25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Sisakan Pondasi Rumah dan Sumur Bersejarah

Inilah salah satu cara keluarga Soeharto mikul duwur, mendem jero terhadap mantan presiden Republik Indonesia (RI) tersebut. Rumah tempat kelahiran penguasa Orde Baru itu di Dusun Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Bantul, Jogjakarta, dipugar. Cerita perjalanan hidup Soeharto terekam di sana.

NAUFAL WIDI A.R., Bantul

DIPERTAHANKAN: Pondasi  sumur  tempat kelahiran mantan Presiden Soeharto  Dusun Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Bantul,  masih dipertahankan. //Naufal Widi AR / JAWA POS/jpnn
DIPERTAHANKAN: Pondasi dan sumur di tempat kelahiran mantan Presiden Soeharto di Dusun Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Bantul, yang masih dipertahankan. //Naufal Widi AR / JAWA POS/jpnn

Melihat tetenger di halaman depan, orang pasti sudah bisa menerka bahwa bangunan di dalamnya memiliki hubungan erat dengan mantan Presiden Soeharto. Patung setinggi 3,5 meter seolah menjadi penanda bahwa tempat itu adalah lokasi kelahiran presiden ke-2 RI tersebut.

Bangunan di lahan seluas 3.800 meter persegi di Dusun Kemusuk Lor, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Jogjakarta, itu juga tampak lebih baru daripada bangunan di sekitarnya. Cat putih yang menutupi pagar tembok setinggi 2,5 meter dengan pinggiran warna biru masih tampak bersih.

Begitu juga dengan dua bangunan rumah plus satu pendapa di dalamnya. Kusen dan pilar-pilarnya masih tampak mengkilat. Maklum saja, tempat yang sebenarnya sudah terbagi-bagi menjadi tanah warisan itu kini dijadikan tempat kajian dan memorial Jenderal Besar H M. Soeharto.

Di rumah yang sederhana itulah, pada 8 Juni 1921, seorang perempuan bernama Sukirah melahirkan bayi laki-laki. Oleh sang ayah, Kertosudiro, bayi laki-laki tersebut diberi nama Soeharto.

Adalah Probosutedjo yang menginisiasi pembangunan kembali tempat kelahiran Soeharto. “Sebenarnya gedung (bangunan) ini semula sudah habis dibagi-bagi untuk keluarga,” tutur Probosutedjo saat peresmian tempat kajian dan memorial Soeharto Jumat (1/3).

Probosutedjo merupakan adik Soeharto dari ayah yang berbeda. Perkawinan Kertosudiro dan Sukirah tidak bertahan lama. Keduanya berpisah tidak lama setelah Soeharto lahir. Sukirah menikah lagi dengan Atmoprawiro dan melahirkan anak, salah satunya Probosutedjo.

Nah, Probosutedjo ingin sebuah tempat untuk mengingat perjalanan hidup sang kakak yang populer dengan The Smiling General tersebut.
Singkat cerita, lahan di Kemusuk yang sudah dibagi-bagi itu dikumpulkan lagi, pemiliknya diberi ganti rugi dan dicarikan tempat yang baru. Lantas, tempat tersebut dipugar dan dibangun kembali menyerupai aslinya.

Dua bangunan rumah tersebut adalah kediaman R Ng Noto Sudiro dan R Ng Atmo Sudiro. Masing-masing seluas 465 dan 250 meter persegi. Noto Sudiro merupakan eyang buyut Soeharto, sedangkan Atmo Sudiro adalah ayahanda Sukirah atau eyang Soeharto.

Sementara itu, pendapa dengan bangunan khas joglo memiliki luas 600 meter persegi dengan 36 pilar. Sisi paling luar berjumlah 20 pilar, tengah 12 pilar, dan bagian sentral 4 pilar.

Sebuah lampu kristal gantung berukuran cukup besar dipasang tepat di bagian tengah, menambah cantik pendapa itu. “Saya masih cucu pemilik tanah ini, maka saya bangun kembali. Semoga ada manfaatnya,” ucap Probosutedjo.

Tak semua bangunan di situ adalah baru. Masih ada bagian asli yang sengaja dipertahankan, yakni fondasi rumah dan sumur di sisi bagian utara. Fondasi yang tampak menyerupai huruf L itu hanya dibersihkan dari rumput-rumput yang tumbuh di sekitarnya. Sedangkan sumur diperhalus dengan semen dan dilengkapi dengan tiang untuk pengait ember.

