30 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Kalah Mengais Sampah, Menang Memotivasi Mahasiswa

Mahmud, Kepala Sekolah Pemulung setelah Pensiun

Empat tahun silam, Mahmud menggegerkan Jakarta karena menjadi kepala sekolah yang merangkap pemulung. Kini setelah pensiun dia laris diundang ke seminar kepribadian dan tetap berburu sampah.

Moh Hilmi Setiawan, Jakarta

EMPAT tahun berlalu sejak film dokumenter bertajuk Kepala Sekolahku Pemulung memenangi Eagle Award yang dihelat Metro TV. Tapi, Mahmud, tokoh yang diceritakan dalam film garapan Victor Benedict Doloksaribu dan Jastis Arimba tersebut, tetap tak kehilangan popularitas.

Seorang tukang ojek yang mangkal di mulut Jalan Bambu Larangan, Kelurahan Cengkareng Barat, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat, dengan detail menunjukkan arah rumah pria 51 tahun itu kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos) yang bingung.

“Rumah Pak Mahmud masih jauh. Lurus saja, rumahnya ada di samping penampungan sampah dan perajin kayu (kusen, Red),” tutur si tukang ojek yang mangkal di mulut Jalan Bambu Larangan.

Padahal, rumah itu mungil saja dan berdiri di atas kolam ikan hias. Bukan tipe kediaman yang gampang dikenali dan diingat seorang tukang ojek Jakarta yang tiap hari harus berurusan dengan rimba raya gang ‘kelinci’ dan jalan ‘tikus’.
Apalagi, Mahmud kini telah pensiun dari jabatannya sebagai kepala Madrasah Tsanawiyah Safinatul Husnahn
dan lebih berfokus pada pekerjaan yang empat tahun silam menggegerkan ibu kota: pemulung.

Ya, lewat film Kepala Sekolahku Pemulung, semua mata terbelalak ketika itu menyaksikan Mahmud yang tiap usai asar, selepas tugas di sekolah tentu, berburu barang bekas di penampungan sampah yang tepat di belakang rumahnya. Selanjutnya, sampah-sampah plastik, kertas, dan besi yang terkumpul dijual ke pengepul yang tidak jauh dari rumahnya.

Mahmud harus menyambi pekerjaan yang sangat tidak lazim dilakukan seorang pengajar, terlebih kepala sekolah, itu karena penghasilan dari sekolah sangat tidak mencukupi. Total gaji pria yang menamatkan pendidikan sarjana di STKIP (Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Jakarta pada 2005 tersebut selama lima tahun terakhir hanya Rp500 ribu per bulan. Itu pun sering dirapel dua hingga tiga bulan sekali.

Sementara itu, dari berburu sampah, Mahmud yang diangkat menjadi kepala MTs Safinatul Husnah pada 1990 tersebut bisa mengantongi sampai Rp1,5 juta. “Semua itu saya lakukan untuk menjaga dapur tetap ngebul,” ujar suami Jumiati tersebut ketika ditemui belum lama ini. “Uang dari hasil memulung kami gunakan untuk sedikit simpanan dan menyekolahkan anak,” sambungnya.

Kini setelah pensiun dini tahun lalu karena merasa stres dengan kondisi pendidikan di sekitarnya, Mahmud bisa mencurahkan tenaga untuk memulung. Dia juga tak perlu lagi pusing dengan kontroversi yang sempat merebak ketika film dokumenter tentang dirinya ditayangkan. Yakni, berupa kecaman dari pejabat Dinas Pendidikan DKI Jakarta serta beberapa tetangga yang menganggap tak sepantasnya seorang kepala sekolah berburu sampah.

Namun, sekarang, seiring dengan umur yang mulai menua, Mahmud harus mengakui bahwa dirinya kalah cekatan mengais sampah dibanding pemulung muda. Untuk menghibur diri dan sedikit menambah kocek, dia menanami secuil lahan pengembang perumahan yang tak jauh dari kediamannya dengan aneka sayuran. Misalnya, lombok, terong, sawi, hingga kangkung.

Beruntung, sisa-sisa popularitas lewat film Kepala Sekolahku Pemulung mendatangkan rezeki lain kepada ayah Aidatul Aulia (26), Ridwan Abimanyu (23), dan Ade Irma Yunita (20) tersebut. Yakni, menjadi motivator mahasiswa.
Beberapa kali Mahmud diundang mengisi simposium atau seminar kepribadian di beberapa universitas di kawasan Jakarta Barat. Hasilnya, diakui Mahmud, tak jauh berbeda seperti ketika dirinya menjadi guru atau kepala sekolah dulu.
Selain itu, ini yang membuat dia masih heran sampai kini, sejumlah mahasiswa datang ke rumahnya untuk mengikuti bimbingan motivasi belajar singkat. “Saya tidak tahu mereka dapat ide dari mana. Ngakunya sih dapat informasi dari internet,” ujarnya.

