30.1 C
Medan
Tuesday, June 25, 2024

Cegah Secondwave, Uji Virus Diperluas, Dunia Bersatu Kembangkan Vaksin Covid-19

PEMERIKSAAN Petugas dari Karantina Kesehatan Pelabuhan (KKP) memeriksa suhu tubuh penumpang kapal. Pelindo 1 terus meningkatkan kewaspadaan dan memperketat pengawasan terhadap penyebaran virus Covid-19 di seluruh pelabuhan.
PEMERIKSAAN Petugas dari Karantina Kesehatan Pelabuhan (KKP) memeriksa suhu tubuh penumpang kapal. Pelindo 1 terus meningkatkan kewaspadaan dan memperketat pengawasan terhadap penyebaran virus Covid-19 di seluruh pelabuhan.

SUMUTPOS.CO – Covid-19 pada dasarnya tidak begitu berbeda dengan penyakit flu lainnya. Masyarakat sejak lama sudah punya penangkalnya. Yakni, lewat imunitas tubuh yang kuat. Meskipun demikian, para ahli virus dunia saat ini sedang berhimpun membuat penangkalnya, untuk mencegah secondwave atau serangan gelombang kedua. Penangkap dibuat bermodalkan sampel dari kasus-kasus yang sudah ada.

HAL ITU disampaikan juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto di Bina Graha kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (5/3).

Dia menjelaskan, WHO sudah membuat semacam komunitas bagi para ahli virologi dari berbagai negara untuk memecahkan persoalan Covid-19. Mengingat penyakit tersebut adalah fenomena global.

Beberapa negara, tuturnya, sudah menemukan sejumlah sampel dan diujicobakan secara lokal. Khususnya di Tiongkok. ’

’Karena sampelnya banyak dan memberikan gambaran yang bagus,’’ terangnya Namun gambaran itu belum bisa menjadi standar baku dunia. Hasil dari uji cob itu harus dibawa ke forum ahli di WHO untuk dibicarakan lebih lanjut.

Menurut Yuri, panggilan Achmad Yurianto, ahli virologi Indonesia baik di Surabaya maupun Jakarta dan daerah lain, sudah tergabung dalam komunitas itu. ’’Tidak mungkin Indonesia akan mengembangkan sendiri. Sementara sampel yang kita miliki baru dua,’’ lanjutnya.

Dengan kondisi tersebut, hingga saat ini secara resmi WHO dan dunia belum menemukan obat yang spesifik untuk virus SARS-Cov-2. Juga belum menemukan vaksin yang spesifik untuk virus tersebut. Namun sebagaimana umumnya virus, lawan utamanya bukan obat atau vaksin. Melainkan daya tahan tubuh yang baik.

Karena itu, pemerintah tidak mengandalkan vaksin sebagai satu-satunya cara menangkal virus SARS-Cov-2. Justru yang diutamakan adalah self immune. ’’Covid-19 itu juga influenza. Mestinya kita juga menyikapinya seperti itu,’’ tutur sekretaris Ditjen P2P Kemenkes itu.

Maka treatment yang dilakukan adalah memperbaiki imunitas pasien. Terbukti, lebih dari 50 persen pasien positif Covid-19 sembuh lewat penguatan self immune.

Mengenai kasus 1 dan 2 yang menjadi pasien pertama Positif Covid-19 di Indonesia, Yuri sudah mendapatkan data selama tiga hari berturut-turut. Kedua pasien sejak datang sampai saat ini tidak pernah menggunakan oksigen karena tidak sesak, ataupun infus karena tidak ada kondisi berat. Saat ini mereka masih batuk yang jarang dan sudah tidak panas.

Rencananya, hari kelima sejak masuk RS, yakni hari ini, akan diperiksa ulang virusnya. Bila hasilnya negatif, maka mereka akan diperiksa lagi dua hari kemudian. ’’Manakala hasilnya negatif, maka akan kita pulangkan,’’ ujar Yuri. Itu standar yang digunakan di seluruh untuk menyatakan kesembuhan pasien Covid-19

Metode perbaikan imunitas diterapkan pada kasus 1 dan 2 yang menjadi pasien pertama positif Covid-19 di Indonesia. Keduanya diterapi dengan menggunakan berbagai suplemen yang mampu meningkatkan daya tahan tubuh. ’’Kita isolasi tujuannya adalah agar tidak menular ke orang lain,’’ terang pria yang sempat berkarier sebagai dokter militer itu.