“Dahulu ada sentong (bilik atau kamar, Red), di situ Pak Harto lahir. Saksinya adalah sumur itu,” kata Djoko Utomo, mantan kepala Lembaga Arsip Nasional yang membantu proses membuat kembali petilasan Soeharto.

Djoko menjelaskan, di dalam rumah Atmo Sudiro tersebut ditampilkan diorama yang memuat perjalanan hidup Soeharto. Mulai foto-foto mengenai Operasi Mandala (pembebasan Irian Barat pada 1961), Serangan Umum 1 Maret 1949 di Jogjakarta, kegiatan selama menjabat presiden, hingga saat beliau wafat dan hendak dimakamkan di Astana Giri Bangun.

Djoko mengakui, rumah seluas 250 meter persegi tersebut tidak mampu menampung semua koleksi mengenai perjalanan Soeharto. Karena itu, rencananya dibuat koridor, baik yang menghubungkan pendapa dengan kediaman Atmo Sudiro maupun dari kediaman Atmo Sudiro menuju rumah Noto Sudiro.

Koridor 4 x 8 meter tersebut akan dilengkapi dengan kaca berukuran 12 milimeter untuk menampung gambar kenangan bersejarah Soeharto. “Ada juga wisata maya, juga silsilah mengenai keluarga Pak Harto,” terangnya.

Selain terpajang foto, di dalam rumah ada dua patung Soeharto. Salah satunya berposisi memberikan hormat. Patung tersebut karya pematung Suhartono yang juga membuat patung setinggi 3,5 meter di depan pendapa. Satu patung lainnya di dalam rumah itu merupakan karya pematung Edhi Sunarso.

Di bagian tengah dinding sisi barat terdapat sebuah gunungan yang diapit dua gambar Bapak Pembangunan itu dalam ukuran besar. Satu mengenakan seragam tentara saat masih di Jogjakarta, lainnya mengenakan seragam TNI dengan lambang bintang di pundak alias jenderal.

Di sisi kanan dan kiri gunungan terdapat ungkapan bahasa Jawa. Di sebelah kanan ada tulisan aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh, aja gugupan yang berarti jangan mudah terkejut, jangan mudah heran, jangan mentang-mentang, dan jangan mudah bingung.

Di sisi kirinya terdapat tulisan hanggayuh kasampurnaning hurip, berbudi bawa leksana, ngudi sejatine becik. Artinya, berusaha mencapai kesempurnaan hidup dengan berbudi luhur, berbesar hati, berjiwa mulia, serta menuntut ilmu yang baik dan benar.

Diorama di dalam rumah tersebut disiapkan sekitar sepekan. Sementara itu, pemugaran dan pembangunan kembali tempat kelahiran Soeharto dimulai pada Oktober 2012. “Ini masih sedikit. Lengkapnya nanti pada 8 Juni, bertepatan dengan kelahiran Pak Harto,” kata Djoko.

Peresmian tempat kajian dan memorial itu memang sengaja dilakukan bertepatan dengan peringatan Serangan Umum 1 Maret 1949, saat itu Soeharto termasuk tokoh yang terlibat dalam perebutan kembali Kota Jogjakarta. “Ini hari yang bersejarah. Tidak kalah dengan tanggal 17 Agustus,” kata Probosutedjo.

Peresmian itu dihadiri dua putri Pak Harto, yakni Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) dan Siti Hediati Hariyadi (Titiek). Juga, sejumlah menteri kabinet saat pemerintahan Soeharto. Di antaranya, mantan Menteri Keuangan J.B. Sumarlin dan mantan Menko Kesra Haryono Suyono.

Rencananya, selain tempat kelahiran di Kemusuk, tempat tinggal Soeharto di Jalan Cendana, kawasan Menteng, Jakarta, akan dipugar, kemudian dibuka untuk umum.

