Site icon SumutPos

Tok! RUU Cipta Kerja Sah jadi Undang-Undang

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU). Kesepakatan tersebut dicapai dalam sidang paripurna pembicaraan tingkat II atas pengambilan keputusan terhadap RUU tentang Cipta Kerjan Pengesahan ini lebih cepat dari jadwal karena semula diagendakan pada tanggal 8 Oktober 2020.

OMNIBUS LAW: Menteri Perekonomian, Airlangga Hartarto (kanan) memberikan pandangan akhir pemerintah mengenai UU Omnibus Law Cipta Kerja, kepada Ketua DPR Puan Maharani, saat Rapat Parpurna di Kompleks Parlemen Jakarta, Senin (5/10).Lp6/Johan Tallo.

Wakil Ketua DPR, Aziz Syamsuddin mengatakan, dari sembilan fraksi, enam di antaranya menerima RUU Cipta Kerja untuk disahkan menjadi UU. Kemudian 1 fraksi menerima dengan catatan, dan dua di antaranya menolak.

“Mengacu pada pasal 164 maka pimpinan dapat mengambil pandangan fraksi. Sepakat? Tok!” kata dia dalam sidang rapat paripurna di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (5/10).

Mewakili pemerintah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyambut baik dan mengucapkan terima kasih, apresiasi dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada ketua dan wakil ketua panitia kerja RUU Cipta Kerja, badan legislatif, legislasi DPR, yang telah melakukan proses pembahasan dengan berbagai pandangan masukan dan saran yang konstruktif.

“Alhamdulillah sore ini undang undang tersebut diketok oleh DPR,” kata dia.

Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, rapat kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan pemerintah telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja untuk disetujui menjadi Undang-Undang (UU) dalam Rapat Paripurna.

“RUU Cipta Kerja disetujui untuk pengambilan keputusan di tingkat selanjutnya,” kata Supratman saat memimpin rapat kerja pengambilan keputusan tingkat I dengan pemerintah di Jakarta,

Dalam rapat tersebut sebanyak tujuh fraksi melalui pandangan fraksi mini fraksi telah menyetujui, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan.

Dua fraksi menyatakan menolak RUU Cipta Kerja ini yaitu Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat. “Tujuh fraksi menerima dan dua menolak, tapi pintu komunikasi tetap dibuka, hingga menjelang Rapat Paripurna,” kata Supratman.

Hapus Hak Libur 2 Hari Seminggu

Omnibus Law UU Cipta Kerja memangkas sejumlah hak pekerja yang semula ada dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Berdasarkan naskah UU Cipta Kerja yang diterima dari Badan Legislasi DPR, Senin (5/10), ketentuan Pasal 79 yang mengatur waktu istirahat dan cuti pekerja diubah. Pasal 79 ayat (2) huruf (b) dalam Bab IV UU Cipta Kerja mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.

Ketentuan ini mengubah aturan dalam UU Ketenagakerjaan yang menyatakan, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu atau dua hari untuk lima hari kerja dalam satu minggu.

Selain itu, Pasal 79 juga menghapus istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut. Pasal 79 ayat (3) UU Cipta Kerja hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.

Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Kemudian Pasal 79 ayat (5) menyebut, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Sementara, UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa perusahaan wajib memberikan istirahat panjang sekurang-kurangnya dua bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing satu bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja enam tahun berturut-turut.

Ketentuan ini berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja enam tahun. Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 79 ayat (2) huruf (d).

Pada dua ayat lainnya, disebutkan hak istirahat panjang berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja di perusahaan tertentu yang diatur dengan keputusan menteri.

Buruh Menolak

Kelompok buruh yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas) bersikukuh tetap menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang rencanakan akan disahkan DPR pada hari ini.

Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI yang juga Presedium Aliansi Gekanas Roy Jinto Ferianto, upaya penghalangan aksi buruh oleh aparat kepolisian dengan acara mencegat rombongan buruh yang akan berangkat ke DPR RI, memblokade kawasan – kawasan industri di Bekasi, Tangerang dan Jakarta.

“Tanggal 6 sampai dengan 8 Oktober 2020 kaum buruh siap melakukan aksi nasional secara serentak di seluruh kabupaten dan kota se-Indonesia, untuk menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Aksi ini upaya terakhir kaum buruh untuk menjegal agar Omnibus law RUU Cipta Kerja ini tidak disahkan,” kata Roy dalam keterangan resmi, Senin (5/10).

Roy menjelaskan aksi kelompok buruh dilaksanakan secara konstitusional sesuai dengan UUD 1945, UU Nomor 9 Tahun 1998 dan pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2000. Dalam melaksanakan aksinya, buruh tetap melaksanakan protokol kesehatan Covid-19 dengan memakai masker, bawa hand sanitizer, jaga jarak dan lainnya, serta akan berjalan secara tertib dan damai.

Roy menyebutkan RUU Cipta Kerja bukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan melindungi buruh. Malah sebaliknya ucap Roy, yaitu hanya untuk kepentingan kelompok pemodal.

“Oleh karena itu, sikap kami kelompok buruh jelas menolak Omnibus Law Cipta Kerja dan meminta klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dan juga menolak pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja diparipurnakan,” kata Roy.

Roy menuturkan kesepakatan Panja DPR RI dan pemerintah, khususnya klaster ketenagakerjaan sangat merugikan kelompok buruh. Antara lain dengan dibebaskannya sistem kerja PKWT dan outsourcing tanpa ada batasan jenis pekerjaan dan waktu.

Hal itu terang Roy, membuat buruh tidak ada kepastian pekerjaan. Selain itu dihapusnya upah minimum sektoral, diberlakukannya upah per jam ungkap Roy, mengakibatkan tidak adanya kepastian pendapatan, PHK dipermudah, pesongon dikurangi, hak cuti dihapus sangat merugikan kelompoknya.

“Dalam situasi pandemi seperti ini, kami menilai Omnibus Law RUU Cipta Kerja tidak akan menjawab persoalan ekonomi maupun investasi. Karena dengan terus meningkatnya angka positif COVID – 19 di Indonesia, investor pun tidak akan masuk ke Indonesia,” ungkap Roy.

Seharusnya ucap Roy, pemerintah dan DPR RI fokus pada penanganan COVID – 19 sehingga dunia internasional percaya kepada Indonesia mampu menangani COVID – 19. Namun faktanya lanjut Roy, justru sebaliknya malah mempercepat pembahasan dan pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. (lp6/net)

Exit mobile version