Isolasi bukan bertujuan untuk pengobatan atau treatment. Melainkan hanya mencegah mereka menjadi episentrum baru. Treatment yang dilakukan juga bukan untuk menghilangkan virus. Melainkan meningkatkan daya tahan tubuh sehingga virus tidak bisa berkembang dan mati dengan sendirinya. Karena virus SARS-Cov-2 hanya bisa berkembang dalam sel hidup orang yang sedang sakit atau ketahanan tubuhnya lemah.

Sebagai gambaran, jumlah pasien positif Covid-19 di Tiongkok mencapai lebih dari 90 ribu orang. Hingga saat ini, pertambahan kasus yang positif terus menurun. Dari jumlah itu, sekitar 55 ribu dinyatakan sembuh. ’’Sebagian besar adalah pada bentangan usia 35 sampai 40 tahun,’’ urainya. Artinya, yang sembuh adalah mereka yang sedang dalam usia produktif dan ketahanan tubuhnya baik.

Sebaliknya, profil pasien yang meninggal didominasi para lansia berusia 65-75 tahun. ’’Hampir 70 persen memiliki penyakit yang kita sebut kumorbit, penyakit kronis yang diderita sebelum terinfeksi,’’ jelasnya.

Seperti penyakit jantung kronis, diabetes, gagal ginjal, dan beberapa penyakit paru yang bisa mempengaruhi daya tahan tubuh yang bersangkutan.

Para lansia tersebut tertular saat sedang memiliki penyakit-penyakit itu. Alhasil, mereka cepat tumbang karena kondisi tubuhnya memang sedang tidak baik. Merekalah yang akhirnya dinyatakan meninggal setelah terkena Covid-19.

Bersiap Hadapi Gelombang Kedua

Saat ini, pemerintah maupun dunia sedang fokus pula untuk menghadapi gelombang kedua penularan virus SARS-Cov-2. Di mana penularan di luar Tiongkok berlangsung cepat. Dalam sehari ada 20 negara baru yang melaporkan kasus positif. ’’Ini artinya bahwa penderita dengan Covid-19 di dalam tubuhnya tidak terdeteksi di pintu masuk negara manapun,’’ ujar Yuri.

Deteksi yang dilakukan negara-negara itu mengandalkan thermal scanner dan thermal gun penderita tidak terdeteksi karena gejalanya semakin ringan. Panasnya tidak tinggi, batuknya juga tidak terlalu terlihat, bahkan dalam beberapa temuan ada yang asimtomatis atau tanpa gejala.

Itu artinya, virus di dalam tubuh penderita tersebut tidak sempat mereplikasi atau beranak pinak. Kalau virus tersebut bisa beranakpinak, dipastikan orang yang membawanya akan demam. Bila virus tersebut banyak di saluran pernafasan, akan memicu lender dan merangsang batuk. Bila sampai saluran pernafasan bawah, akan memicu gagal nafas atau pneumonia.

Yang terjadi saat ini, virus tidak bisa berkembang dengan cepat. ’’Kemungkinan yang paling besar adalah daya tahan tubuhnya bagus atau virusnya semakin melemah,’’ tutur Yuri. Dampaknya, masa inkubasi juga menjadi lebih panjang. Tidak lagi 14 hari. Karena itu, kini seluruh dunia sepakat bahwa observasi terhadap orang yang diduga dalam tubuhnya ada virus dilakukan 2×14 hari.

Di Indonesia, pemerintah melakukannya terhadap ABK World Dream. Mereka sudah melalui 14 hari pertamanya di kapal. Kemudian dijemput oleh pemerintah untuk menjalani observasi 14 hari kedua di pulau Sebaru. Begitu pula dengan ABK Diamond Prince.

