27.8 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Ciptakan Skema Anti Bully, IPB Dapat Penghargaan UNICEF

anti bullySUMUTPOS.CO- Satu tim mahasiswa Indonesia dari Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi satu dari dua pemenang kompetisi dunia UNICEF dengan menciptakan skema untuk mencegah anak menjadi korban bully (risak).

Tim yang beranggotakan lima pelajar dari IPB ini mengembangkan model “We are Siblings”, untuk kompetisi bertajuk Global Design for UNICEF Challenge yang diikuti 50 tim dari enam negara yaitu Cile, Indonesia, Kosovo, Lebanon, Nikaragua dan Zambia.

Skema itu adalah proyek dukungan sesama bagi anak-anak yang mengalami bullying (perisakan) di sekolah dan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kekerasan terhadap anak.

“Saya memilih topik ini karena saya pernah menjadi korban bullying, tapi untungnya saya mendapat dukungan dari keluarga saya,” ucap Aldila Setiawati, salah satu anggota tim. “Tapi apakah semua anak mendapatkannya? Saya rasa tidak, dan itulah mengapa saya dan tim saya ingin membuat sesuatu yang bisa memberikan dukungan kepada anak-anak sebagaimana diberikan oleh keluarga saya.”

Tim “We are Siblings” memperluas model “Big Brothers Big Sisters” yang telah terbukti sukses, menggunakan teknologi seluler dan internet untuk menghubungkan anak-anak yang pernah mengalami atau rentan terhadap kekerasan di lima pulau utama di Indonesia, Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Mas Bro dan Mbak Sis’

Dengan model ini, seorang relawan (“mas bro” atau “mbak sis”) berusia 18 – 25 tahun akan dihubungkan dengan lima anak berusia 10 – 17 tahun dari kelima pulau tersebut. Mereka adalah anak-anak yang pernah mengalami perisakan di sekolah, di masyarakat atau di rumah. Para relawan tersebut harus berinteraksi dengan “saudara” mereka minimal seminggu sekali, untuk menjadi pendengar dan motivator yang baik, serta memberikan informasi tentang cara-cara menghadapi kekerasan. Seorang “duta” di setiap pulau akan memonitor program ini, termasuk dengan memberikan training tentang penggunaan sosial media dan mengumpulkan data mengenai korban-korban kekerasan.

Skema ciptaan mahasiswa-mahasiswa IPB ini mendapat pujian dari kalangan pemerhati psikologi anak.

“Ini adalah langkah yang bagus dari UNICEF sebagai organisasi internasional yang peduli terhadap pengembangan dan kesejahteraan anak, walaupun ini sebetulnya sudah terlambat tapi ini program yang bagus. Saya pikir aksesibilitas korban bullying akan lebih mudah, mereka akan lebih cepat mendapat pertolongan pertama apabila mendapat perlakuan bullying,” kata Nurjanah Bahtiar psikolog dari Psikodista Banda Aceh kepada Ani Mulyani dari BBC Indonesia.

“Akan lebih baik bila ada nomor khusus atau hotline service yang bisa dijangkau korban atau teman korban atau siapa saja yang mengalami, melihat dan merasakan bullying untuk mendapat penjelasan, dengan begitu dampak bulllying secara dini bisa teratasi secara tepat,” tambahnya.

“Dulu ada program sejenis namanya Telepon Sahabat Anak di beberapa kota, memang tidak secara khusus menangani bullying tapi lebih kepada persoalan anak secara luas”,pungkasnya.

Perisakan adalah masalah serius di Indonesia, di mana 40 persen pelajar usia 13-15 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dari teman sekolah dalam kurun waktu 12 bulan terakhir, menurut Global School-based Student Health Survey (GSHS) 2007. Separuh dari semua anak yang disurvey juga melaporkan pernah di-bully di sekolah, salah satu rata-rata tertinggi di dunia.

