JAKARTA- Ketidakpastian hukum yang ditimbulkan oleh putusan Mahkamah Agung (MA) soal pembatalan Surat Keputusan (SK) KPU Kota Depok, tak perlu terjadi jika ada kejelasan penyelesaian sengketa pilkada dalam undang-undang. Dibutuhkan adanya time frame (batasan waktu) yang jelas atas penyelesaian sengketa tersebut.
“Ketidakpastian hukum akan muncul kalau UU Pilkada tidak segera direvisi,” ujar Pengamat Hukum Tata Negara, Refly Harun, akhir pekan lalu. “Jadi dalam undang-undang harus jelas bagaimana penyelesaian sengketa seperti ini, harus ada time frame, sehingga PTUN dipaksa untuk memutuskan dengan jadwal,” terangnya.
Dijelaskan Refly, saat ini peraturan soal time frame dalam penyelesaian sengketa pemilihan umum sudah termuat dalam UU Pemilu, namun belum diatur dalam UU Pilkada. Dimana penyelesaian sengketa atas proses penetapan parpol sebagai peserta diatur prosedurnya secara jelas dan diberi batasan waktu selama 78 hari untuk penyelesaiannya, hingga ada kepastian hukum.
“Karena ini pilkada yang berlangsung cepat, maka time frame-nya harus lebih cepat, kalau perlu 30 hari. Menurut saya, segera revisi,” cetus Refly. Dia menilai, revisi undang-undang pilkada ini penting demi memperjelas penyelesaian hukum sengketa yang muncul. Jika tidak, lanjutnya, semua pihak bisa bermain di ranah pengadilan, mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, hingga Mahkamah Konstitusi, sehingga memunculkan ketidakpastian.
Menurut Refly, ketidakpastikan hukum akan memicu pro-kontra yang justru tidak menyelesaikan masalah. Padahal seharusnya putusan itu harus bisa menjadi solusi yang baik bagi seluruh sengketa Pilkada. (tom/jpnn)