Perlakuan terhadap mereka berbeda dengan para WNI yang dievakuasi dari Wuhan. Mereka dievakuasi saat sebaran penyakit gelombang pertama. Saat itu, virus yang masuk akan segera memunculkan gejala yang berat dan cepat berkembang. Situasinya berbeda dengan saat ini.

Mirip SARS

Fenomena itu mirip kejadian 2002, saat kali pertama muncul SARS. Setahun kemudian, SARS menjadi flu musiman. Virusnya masih ada tetapi dampaknya hanya flu biasa. Berikutnya H1N1 atau flu babi di 2009 yang angka kematiannya tinggi. Saat ini juga sudah menjadi flu biasa.

’’Setiap orang batuk pilek di Indonesia kalau kita periksa kemungkinan besar kita akan dapat H1N1,’’ terangnya. Begitu pula MERS yang menular melalui unta.

Ahli mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dr Fera Ibrahim SpMK(K), menyatakan bahwa penelitian Covid-19 sangat dinamis. Pada gelombang kedua ini, belum diketahui persis kondisi virusnya. Hal ini menyebabkan spektrum gejalanya luas. Bahkan tidak bergejala.

Meski demikian, mereka yang positif Covid-19 namun tidak bergejala, jika diuji laboratorium akan menunjukkan virusnya. Pada penelitian yang ada, menurut Fera ditemukan SARS Cov-2 (nama virus Covid-19) pada spesimen yang diteliti. Terutama pada dahak. Secara tak langsung, Fera menyatakan bahwa perlunya pengambilan spesimen meski tak menunjukkan gejala.

“Pencegahannya dengan PHBS (pola hidup bersih dan sehat). Sebab infeksi tak hanya dari corona,” tuturnya.

PHBS yang dimaksud Fera antara lain cuci tangan dengan sabun dan air mengali, makan makanan bergizi, cukup istirahat, dan berolahraga. Selain itu juga menutup dengan tisu atau siku bagian dalam saat batuk serta bersin.

Perluas Pemeriksaan Virus

Di sisi lain, anak buah kapal Diamond Princess mulai dipindahkan ke Pulau Sebaru Kecil kemarin. Sebelumnya, mereka berada di KRI Soeharso. Di dalam kapal tersebut, mereka dilakukan pemeriksaan lengkap. Total ada 69 ABK yang pulang pada 1 Maret lalu. Dari jumlah tersebut, satu orang masih tinggal di KRI Soeharso dikarenakan masih mengalami batuk.

Atas dasar itu pula, pemerintah memperluas pemeriksaan virus. Penularan Covid-19 memiliki empat level. Yang terendah disebut dengan orang dalam pemantauan (ODP). Mereka adalah orang-orang yang datang dari negara-negara yang banyak terjadi penularan. Seperti Tiongkok, Korsel, Jepang, Iran, Italia, Singapura, atau Malaysia.

ODP bukanlah orang sakit. Mereka hanya berasal dari negara yang banyak terjadi penularan. Kategorisasi ODP dilakukan untuk memudahkan tracing bila di kemudian hari terjadi sesuatu terhadap mereka, yang terkait Covid-19.

Bila para ODP ini mengalami sakit batuk, panas, dan sesak nafas, barulah mereka dimasukkan ke dalam level kedua. Yakni, pasien dalam pengawasan (PDP). Pada fase ini, mereka akan menjalani perawatan di fasilitas kesehatan. Selain dirawat, mereka akan diwawancarai apakah ada riwayat kontak dekat dengan orang yang positif Covid-19.

Kalau mereka sempat kontak dekat dengan orang yang positif Covid-19, statusnya dinaikkan menjadi suspect. Di level inilah pemeriksaan virus dilakukan. Untuk memastikan apakah mereka tertular Covid-19 dari kontak dekat sebelumnya atau tidak. Kalau hasilnya positif, maka pemerintah akan mengumumkan dan mereka diisolasi untuk mencegah penularan.

Beberapa waktu belakangan, pemeriksaan virus di Indonesia diperluas. Bila sebelumnya pemeriksaan baru dilakukan di level suspect, saat ini PDP juga langsung menjalani uji virus. Itulah cara pemerintah mengantisipasi gelombang kedua penularan Covid-19 yang semakin minim gejala.