Dasar berjiwa pengajar, Mahmud pun senang saja berbagi ilmu. Apalagi, dia bisa melakukan itu tanpa perlu meninggalkan rumah. Belakangan, kesehatannya memang kerap menurun. Itu pula yang membuat dirinya menolak sejumlah tawaran mengajar setelah pensiun.

Setiap menjadi motivator, dia selalu menegaskan agar hidup dijalani dengan penuh semangat. Termasuk, ketika berada dalam kondisi pas-pasan. Pria kelahiran 17 Agustus 1960 tersebut selalu mengingatkan audiensinya agar menghindari cara-cara kotor untuk memperbaiki hidup. Misalnya, menyuap untuk menempati jabatan tertentu atau korupsi untuk menambah pundi-pundi penghasilan.

Rata-rata mahasiswa yang mengikuti ceramahnya, ujar Mahmud, mengaku terinspirasi untuk berjuang agar tetap hidup bersih. Namun, dia tahu, betapa tak mudah menjaga komitmen itu di tengah kian merajalelanya korupsi. “Semua kembali kepada niat dan kesiapan berjuang untuk hidup bersih,” ujarnya.

Mahmud sudah menunjukkan kegigihannya pada komitmen itu sepanjang hidup dan karir mengajarnya yang dimulai dengan menjadi guru madrasah ibtidaiyah pada 1976. Di tengah berbagai keterbatasan, dia justru makin kreatif. Tak hanya dalam urusan menambah penghasilan, tapi juga dalam mendidik murid.

Dia juga membuang jauh kesan sangar seorang pendidik. Mungkin karena itulah mereka yang ingin belajar kepada Mahmud tak pernah surut, bahkan sampai kini. Pada usia senjanya sebagai pensiunan, dia justru menghadapi murid-murid yang strata pendidikannya lebih tinggi daripada para siswanya dulu: mahasiswa. (*)

Mahmud, Kepala Sekolah Pemulung setelah Pensiun

Empat tahun silam, Mahmud menggegerkan Jakarta karena menjadi kepala sekolah yang merangkap pemulung. Kini setelah pensiun dia laris diundang ke seminar kepribadian dan tetap berburu sampah.

Moh Hilmi Setiawan, Jakarta

EMPAT tahun berlalu sejak film dokumenter bertajuk Kepala Sekolahku Pemulung memenangi Eagle Award yang dihelat Metro TV. Tapi, Mahmud, tokoh yang diceritakan dalam film garapan Victor Benedict Doloksaribu dan Jastis Arimba tersebut, tetap tak kehilangan popularitas.

Seorang tukang ojek yang mangkal di mulut Jalan Bambu Larangan, Kelurahan Cengkareng Barat, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat, dengan detail menunjukkan arah rumah pria 51 tahun itu kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos) yang bingung.

“Rumah Pak Mahmud masih jauh. Lurus saja, rumahnya ada di samping penampungan sampah dan perajin kayu (kusen, Red),” tutur si tukang ojek yang mangkal di mulut Jalan Bambu Larangan.

Padahal, rumah itu mungil saja dan berdiri di atas kolam ikan hias. Bukan tipe kediaman yang gampang dikenali dan diingat seorang tukang ojek Jakarta yang tiap hari harus berurusan dengan rimba raya gang ‘kelinci’ dan jalan ‘tikus’.
Apalagi, Mahmud kini telah pensiun dari jabatannya sebagai kepala Madrasah Tsanawiyah Safinatul Husnahn
dan lebih berfokus pada pekerjaan yang empat tahun silam menggegerkan ibu kota: pemulung.

Ya, lewat film Kepala Sekolahku Pemulung, semua mata terbelalak ketika itu menyaksikan Mahmud yang tiap usai asar, selepas tugas di sekolah tentu, berburu barang bekas di penampungan sampah yang tepat di belakang rumahnya. Selanjutnya, sampah-sampah plastik, kertas, dan besi yang terkumpul dijual ke pengepul yang tidak jauh dari rumahnya.