“Saya sudah usulkan ke putra-putri Pak Harto,” ujar Probosutedjo. Selain itu, akan didirikan Jenderal Soeharto Center sebagai tempat untuk mengkaji pemikiran-pemikiran presiden yang menjabat selama 32 tahun tersebut. (*/c10/nw/jpnn)

Inilah salah satu cara keluarga Soeharto mikul duwur, mendem jero terhadap mantan presiden Republik Indonesia (RI) tersebut. Rumah tempat kelahiran penguasa Orde Baru itu di Dusun Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Bantul, Jogjakarta, dipugar. Cerita perjalanan hidup Soeharto terekam di sana.

NAUFAL WIDI A.R., Bantul

DIPERTAHANKAN: Pondasi  sumur  tempat kelahiran mantan Presiden Soeharto  Dusun Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Bantul,  masih dipertahankan. //Naufal Widi AR / JAWA POS/jpnn
DIPERTAHANKAN: Pondasi dan sumur di tempat kelahiran mantan Presiden Soeharto di Dusun Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Bantul, yang masih dipertahankan. //Naufal Widi AR / JAWA POS/jpnn

Melihat tetenger di halaman depan, orang pasti sudah bisa menerka bahwa bangunan di dalamnya memiliki hubungan erat dengan mantan Presiden Soeharto. Patung setinggi 3,5 meter seolah menjadi penanda bahwa tempat itu adalah lokasi kelahiran presiden ke-2 RI tersebut.

Bangunan di lahan seluas 3.800 meter persegi di Dusun Kemusuk Lor, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Jogjakarta, itu juga tampak lebih baru daripada bangunan di sekitarnya. Cat putih yang menutupi pagar tembok setinggi 2,5 meter dengan pinggiran warna biru masih tampak bersih.

Begitu juga dengan dua bangunan rumah plus satu pendapa di dalamnya. Kusen dan pilar-pilarnya masih tampak mengkilat. Maklum saja, tempat yang sebenarnya sudah terbagi-bagi menjadi tanah warisan itu kini dijadikan tempat kajian dan memorial Jenderal Besar H M. Soeharto.

Di rumah yang sederhana itulah, pada 8 Juni 1921, seorang perempuan bernama Sukirah melahirkan bayi laki-laki. Oleh sang ayah, Kertosudiro, bayi laki-laki tersebut diberi nama Soeharto.

Adalah Probosutedjo yang menginisiasi pembangunan kembali tempat kelahiran Soeharto. “Sebenarnya gedung (bangunan) ini semula sudah habis dibagi-bagi untuk keluarga,” tutur Probosutedjo saat peresmian tempat kajian dan memorial Soeharto Jumat (1/3).

Probosutedjo merupakan adik Soeharto dari ayah yang berbeda. Perkawinan Kertosudiro dan Sukirah tidak bertahan lama. Keduanya berpisah tidak lama setelah Soeharto lahir. Sukirah menikah lagi dengan Atmoprawiro dan melahirkan anak, salah satunya Probosutedjo.

Nah, Probosutedjo ingin sebuah tempat untuk mengingat perjalanan hidup sang kakak yang populer dengan The Smiling General tersebut.
Singkat cerita, lahan di Kemusuk yang sudah dibagi-bagi itu dikumpulkan lagi, pemiliknya diberi ganti rugi dan dicarikan tempat yang baru. Lantas, tempat tersebut dipugar dan dibangun kembali menyerupai aslinya.

Dua bangunan rumah tersebut adalah kediaman R Ng Noto Sudiro dan R Ng Atmo Sudiro. Masing-masing seluas 465 dan 250 meter persegi. Noto Sudiro merupakan eyang buyut Soeharto, sedangkan Atmo Sudiro adalah ayahanda Sukirah atau eyang Soeharto.

Sementara itu, pendapa dengan bangunan khas joglo memiliki luas 600 meter persegi dengan 36 pilar. Sisi paling luar berjumlah 20 pilar, tengah 12 pilar, dan bagian sentral 4 pilar.

Sebuah lampu kristal gantung berukuran cukup besar dipasang tepat di bagian tengah, menambah cantik pendapa itu. “Saya masih cucu pemilik tanah ini, maka saya bangun kembali. Semoga ada manfaatnya,” ucap Probosutedjo.

Tak semua bangunan di situ adalah baru. Masih ada bagian asli yang sengaja dipertahankan, yakni fondasi rumah dan sumur di sisi bagian utara. Fondasi yang tampak menyerupai huruf L itu hanya dibersihkan dari rumput-rumput yang tumbuh di sekitarnya. Sedangkan sumur diperhalus dengan semen dan dilengkapi dengan tiang untuk pengait ember.