Saat ini, secara keseluruhan Kemenkes memiliki 423 spesimen PDP. 156 di antaranya berasal dari 35 RS di 23 provinsi. 2 dari 156 spesimen sudah dinyatakan positif Covid-19, yakni kasus 1 dan 2. Lalu ada sembilan spesimen yang masih menunggu kroscek hasil pemeriksaan menggunakan genum sequencing. ’’Yang lainnya negatif,’’ ungkap Yuri.

Selama ini, metode pemeriksaan untuk menentukan kasus tidak hanya menggunakan satu macam metode yakni PCR (polymerase chain reaction). PCR adalah metode untuk mengetahui reaksi cepat kurang dari 24 jam. Setelah diperiksa menggunakan metode PCR, dilanjutkan dengan metode kedua, yakni genum sequencing yang memerlukan waktu tiga hari untuk mengetahui hasilnya.

Kelompok PDP kedua adalah ABK World Dream. Seluruh ABK yag berjumlah 188 sudah menjalani pemeriksaan virus dan dinyatakan negatif. Kelompok berikutnya berjumlah 69 orang, yakni ABK Diamond Princess. 68 orang negatif, sementara satu orang masih didalami pemeriksaannya.

Kelompok keempat ada 11 orang. Mereka adalah orang-orang yang menjalani kontak dengan WN Jepang yang sempat berbur di Bali pada 15-19 Februari lalu. WN Jepang itu dinyatakan positif Covid-19 setelah kembali ke negaranya. Ke-11 orang tersebut sudah menjalani uji virus dan hasilnya negatif.

Kluster terakhir adalah mereka yang berhubungan dengan kasus 1 dan 2. Sejauh ini, Kemenkes sudah mendapatkan 14 orang yang menyanggupi akan datang ke RS untuk diperiksa. Mereka terus berkomunikasi dengan dinas kesehatan.

Contact Tracing

Disinggung mengenai contact tracing, Yuri memastikan dilakukan secara mendalam. Dia mencontohkan pencarian orang-orang yang kontak dengan WN Jepang di Bali. Berawal dari informasi dari otoritas Jepang bahwa ada warganya yang baru pulang berlibur di indoensia dan kemudian positif Covid-19. Pihaknya meminta KBRI mencari identitas.

Berdasarkan identitas itu, pihaknya mengecek melalui tracking imigrasi. Tanggal berapa masuk dan keluar dari Indonesia. Dicek pula di bagian kesehatan karantina terkait health alet card. Kemenkes lalu mencari dan mendatangi hotelnya. Di situ diperoleh informasi apa saja aktivitas sang pasien.

’’Kebetulan dia melakukan kegiatan di ubud dengan mobil carter. Kita cari sopirnya siapa,’’ tuturnya. Termasuk siapa yang melayani room serviced kamar hotelnya. Didapatlah 11 orang yang kontak dekat, lalu dilakukan pemeriksaan fisik dan virusnya. Hasilnya, semuanya negatif.

Di sisi lain, untuk saat ini stok alat pelindung diri (APD) yang dipakai petugas kesehatan masih cukup untuk penanganan kasus Covid-19. Namun jika kasus di Indonesia menjadi banyak, Yuri mengkhawatirkan stok akan berkurang. Apalagi Indonesia tidak bisa lagi mengimpor dari Tiongkok. Sebab negara tersebut masih belum bisa mengekspor.

“Kami cari. Beberapa waktu lalu kami dapat isyarat dari Den Haag (Belanda) mau bantu,” ucapnya.

Sementara jika ada rumah sakit yang kekurangan, maka akan diambilkan dari rumah sakit lain. “Kemarin RSPI Sulianti Saroso segera butuh APD, maka kami geser dari RS lain,” tuturnya. Namun dia menyangkal bahwa kurang dan tidaknya APD tidak terlihat dari satu rumah sakit saja.

