Kabar mengenai penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dikatakan oleh Presiden Jokowi beberapa waktu lalu ternyata hanya pemberi harapan palsu (PHP). Pasalnya, hingga kini Jokowi belum pernah memerintahkan kepada Pertamina maupun Menteri ESDM untuk menurunkan harga BBM.
SUMUTPOS.CO- MENTERI Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menyatakan, tak ada perintah dari Presiden Jokowi untuk menurunkan harga BBM. Menurut dia, yang ada adalah perintah untuk mengkaji kemungkinan berubahnya bahan bakar. Jadi, belum tentu dia akan mencabut ketetapan perubahan harga BBM tiap tiga bulan.
“Tidak ada sama sekali perintah menurunkan harga BBM,” tegasnya melalui situs Kementerian ESDM saat berkunjung ke Turki, seperti dilansir Jawa Pos (grup Sumut Pos), Senin (5/10).
Mantan Dirut PT Pindad itu mengatakan, presiden sedang mencari solusi untuk menggairahkan perekonomian. Semua menteri diminta memikirkan stimulus ekonomi. Nah, dia kebagian mengkaji kemungkinan perubahan harga.
Sudirman mengaku sudah menindaklanjuti permintaan presiden dengan melakukan kajian bersama Pertamina. Dia yakin, Presiden bisa menerima apapun keputusannya nanti. Apakah harga BBM bisa diturunkan, atau tetap seperti saat ini.
“Sepanjang interaksi saya dengan Pak Presiden selama ini, selalu menghormati judgment profesional,” jelasnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengaku sudah menginstruksikan kepada PT Pertamina (Persero) untuk menurunkan harga BBM jenis premium.
“Dan juga ada dua hal lagi yang berkaitan dengan BBM. Dihitung lagi Pertamina, coba dihitung lagi oleh Pertamina. Tolong dihitung lagi apakah masih mungkin premium itu diturunkan, meskipun sedikit,” katanya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (1/10/2015).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menegaskan pemerintah tidak menargetkan akan menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) baik premium maupun solar.
Darmin mengatakan saat ini yang menjadi fokus pemerintah adalah perhitungan harga BBM yang tepat termasuk selisih kerugian yang harus ditanggung PT Pertamina (Persero) saat menahan harga BBM di bawah harga keekonomian.
“Tidak ada target berapa-berapa (harganya) yang penting adalah melakukan perhitungan dan kalkulasi yang tepat. Apa yang bisa dilakukan, jadi tidak ada target harus turun dan kita akan hitung dan bicara dengan Pertamina yang bisa dilakukan apa,” kata Darmin saat ditemui di kantornya, Jakarta, Senin (5/10).
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I Gusti Nyoman Wiratmaja mengatakan sampai saat ini belum ada keputusan resmi apakah harga BBM akan turun. Wiratmaja mengatakan instansinya masih terus melakukan kalkulasi termasuk mengkaji penghapusan pajak untuk BBM sebagai alternatif menurunkan harga.
Ia menjelaskan, ada dua pajak yang saat ini masih membebani harga BBM yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) rata-rata 5 persen di setiap daerah.
“Kalau PPN 10 persen memang untuk semua BBM, tapi kalau PBBKB tergantung provinsinya, rata-rata 5 persen,” ujarnya.
Sebelumnya manajemen Pertamina menyarankan agar pemerintah dapat memangkas sementara pungutan pajak agar penurunan harga BBM bisa dilakukan. Sebab pemerintah menganggap penurunan harga BBM ini dapat mempercepat laju ekonomi Indonesia.
Staf Khusus Kementerian Keuangan, Arif Budimanta menyatakan, pemerintah optimistis kebijakan penurunan harga BBM bakal memengaruhi daya beli masyarakat. Sebab, dana yang biasa digunakan untuk membeli BBM dengan harga saat ini, bisa dihemat untuk kebutuhan lainnya.
“Kalau terjadi penurunan ya pasti akan memengaruhi biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat pembeli BBM. Dan sebagian dana yang dihemat itu bisa mengisi kebutuhan yang lain. Apakah beli bahan makanan, kebutuhan anak, atau untuk nabung, dan seterusnya,” ujarnya di Jakarta, Minggu (4/10).
