman beralkolhol, dan perda tentang sumbangan pihak ketiga.

Khusus mengenai perda minuman beralkohol, Zudan menjelaskan, yang dibatalkan karena melanggar aturan yang lebih tinggi, yakni Kepres Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengawasan dan pengendalian minuman beralkolhol. “Sementara, perda-perda yang dibatalkan itu, melarang peredaran secara keseluruhan,” ujar Zudan.

Dia menjelaskan, begitu Perda dinyatakan dibatalkan, maka dalam waktu paling lambat 15 hari kemudian, harus dicabut alias tak lagi diberlakukan. “Kegiatan-kegiatan yang terkait dengan Perda itu harus dihentikan dulu,” ujarnya.
Selanjutnya, mengenai kapan daerah harus memperbaiki perda itu, Zudan menyebutkan, terserah Pemda yang bersangkutan. “Karena ini juga terkait dengan dana (untuk kegiatan pembahasan perbaikan perda tersebut, Red),” kata Zudan.

Mengenai jumlah perda yang dibatalkan pada 2011 ini, jumlahnya turun dibanding 2010, yang mencapai 407 perda. Hanya saja, untuk jenis perdanya, hampir sama dengan tahun sebelumnya, yakni terbanyak menyangkut pajak dan retribusi.

Mendagri Gamawan Fauzi pernah menjelaskan, bila perda yang telah dibatalkan itu tetap diterapkan, maka bisa menjadi masalah hukum di kemudian hari.
Saat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit laporan keuangan pemda, maka secara otomatis akan terlihat perda-perda pajak dan retribusi apa saja yang menjadi dasar pungutan. Jika ternyata pungutan dilakukan berdasar perda yang sudah dicabut, maka hal itu jelas tergolong pelanggaran hukum. (sam)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/