APD menjadi salah satu yang penting dalam menghadapi second wave Covid-19. Seperti diketahui bahwa pada second wave ini penyebaran begitu cepat. Pada orang yang positif, belum tentu memiliki gejala. Sehingga bisa saja tidak terdeteksi. (byu/lyn/riz)

PEMERIKSAAN Petugas dari Karantina Kesehatan Pelabuhan (KKP) memeriksa suhu tubuh penumpang kapal. Pelindo 1 terus meningkatkan kewaspadaan dan memperketat pengawasan terhadap penyebaran virus Covid-19 di seluruh pelabuhan.
PEMERIKSAAN Petugas dari Karantina Kesehatan Pelabuhan (KKP) memeriksa suhu tubuh penumpang kapal. Pelindo 1 terus meningkatkan kewaspadaan dan memperketat pengawasan terhadap penyebaran virus Covid-19 di seluruh pelabuhan.

SUMUTPOS.CO – Covid-19 pada dasarnya tidak begitu berbeda dengan penyakit flu lainnya. Masyarakat sejak lama sudah punya penangkalnya. Yakni, lewat imunitas tubuh yang kuat. Meskipun demikian, para ahli virus dunia saat ini sedang berhimpun membuat penangkalnya, untuk mencegah secondwave atau serangan gelombang kedua. Penangkap dibuat bermodalkan sampel dari kasus-kasus yang sudah ada.

HAL ITU disampaikan juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto di Bina Graha kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (5/3).

Dia menjelaskan, WHO sudah membuat semacam komunitas bagi para ahli virologi dari berbagai negara untuk memecahkan persoalan Covid-19. Mengingat penyakit tersebut adalah fenomena global.

Beberapa negara, tuturnya, sudah menemukan sejumlah sampel dan diujicobakan secara lokal. Khususnya di Tiongkok. ’

’Karena sampelnya banyak dan memberikan gambaran yang bagus,’’ terangnya Namun gambaran itu belum bisa menjadi standar baku dunia. Hasil dari uji cob itu harus dibawa ke forum ahli di WHO untuk dibicarakan lebih lanjut.

Menurut Yuri, panggilan Achmad Yurianto, ahli virologi Indonesia baik di Surabaya maupun Jakarta dan daerah lain, sudah tergabung dalam komunitas itu. ’’Tidak mungkin Indonesia akan mengembangkan sendiri. Sementara sampel yang kita miliki baru dua,’’ lanjutnya.

Dengan kondisi tersebut, hingga saat ini secara resmi WHO dan dunia belum menemukan obat yang spesifik untuk virus SARS-Cov-2. Juga belum menemukan vaksin yang spesifik untuk virus tersebut. Namun sebagaimana umumnya virus, lawan utamanya bukan obat atau vaksin. Melainkan daya tahan tubuh yang baik.

Karena itu, pemerintah tidak mengandalkan vaksin sebagai satu-satunya cara menangkal virus SARS-Cov-2. Justru yang diutamakan adalah self immune. ’’Covid-19 itu juga influenza. Mestinya kita juga menyikapinya seperti itu,’’ tutur sekretaris Ditjen P2P Kemenkes itu.

Maka treatment yang dilakukan adalah memperbaiki imunitas pasien. Terbukti, lebih dari 50 persen pasien positif Covid-19 sembuh lewat penguatan self immune.

Mengenai kasus 1 dan 2 yang menjadi pasien pertama Positif Covid-19 di Indonesia, Yuri sudah mendapatkan data selama tiga hari berturut-turut. Kedua pasien sejak datang sampai saat ini tidak pernah menggunakan oksigen karena tidak sesak, ataupun infus karena tidak ada kondisi berat. Saat ini mereka masih batuk yang jarang dan sudah tidak panas.

Rencananya, hari kelima sejak masuk RS, yakni hari ini, akan diperiksa ulang virusnya. Bila hasilnya negatif, maka mereka akan diperiksa lagi dua hari kemudian. ’’Manakala hasilnya negatif, maka akan kita pulangkan,’’ ujar Yuri. Itu standar yang digunakan di seluruh untuk menyatakan kesembuhan pasien Covid-19

Metode perbaikan imunitas diterapkan pada kasus 1 dan 2 yang menjadi pasien pertama positif Covid-19 di Indonesia. Keduanya diterapi dengan menggunakan berbagai suplemen yang mampu meningkatkan daya tahan tubuh. ’’Kita isolasi tujuannya adalah agar tidak menular ke orang lain,’’ terang pria yang sempat berkarier sebagai dokter militer itu.