Arif mengatakan, penurunan harga BBM ini memang sangat penting untuk kembali memulihkan perekonomian Indonesia yang saat ini semakin melorot. “Setiap fenomena atau pergerakan yang memberikan peningkatan daya beli masyarakat pasti penting,” tuturnya.
Namun, saat ditanya tentang harga BBM yang baru nanti, Arif berkelit. Menurutnya, penentuan harga baru BBM menjadi kewenangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Pertamina.
“Urusan kalkulasi itu mereka. Kita lihat apa yang mereka lakukan saja,” sambung mantan anggota Komisi XI DPR itu.
Selain itu Arif juga meyakini penurunan harga BBM akan berimbas pada harga barang-barang lainnya. Sebab, ongkos transportasi dan produksi bisa ditekan lagi.
“Nanti kan mereka pasti akan mengoreksi terhadap cost of transportation (biaya distribusi) dan seterusnya yang berpengaruh pada biaya akhir,” tandas politikus PDI Perjuangan itu.
Ekonom Senior, Anwar Nasution, justru menentang kebijakan tersebut karena dinilai bukan merupakan solusi tepat di tengah guncangan perekonomian nasional saat ini.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia ini mengatakan, penurunan harga BBM berimbas pada menyusutnya ongkos produksi meski tidak terlalu signifikan.
“Dampak positif lain, menurunnya harga BBM bisa mengikis inflasi lebih rendah. Itu karena peran BBM dalam inflasi cukup besar, selain harga beras,” kata dia, Senin (5/10).
Sementara itu, imbas negatif dari penurunan harga BBM, menurut Anwar, kebijakan tersebut seakan sia-sia apabila distribusi barang tersendat akibat kemacetan di jalan raya sehingga konsumsi BBM justru meningkat.
“Percuma di Jakarta, Bandung, Bali, Surabaya dan seluruh Indonesia macet. Jutaan liter bensin cuma habis dibakar saat macet di jalan raya. Harga BBM turun pun tidak lantas menghilangkan pungutan liar, birokrasi dan sebagainya,” terang Eks Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia ini.
Anwar mengaku tidak setuju dengan pendapat bahwa harga BBM turun akan menyelamatkan 165 ribu orang miskin. Kebijakan ini belum tentu akan ikut menurunkan harga beras atau kebutuhan pokok lainnya. Berdasarkan pengalaman, jika harga BBM merosot, harga barang dan tarif transportasi tidak berubah.
“Harga beras memang bakal turun kalau harga BBM turun. Lihat saja musim kemarau panjang, kebakaran hutan di mana-mana, panen gagal total. Daya beli juga tidak akan meningkat, karena orang miskin makan tahu tempe, bahan bakunya dari impor, karena kurs rupiah jelek harga barang jadi naik. Jadi kebijakan ini tidak akan banyak menolong,” ujarnya.
Menurut dia, saat ini pelaku usaha sangat membutuhkan kestabilan nilai tukar rupiah dan penurunan suku bunga kredit, bukan penurunan harga BBM. Industri dalam negeri, sambungnya, masih bergantung pada bahan baku impor, sehingga pelemahan kurs rupiah sangat membebani dunia usaha.
“Jadi ini tidak menjawab persoalan. Seharusnya rupiah distabilkan dulu, caranya dengan meningkatkan ekspor dan mengundang modal asing masuk. Tapi kita cuma ekspor bahan mentah dan TKI, alternatif lain tidak ada,” papar Anwar.
Dia mencontohkan, Australia mempunyai permasalahan yang sama dengan Indonesia, namun Negeri Kanguru ini menggenjot pasar ekspor daging, buah-buahan, dan hasil pertanian lain. Belum lagi, aliran devisa masuk lewat pariwisata, seperti medical tourism dan pendidikan.
“Kita mau menggalakkan pariwisata saja, semua jalan dan akses ke tujuan wisata macet. Turis disuruh ke mana lagi. Jadi kita harus memikirkan hal ini dalam jangka pendek,” pungkas Anwar. (bbs/jpnn/val)