Tim lain yang juga memenangi kompetisi ini berasal dari Nikaragua dengan proyek bernama “HealthConnect”. (BBC)

anti bullySUMUTPOS.CO- Satu tim mahasiswa Indonesia dari Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi satu dari dua pemenang kompetisi dunia UNICEF dengan menciptakan skema untuk mencegah anak menjadi korban bully (risak).

Tim yang beranggotakan lima pelajar dari IPB ini mengembangkan model “We are Siblings”, untuk kompetisi bertajuk Global Design for UNICEF Challenge yang diikuti 50 tim dari enam negara yaitu Cile, Indonesia, Kosovo, Lebanon, Nikaragua dan Zambia.

Skema itu adalah proyek dukungan sesama bagi anak-anak yang mengalami bullying (perisakan) di sekolah dan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kekerasan terhadap anak.

“Saya memilih topik ini karena saya pernah menjadi korban bullying, tapi untungnya saya mendapat dukungan dari keluarga saya,” ucap Aldila Setiawati, salah satu anggota tim. “Tapi apakah semua anak mendapatkannya? Saya rasa tidak, dan itulah mengapa saya dan tim saya ingin membuat sesuatu yang bisa memberikan dukungan kepada anak-anak sebagaimana diberikan oleh keluarga saya.”

Tim “We are Siblings” memperluas model “Big Brothers Big Sisters” yang telah terbukti sukses, menggunakan teknologi seluler dan internet untuk menghubungkan anak-anak yang pernah mengalami atau rentan terhadap kekerasan di lima pulau utama di Indonesia, Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Mas Bro dan Mbak Sis’

Dengan model ini, seorang relawan (“mas bro” atau “mbak sis”) berusia 18 – 25 tahun akan dihubungkan dengan lima anak berusia 10 – 17 tahun dari kelima pulau tersebut. Mereka adalah anak-anak yang pernah mengalami perisakan di sekolah, di masyarakat atau di rumah. Para relawan tersebut harus berinteraksi dengan “saudara” mereka minimal seminggu sekali, untuk menjadi pendengar dan motivator yang baik, serta memberikan informasi tentang cara-cara menghadapi kekerasan. Seorang “duta” di setiap pulau akan memonitor program ini, termasuk dengan memberikan training tentang penggunaan sosial media dan mengumpulkan data mengenai korban-korban kekerasan.

Skema ciptaan mahasiswa-mahasiswa IPB ini mendapat pujian dari kalangan pemerhati psikologi anak.

“Ini adalah langkah yang bagus dari UNICEF sebagai organisasi internasional yang peduli terhadap pengembangan dan kesejahteraan anak, walaupun ini sebetulnya sudah terlambat tapi ini program yang bagus. Saya pikir aksesibilitas korban bullying akan lebih mudah, mereka akan lebih cepat mendapat pertolongan pertama apabila mendapat perlakuan bullying,” kata Nurjanah Bahtiar psikolog dari Psikodista Banda Aceh kepada Ani Mulyani dari BBC Indonesia.

“Akan lebih baik bila ada nomor khusus atau hotline service yang bisa dijangkau korban atau teman korban atau siapa saja yang mengalami, melihat dan merasakan bullying untuk mendapat penjelasan, dengan begitu dampak bulllying secara dini bisa teratasi secara tepat,” tambahnya.

“Dulu ada program sejenis namanya Telepon Sahabat Anak di beberapa kota, memang tidak secara khusus menangani bullying tapi lebih kepada persoalan anak secara luas”,pungkasnya.

Perisakan adalah masalah serius di Indonesia, di mana 40 persen pelajar usia 13-15 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dari teman sekolah dalam kurun waktu 12 bulan terakhir, menurut Global School-based Student Health Survey (GSHS) 2007. Separuh dari semua anak yang disurvey juga melaporkan pernah di-bully di sekolah, salah satu rata-rata tertinggi di dunia.

Tim lain yang juga memenangi kompetisi ini berasal dari Nikaragua dengan proyek bernama “HealthConnect”. (BBC)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/