Isolasi bukan bertujuan untuk pengobatan atau treatment. Melainkan hanya mencegah mereka menjadi episentrum baru. Treatment yang dilakukan juga bukan untuk menghilangkan virus. Melainkan meningkatkan daya tahan tubuh sehingga virus tidak bisa berkembang dan mati dengan sendirinya. Karena virus SARS-Cov-2 hanya bisa berkembang dalam sel hidup orang yang sedang sakit atau ketahanan tubuhnya lemah.

Sebagai gambaran, jumlah pasien positif Covid-19 di Tiongkok mencapai lebih dari 90 ribu orang. Hingga saat ini, pertambahan kasus yang positif terus menurun. Dari jumlah itu, sekitar 55 ribu dinyatakan sembuh. ’’Sebagian besar adalah pada bentangan usia 35 sampai 40 tahun,’’ urainya. Artinya, yang sembuh adalah mereka yang sedang dalam usia produktif dan ketahanan tubuhnya baik.

Sebaliknya, profil pasien yang meninggal didominasi para lansia berusia 65-75 tahun. ’’Hampir 70 persen memiliki penyakit yang kita sebut kumorbit, penyakit kronis yang diderita sebelum terinfeksi,’’ jelasnya.

Seperti penyakit jantung kronis, diabetes, gagal ginjal, dan beberapa penyakit paru yang bisa mempengaruhi daya tahan tubuh yang bersangkutan.

Para lansia tersebut tertular saat sedang memiliki penyakit-penyakit itu. Alhasil, mereka cepat tumbang karena kondisi tubuhnya memang sedang tidak baik. Merekalah yang akhirnya dinyatakan meninggal setelah terkena Covid-19.

Bersiap Hadapi Gelombang Kedua

Saat ini, pemerintah maupun dunia sedang fokus pula untuk menghadapi gelombang kedua penularan virus SARS-Cov-2. Di mana penularan di luar Tiongkok berlangsung cepat. Dalam sehari ada 20 negara baru yang melaporkan kasus positif. ’’Ini artinya bahwa penderita dengan Covid-19 di dalam tubuhnya tidak terdeteksi di pintu masuk negara manapun,’’ ujar Yuri.

Deteksi yang dilakukan negara-negara itu mengandalkan thermal scanner dan thermal gun penderita tidak terdeteksi karena gejalanya semakin ringan. Panasnya tidak tinggi, batuknya juga tidak terlalu terlihat, bahkan dalam beberapa temuan ada yang asimtomatis atau tanpa gejala.

Itu artinya, virus di dalam tubuh penderita tersebut tidak sempat mereplikasi atau beranak pinak. Kalau virus tersebut bisa beranakpinak, dipastikan orang yang membawanya akan demam. Bila virus tersebut banyak di saluran pernafasan, akan memicu lender dan merangsang batuk. Bila sampai saluran pernafasan bawah, akan memicu gagal nafas atau pneumonia.

Yang terjadi saat ini, virus tidak bisa berkembang dengan cepat. ’’Kemungkinan yang paling besar adalah daya tahan tubuhnya bagus atau virusnya semakin melemah,’’ tutur Yuri. Dampaknya, masa inkubasi juga menjadi lebih panjang. Tidak lagi 14 hari. Karena itu, kini seluruh dunia sepakat bahwa observasi terhadap orang yang diduga dalam tubuhnya ada virus dilakukan 2×14 hari.

Di Indonesia, pemerintah melakukannya terhadap ABK World Dream. Mereka sudah melalui 14 hari pertamanya di kapal. Kemudian dijemput oleh pemerintah untuk menjalani observasi 14 hari kedua di pulau Sebaru. Begitu pula dengan ABK Diamond Prince.

Perlakuan terhadap mereka berbeda dengan para WNI yang dievakuasi dari Wuhan. Mereka dievakuasi saat sebaran penyakit gelombang pertama. Saat itu, virus yang masuk akan segera memunculkan gejala yang berat dan cepat berkembang. Situasinya berbeda dengan saat ini.