Mahmud harus menyambi pekerjaan yang sangat tidak lazim dilakukan seorang pengajar, terlebih kepala sekolah, itu karena penghasilan dari sekolah sangat tidak mencukupi. Total gaji pria yang menamatkan pendidikan sarjana di STKIP (Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Jakarta pada 2005 tersebut selama lima tahun terakhir hanya Rp500 ribu per bulan. Itu pun sering dirapel dua hingga tiga bulan sekali.

Sementara itu, dari berburu sampah, Mahmud yang diangkat menjadi kepala MTs Safinatul Husnah pada 1990 tersebut bisa mengantongi sampai Rp1,5 juta. “Semua itu saya lakukan untuk menjaga dapur tetap ngebul,” ujar suami Jumiati tersebut ketika ditemui belum lama ini. “Uang dari hasil memulung kami gunakan untuk sedikit simpanan dan menyekolahkan anak,” sambungnya.

Kini setelah pensiun dini tahun lalu karena merasa stres dengan kondisi pendidikan di sekitarnya, Mahmud bisa mencurahkan tenaga untuk memulung. Dia juga tak perlu lagi pusing dengan kontroversi yang sempat merebak ketika film dokumenter tentang dirinya ditayangkan. Yakni, berupa kecaman dari pejabat Dinas Pendidikan DKI Jakarta serta beberapa tetangga yang menganggap tak sepantasnya seorang kepala sekolah berburu sampah.

Namun, sekarang, seiring dengan umur yang mulai menua, Mahmud harus mengakui bahwa dirinya kalah cekatan mengais sampah dibanding pemulung muda. Untuk menghibur diri dan sedikit menambah kocek, dia menanami secuil lahan pengembang perumahan yang tak jauh dari kediamannya dengan aneka sayuran. Misalnya, lombok, terong, sawi, hingga kangkung.

Beruntung, sisa-sisa popularitas lewat film Kepala Sekolahku Pemulung mendatangkan rezeki lain kepada ayah Aidatul Aulia (26), Ridwan Abimanyu (23), dan Ade Irma Yunita (20) tersebut. Yakni, menjadi motivator mahasiswa.
Beberapa kali Mahmud diundang mengisi simposium atau seminar kepribadian di beberapa universitas di kawasan Jakarta Barat. Hasilnya, diakui Mahmud, tak jauh berbeda seperti ketika dirinya menjadi guru atau kepala sekolah dulu.
Selain itu, ini yang membuat dia masih heran sampai kini, sejumlah mahasiswa datang ke rumahnya untuk mengikuti bimbingan motivasi belajar singkat. “Saya tidak tahu mereka dapat ide dari mana. Ngakunya sih dapat informasi dari internet,” ujarnya.

Dasar berjiwa pengajar, Mahmud pun senang saja berbagi ilmu. Apalagi, dia bisa melakukan itu tanpa perlu meninggalkan rumah. Belakangan, kesehatannya memang kerap menurun. Itu pula yang membuat dirinya menolak sejumlah tawaran mengajar setelah pensiun.

Setiap menjadi motivator, dia selalu menegaskan agar hidup dijalani dengan penuh semangat. Termasuk, ketika berada dalam kondisi pas-pasan. Pria kelahiran 17 Agustus 1960 tersebut selalu mengingatkan audiensinya agar menghindari cara-cara kotor untuk memperbaiki hidup. Misalnya, menyuap untuk menempati jabatan tertentu atau korupsi untuk menambah pundi-pundi penghasilan.

Rata-rata mahasiswa yang mengikuti ceramahnya, ujar Mahmud, mengaku terinspirasi untuk berjuang agar tetap hidup bersih. Namun, dia tahu, betapa tak mudah menjaga komitmen itu di tengah kian merajalelanya korupsi. “Semua kembali kepada niat dan kesiapan berjuang untuk hidup bersih,” ujarnya.

Mahmud sudah menunjukkan kegigihannya pada komitmen itu sepanjang hidup dan karir mengajarnya yang dimulai dengan menjadi guru madrasah ibtidaiyah pada 1976. Di tengah berbagai keterbatasan, dia justru makin kreatif. Tak hanya dalam urusan menambah penghasilan, tapi juga dalam mendidik murid.

Dia juga membuang jauh kesan sangar seorang pendidik. Mungkin karena itulah mereka yang ingin belajar kepada Mahmud tak pernah surut, bahkan sampai kini. Pada usia senjanya sebagai pensiunan, dia justru menghadapi murid-murid yang strata pendidikannya lebih tinggi daripada para siswanya dulu: mahasiswa. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/