“Dahulu ada sentong (bilik atau kamar, Red), di situ Pak Harto lahir. Saksinya adalah sumur itu,” kata Djoko Utomo, mantan kepala Lembaga Arsip Nasional yang membantu proses membuat kembali petilasan Soeharto.

Djoko menjelaskan, di dalam rumah Atmo Sudiro tersebut ditampilkan diorama yang memuat perjalanan hidup Soeharto. Mulai foto-foto mengenai Operasi Mandala (pembebasan Irian Barat pada 1961), Serangan Umum 1 Maret 1949 di Jogjakarta, kegiatan selama menjabat presiden, hingga saat beliau wafat dan hendak dimakamkan di Astana Giri Bangun.

Djoko mengakui, rumah seluas 250 meter persegi tersebut tidak mampu menampung semua koleksi mengenai perjalanan Soeharto. Karena itu, rencananya dibuat koridor, baik yang menghubungkan pendapa dengan kediaman Atmo Sudiro maupun dari kediaman Atmo Sudiro menuju rumah Noto Sudiro.

Koridor 4 x 8 meter tersebut akan dilengkapi dengan kaca berukuran 12 milimeter untuk menampung gambar kenangan bersejarah Soeharto. “Ada juga wisata maya, juga silsilah mengenai keluarga Pak Harto,” terangnya.

Selain terpajang foto, di dalam rumah ada dua patung Soeharto. Salah satunya berposisi memberikan hormat. Patung tersebut karya pematung Suhartono yang juga membuat patung setinggi 3,5 meter di depan pendapa. Satu patung lainnya di dalam rumah itu merupakan karya pematung Edhi Sunarso.

Di bagian tengah dinding sisi barat terdapat sebuah gunungan yang diapit dua gambar Bapak Pembangunan itu dalam ukuran besar. Satu mengenakan seragam tentara saat masih di Jogjakarta, lainnya mengenakan seragam TNI dengan lambang bintang di pundak alias jenderal.

Di sisi kanan dan kiri gunungan terdapat ungkapan bahasa Jawa. Di sebelah kanan ada tulisan aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh, aja gugupan yang berarti jangan mudah terkejut, jangan mudah heran, jangan mentang-mentang, dan jangan mudah bingung.

Di sisi kirinya terdapat tulisan hanggayuh kasampurnaning hurip, berbudi bawa leksana, ngudi sejatine becik. Artinya, berusaha mencapai kesempurnaan hidup dengan berbudi luhur, berbesar hati, berjiwa mulia, serta menuntut ilmu yang baik dan benar.

Diorama di dalam rumah tersebut disiapkan sekitar sepekan. Sementara itu, pemugaran dan pembangunan kembali tempat kelahiran Soeharto dimulai pada Oktober 2012. “Ini masih sedikit. Lengkapnya nanti pada 8 Juni, bertepatan dengan kelahiran Pak Harto,” kata Djoko.

Peresmian tempat kajian dan memorial itu memang sengaja dilakukan bertepatan dengan peringatan Serangan Umum 1 Maret 1949, saat itu Soeharto termasuk tokoh yang terlibat dalam perebutan kembali Kota Jogjakarta. “Ini hari yang bersejarah. Tidak kalah dengan tanggal 17 Agustus,” kata Probosutedjo.

Peresmian itu dihadiri dua putri Pak Harto, yakni Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) dan Siti Hediati Hariyadi (Titiek). Juga, sejumlah menteri kabinet saat pemerintahan Soeharto. Di antaranya, mantan Menteri Keuangan J.B. Sumarlin dan mantan Menko Kesra Haryono Suyono.

Rencananya, selain tempat kelahiran di Kemusuk, tempat tinggal Soeharto di Jalan Cendana, kawasan Menteng, Jakarta, akan dipugar, kemudian dibuka untuk umum.

“Saya sudah usulkan ke putra-putri Pak Harto,” ujar Probosutedjo. Selain itu, akan didirikan Jenderal Soeharto Center sebagai tempat untuk mengkaji pemikiran-pemikiran presiden yang menjabat selama 32 tahun tersebut. (*/c10/nw/jpnn)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/