Mirip SARS

Fenomena itu mirip kejadian 2002, saat kali pertama muncul SARS. Setahun kemudian, SARS menjadi flu musiman. Virusnya masih ada tetapi dampaknya hanya flu biasa. Berikutnya H1N1 atau flu babi di 2009 yang angka kematiannya tinggi. Saat ini juga sudah menjadi flu biasa.

’’Setiap orang batuk pilek di Indonesia kalau kita periksa kemungkinan besar kita akan dapat H1N1,’’ terangnya. Begitu pula MERS yang menular melalui unta.

Ahli mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dr Fera Ibrahim SpMK(K), menyatakan bahwa penelitian Covid-19 sangat dinamis. Pada gelombang kedua ini, belum diketahui persis kondisi virusnya. Hal ini menyebabkan spektrum gejalanya luas. Bahkan tidak bergejala.

Meski demikian, mereka yang positif Covid-19 namun tidak bergejala, jika diuji laboratorium akan menunjukkan virusnya. Pada penelitian yang ada, menurut Fera ditemukan SARS Cov-2 (nama virus Covid-19) pada spesimen yang diteliti. Terutama pada dahak. Secara tak langsung, Fera menyatakan bahwa perlunya pengambilan spesimen meski tak menunjukkan gejala.

“Pencegahannya dengan PHBS (pola hidup bersih dan sehat). Sebab infeksi tak hanya dari corona,” tuturnya.

PHBS yang dimaksud Fera antara lain cuci tangan dengan sabun dan air mengali, makan makanan bergizi, cukup istirahat, dan berolahraga. Selain itu juga menutup dengan tisu atau siku bagian dalam saat batuk serta bersin.

Perluas Pemeriksaan Virus

Di sisi lain, anak buah kapal Diamond Princess mulai dipindahkan ke Pulau Sebaru Kecil kemarin. Sebelumnya, mereka berada di KRI Soeharso. Di dalam kapal tersebut, mereka dilakukan pemeriksaan lengkap. Total ada 69 ABK yang pulang pada 1 Maret lalu. Dari jumlah tersebut, satu orang masih tinggal di KRI Soeharso dikarenakan masih mengalami batuk.

Atas dasar itu pula, pemerintah memperluas pemeriksaan virus. Penularan Covid-19 memiliki empat level. Yang terendah disebut dengan orang dalam pemantauan (ODP). Mereka adalah orang-orang yang datang dari negara-negara yang banyak terjadi penularan. Seperti Tiongkok, Korsel, Jepang, Iran, Italia, Singapura, atau Malaysia.

ODP bukanlah orang sakit. Mereka hanya berasal dari negara yang banyak terjadi penularan. Kategorisasi ODP dilakukan untuk memudahkan tracing bila di kemudian hari terjadi sesuatu terhadap mereka, yang terkait Covid-19.

Bila para ODP ini mengalami sakit batuk, panas, dan sesak nafas, barulah mereka dimasukkan ke dalam level kedua. Yakni, pasien dalam pengawasan (PDP). Pada fase ini, mereka akan menjalani perawatan di fasilitas kesehatan. Selain dirawat, mereka akan diwawancarai apakah ada riwayat kontak dekat dengan orang yang positif Covid-19.

Kalau mereka sempat kontak dekat dengan orang yang positif Covid-19, statusnya dinaikkan menjadi suspect. Di level inilah pemeriksaan virus dilakukan. Untuk memastikan apakah mereka tertular Covid-19 dari kontak dekat sebelumnya atau tidak. Kalau hasilnya positif, maka pemerintah akan mengumumkan dan mereka diisolasi untuk mencegah penularan.

Beberapa waktu belakangan, pemeriksaan virus di Indonesia diperluas. Bila sebelumnya pemeriksaan baru dilakukan di level suspect, saat ini PDP juga langsung menjalani uji virus. Itulah cara pemerintah mengantisipasi gelombang kedua penularan Covid-19 yang semakin minim gejala.

