26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Pasangan Calon Diusulkan dari Partai Politik yang Sama

JAKARTA- Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mengajukan diri untuk maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) sebaiknya berasal dari satu partai yang sama. Hal ini sebagai upaya meminimalisasi terjadinya pecah kongsi pascapilkada.

Menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris, berdasarkan pengalaman yang terjadi dalam proses pilkada di Indonesia, hampir 90 persen pasangan kepala daerah terpilih mengalami pecah kongsi. Tentu saja, kondisi tersebut dapat mengganggu kinerja dari pemerintahan daerah yang dipimpinnya.

“Seharusnya ketika pasangan kepala daerah itu terpilih juga perlu melakukan kontrak politik sehingga jika di tengah jalan pasangan tersebut pecah kongsi maka ada konsekensi hukum yang diterimanya,” ujarnya di Jakarta, akhir pekan lalu.

Syamsuddin berpendapat, kontrak politik yang dilakukan pasangan kepala daerah tersebut juga untuk menghindari munculnya oportunisme politik yang tidak ada bandingannya. Dia menilai, perpecahan yang terjadi terhadap pasangan kepala daerah terpilih diakibatkan mereka memiliki basis politik atau partai politik yang berbeda. Sehingga, seringkali keharmonisan yang terjalin hanya terjadi pada saat awal pencalonan.

Kepala daerah, ujar Syamsuddin, memiliki status sebagai eksekutif yang bersifat tunggal. Ini berbeda dengan posisi wakil kepala daerah yang diibaratkan sebagai ‘ban serep’. Dengan demikian, sulit untuk menciptakan kekuasaan yang sama di antara kepada daerah dengan wakilnya.

Untuk diketahui, saat ini Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada masih dalam pembahasan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan memasuki tahap menerima pandangan atau masukan dari berbagai pihak. Salah satunya, Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Dalam pandangan DPD yang diserahkan kepada Komisi II, menyebutkan perbaikan regulasi penyelenggaraan pilkada seharusnya diarahkan untuk memperkuat dan mewujudkan makna esensial dari pilkada tersebut, yaitu terwujudnya kedaulatan rakyat melalui penyelenggaraan pilkada yang demokratis.

Dengan demikian, mampu melahirkan pemimpin yang negarawan dari tingkat lokal hingga hingga nasional sehingga mewujudkan sumber daya manusia (SDM) masyarakat Indonesia yang berkualitas melalui proses pendidikan dan kaderisasi politik.

Fenomena pecahnya pasangan kepala daerah rupanya terjadi hampir merata di semua daerah. “Dari 244 Pemilu Kada pada 2010 dan 67 pada 2011, hampir 94 persen diantaranya pecah kongsi. Kemesraannya cepat berlalu,” ungkap Kapuspen Kemendagri, Reydonnyzar Moenek.

Berdasar data Kemendagri pula, diketahui hanya 6,15 persen pasangan kepala daerah hasil pemilihan pada 2010 dan 2011 yang tetap berpasangan pada Pilkada untuk periode selanjutnya. Sedemikian besar presentase pasangan kepala daerah yang pecah kongsi, sampai-sampai dianggap sebagai fenomena wajar dalam dinamika Pilkada.

Sementara itu, tim penjaringan balon Gubsu/Wagubsu Partai Demokrat membidik enam nama yang diproyeksikan sebagai Cawagubsu periode 2013-2018. Pemilihan nama Cawagubsu ini, selain dianggap potensial mendulang suara pemilih (vote getter) di Pilgubsu, juga dikategorikan sebagai sosok yang memiliki pengalaman politik dan pemerintahan. Informasi yang diperoleh Sumut Pos Grup dari pengurus inti Partai Demokrat Sumut, Selasa (3/7), enam nama Cawagubsu yang dibidik itu adalah Fadly Nurzal, HT Erry Nuradi, Saleh Bangun, Syah Affandin, Parlindungan Purba, dan DR RE Nainggolan. (sam/ari)

JAKARTA- Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mengajukan diri untuk maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) sebaiknya berasal dari satu partai yang sama. Hal ini sebagai upaya meminimalisasi terjadinya pecah kongsi pascapilkada.

Menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris, berdasarkan pengalaman yang terjadi dalam proses pilkada di Indonesia, hampir 90 persen pasangan kepala daerah terpilih mengalami pecah kongsi. Tentu saja, kondisi tersebut dapat mengganggu kinerja dari pemerintahan daerah yang dipimpinnya.

“Seharusnya ketika pasangan kepala daerah itu terpilih juga perlu melakukan kontrak politik sehingga jika di tengah jalan pasangan tersebut pecah kongsi maka ada konsekensi hukum yang diterimanya,” ujarnya di Jakarta, akhir pekan lalu.

Syamsuddin berpendapat, kontrak politik yang dilakukan pasangan kepala daerah tersebut juga untuk menghindari munculnya oportunisme politik yang tidak ada bandingannya. Dia menilai, perpecahan yang terjadi terhadap pasangan kepala daerah terpilih diakibatkan mereka memiliki basis politik atau partai politik yang berbeda. Sehingga, seringkali keharmonisan yang terjalin hanya terjadi pada saat awal pencalonan.

Kepala daerah, ujar Syamsuddin, memiliki status sebagai eksekutif yang bersifat tunggal. Ini berbeda dengan posisi wakil kepala daerah yang diibaratkan sebagai ‘ban serep’. Dengan demikian, sulit untuk menciptakan kekuasaan yang sama di antara kepada daerah dengan wakilnya.

Untuk diketahui, saat ini Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada masih dalam pembahasan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan memasuki tahap menerima pandangan atau masukan dari berbagai pihak. Salah satunya, Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Dalam pandangan DPD yang diserahkan kepada Komisi II, menyebutkan perbaikan regulasi penyelenggaraan pilkada seharusnya diarahkan untuk memperkuat dan mewujudkan makna esensial dari pilkada tersebut, yaitu terwujudnya kedaulatan rakyat melalui penyelenggaraan pilkada yang demokratis.

Dengan demikian, mampu melahirkan pemimpin yang negarawan dari tingkat lokal hingga hingga nasional sehingga mewujudkan sumber daya manusia (SDM) masyarakat Indonesia yang berkualitas melalui proses pendidikan dan kaderisasi politik.

Fenomena pecahnya pasangan kepala daerah rupanya terjadi hampir merata di semua daerah. “Dari 244 Pemilu Kada pada 2010 dan 67 pada 2011, hampir 94 persen diantaranya pecah kongsi. Kemesraannya cepat berlalu,” ungkap Kapuspen Kemendagri, Reydonnyzar Moenek.

Berdasar data Kemendagri pula, diketahui hanya 6,15 persen pasangan kepala daerah hasil pemilihan pada 2010 dan 2011 yang tetap berpasangan pada Pilkada untuk periode selanjutnya. Sedemikian besar presentase pasangan kepala daerah yang pecah kongsi, sampai-sampai dianggap sebagai fenomena wajar dalam dinamika Pilkada.

Sementara itu, tim penjaringan balon Gubsu/Wagubsu Partai Demokrat membidik enam nama yang diproyeksikan sebagai Cawagubsu periode 2013-2018. Pemilihan nama Cawagubsu ini, selain dianggap potensial mendulang suara pemilih (vote getter) di Pilgubsu, juga dikategorikan sebagai sosok yang memiliki pengalaman politik dan pemerintahan. Informasi yang diperoleh Sumut Pos Grup dari pengurus inti Partai Demokrat Sumut, Selasa (3/7), enam nama Cawagubsu yang dibidik itu adalah Fadly Nurzal, HT Erry Nuradi, Saleh Bangun, Syah Affandin, Parlindungan Purba, dan DR RE Nainggolan. (sam/ari)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/