Saat ini, secara keseluruhan Kemenkes memiliki 423 spesimen PDP. 156 di antaranya berasal dari 35 RS di 23 provinsi. 2 dari 156 spesimen sudah dinyatakan positif Covid-19, yakni kasus 1 dan 2. Lalu ada sembilan spesimen yang masih menunggu kroscek hasil pemeriksaan menggunakan genum sequencing. ’’Yang lainnya negatif,’’ ungkap Yuri.

Selama ini, metode pemeriksaan untuk menentukan kasus tidak hanya menggunakan satu macam metode yakni PCR (polymerase chain reaction). PCR adalah metode untuk mengetahui reaksi cepat kurang dari 24 jam. Setelah diperiksa menggunakan metode PCR, dilanjutkan dengan metode kedua, yakni genum sequencing yang memerlukan waktu tiga hari untuk mengetahui hasilnya.

Kelompok PDP kedua adalah ABK World Dream. Seluruh ABK yag berjumlah 188 sudah menjalani pemeriksaan virus dan dinyatakan negatif. Kelompok berikutnya berjumlah 69 orang, yakni ABK Diamond Princess. 68 orang negatif, sementara satu orang masih didalami pemeriksaannya.

Kelompok keempat ada 11 orang. Mereka adalah orang-orang yang menjalani kontak dengan WN Jepang yang sempat berbur di Bali pada 15-19 Februari lalu. WN Jepang itu dinyatakan positif Covid-19 setelah kembali ke negaranya. Ke-11 orang tersebut sudah menjalani uji virus dan hasilnya negatif.

Kluster terakhir adalah mereka yang berhubungan dengan kasus 1 dan 2. Sejauh ini, Kemenkes sudah mendapatkan 14 orang yang menyanggupi akan datang ke RS untuk diperiksa. Mereka terus berkomunikasi dengan dinas kesehatan.

Contact Tracing

Disinggung mengenai contact tracing, Yuri memastikan dilakukan secara mendalam. Dia mencontohkan pencarian orang-orang yang kontak dengan WN Jepang di Bali. Berawal dari informasi dari otoritas Jepang bahwa ada warganya yang baru pulang berlibur di indoensia dan kemudian positif Covid-19. Pihaknya meminta KBRI mencari identitas.

Berdasarkan identitas itu, pihaknya mengecek melalui tracking imigrasi. Tanggal berapa masuk dan keluar dari Indonesia. Dicek pula di bagian kesehatan karantina terkait health alet card. Kemenkes lalu mencari dan mendatangi hotelnya. Di situ diperoleh informasi apa saja aktivitas sang pasien.

’’Kebetulan dia melakukan kegiatan di ubud dengan mobil carter. Kita cari sopirnya siapa,’’ tuturnya. Termasuk siapa yang melayani room serviced kamar hotelnya. Didapatlah 11 orang yang kontak dekat, lalu dilakukan pemeriksaan fisik dan virusnya. Hasilnya, semuanya negatif.

Di sisi lain, untuk saat ini stok alat pelindung diri (APD) yang dipakai petugas kesehatan masih cukup untuk penanganan kasus Covid-19. Namun jika kasus di Indonesia menjadi banyak, Yuri mengkhawatirkan stok akan berkurang. Apalagi Indonesia tidak bisa lagi mengimpor dari Tiongkok. Sebab negara tersebut masih belum bisa mengekspor.

“Kami cari. Beberapa waktu lalu kami dapat isyarat dari Den Haag (Belanda) mau bantu,” ucapnya.

Sementara jika ada rumah sakit yang kekurangan, maka akan diambilkan dari rumah sakit lain. “Kemarin RSPI Sulianti Saroso segera butuh APD, maka kami geser dari RS lain,” tuturnya. Namun dia menyangkal bahwa kurang dan tidaknya APD tidak terlihat dari satu rumah sakit saja.

APD menjadi salah satu yang penting dalam menghadapi second wave Covid-19. Seperti diketahui bahwa pada second wave ini penyebaran begitu cepat. Pada orang yang positif, belum tentu memiliki gejala. Sehingga bisa saja tidak terdeteksi. (byu/lyn/riz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/