25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Sekolah Bebas Pungut Biaya

Konsep Rintisan Sekolah Berstandar Internasional

Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) maupun kurikulum Sekolah Berstandar Internasional (SBI) sedianya menjadi lembaga  pendidikan yang mendongkrak kualitas pendidikan nasional.
Hal ini pun tanpa harus melihat latar belakang ekonomi anak.

Namun, dalam perjalanannya, konsep RSBI atau SBI di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) justru berdampak pada terciptanya kasta-kasta dalam dunia pendidikan.

RSBI:SMAN 2 Balige menjadi salah satu Rintisan Sekolah Bersantad Internasional (RSBI)  Sumut.//TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
RSBI:SMAN 2 Balige menjadi salah satu Rintisan Sekolah Bersantad Internasional (RSBI) di Sumut.//TRIADI WIBOWO/SUMUT POS

Dampak yang berpotensi mengkotak-kotakkan dunia pendidikan itu tercermin dalam Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Secara normatif, dalam pasal tersebut berbunyi “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.

Selain itu, dalam pasal yang lain, disebutkan bahwa sekolah tersebut diperbolehkan memungut biaya pendidikan dari siswa sesuai kebutuhan sekolah. Pada impelementasinya, keberadaan RSBI atau SBI yang pada akhirnya mendasarkan seleksi pada intelektual dan keuangan calon peserta didik adalah bentuk tindakan penggolongan atau pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara berdasarkan status sosial dan status ekonomi. Sehingga, keberadaan lembaga pendidikan tersebut merupakan bentuk kebijakan diskriminatif dari negara yang dilegalkan melalui Undang-undang.

“Hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, UU HAM bahkan UU Sisdiknas sendiri. Selain itu, juga bertentangan dengan Kovenan Internasional Hak Sipol, Kovenan Internasional Hak Ekosob serta Konvensi UNESCO menentang Diskriminasi dalam Pendidikan (1960),” ungkap Sekjend Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti.

Gugat UU Sisdiknas

Karena itu, dia bersama sejumlah elemen pemerhati dunia pendidikan melayangkan gugatan atas UU Sisdiknas. Kelompok yang menamakan diri Koalisi Pendidikan itu mengajukan uji materi terhadap Pasal 50 ayat (3) yang menjadi dasar hukum bertumbuhnya Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI).  Melalui Perkara Nomor 5/PUU-X/2012 itu, Koalisi Pendidikan menyatakan bahwa keberadaan RSBI atau SBI yang didasarkan pada Pasal 50 ayat (3)  UU Sisdiknas merupakan bentuk kesalahan dan kekeliruan Pemerintah  dalam menjabarkan makna amanat Pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Menurutnya, kebijakan diskriminatif dilakukan dengan menggelontorkan dana dalam jumlah yang signifikan kepada sekolah-sekolah yang sesungguhnya sudah bagus ketimbang mengalokasikan dana secara khusus ke sekolah-sekolah terbelakang. “Ini berarti semakin tinggi standar kualitas suatu sekolah semakin besar pula peluang sekolah itu mendapatkan keuntungan dana khusus dari pemerintah maupun dari masyarakat, serta semakin tinggi pula kesempatannya untuk menjadi sekolah yang lebih bermutu lagi,” urainya.

Sebaliknya, bagi sekolah-sekolah non-RSBI/SBI justru semakin tertinggal, karena tidak mendapat dukungan dana yang signifikan dari pemerintah dan ada larangan melakukan pungutan. “Bukankah sekolah-sekolah terbelakang seharusnya mendapatkan dana khusus dalam jumlah besar agar dapat mengejar ketertinggalan? Ini artinya pendidikan bermutu disadari atau tidak hanya dapat dinikmati oleh sekelompok kecil warga negara tertentu,”  terangnya.

Menurutnya, RSBI/SBI dengan sengaja menimbulkan kekastaan di  kalangan warga yang justru mau dihapus oleh revolusi kemerdekaan  nasional. “Oleh karenanya, kami berharap Mahkamah Konstitusi (MK) dapat obyektif melihat persoalan RSBI atau SBI  ini, sehingga dengan alasan yang tak  terbantahkan lagi dapat segera membatalkan Pasal 50 ayat (3) UU  Sisdiknas, karena nyata-nyata telah bertentangan dengan Pembukaan, Pasal 28C ayat (1); Pasal 28E ayat (1); Pasal 28I ayat (2); Pasal 31  ayat (1); Pasal 31 ayat (2); Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 36 UUD 1945,” pintanya.

Atas Nama Standar Internasional

Soal pengastaan atau diskriminasi di dunia pendidikan dibantah oleh Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kota Medan, M Rajab Lubis. Menurutnya, RSBI adalah program nasional sebagai bentuk regulasi dari mengejar ketertinggalan pendidikan untuk skala internasional. Dan untuk menyetarakan perlu adanya proses dan tahapan dengan mengelola beberapa sekolah RSBI.

“Awalnya tujuan RSBI adalah mensejajarkan standar kurikulum internasional. Jika ini berjalan, maka secara bertahap seluruh sekolah akan berstandar internasional,” terangnya, Minggu (4/11) lalu.
Mengenai pendanaan, bilang Rajab, mengingat program RSBI merupakan program pusat, maka didanai langsung oleh Pusat. Sementara anggaran APBD yang disalurkan ke sekolah hanya bantuan operasional secara rutin. “Tetap ada bantuan dari APBD seperti untuk gaji guru dan pegawai serta bantuan operasional. Inipun tidak hanya kepada sekolah RSBI saja namun juga sekolah lainnya. Hal ini kita lakukan agar tidak ada terkesan diskriminasi, jadi tidak betul jika ada bentuk diskriminasi antara RSBI dan non-RSBI,”terangnya.

Memang diakui Rajab untuk sekolah RSBI biaya operasional lebih besar dibanding non-RSBI. Mengingat adanya tambahan jam belajar dan fasilitas lebih yang diberikan karena internasional bukan hanya pemberdayaan bahasa asing namun juga cara pembelajaran dan materi ajarannya. “Untuk menyikapi kebutuhan operasional itu maka diperkenankan untuk menggunakan swadana dengan mengutip biaya sekolah,”sebut Rajab.
Namun jika dianggap tidak berpihak kepada masyarakat miskin Rajab juga membantah dengan tegas. Pasalnya bilang Rajab, ada ketentuan untuk setiap sekolah RSBI memberikan beasiswa bagi siswa miskin yang memiliki kemampuan.

“Untuk masuk RSBI, ujiannya memang tersendiri dari sekolah non-RSBIdan lewat seleksi ketat yang dilakukan berdasarkan kemampuan siswa. Selain itu juga disediakan program beasiswa bagi siswa miskin walapun tidak mencapai 10 persen setidaknya mendekati dari jumlah siswa yang diterima. Jadi bukan karena banyak uang baru lulus di sekolah RSBI, namun berdasarkan kemampuannya,”tegas Rajab.

Hal senada juga disampaikan Kadisdiksu Syaiful Syafri melalui Kabid Dikmenti Disdik Provsu, Dra Latifah Hanum Daulay.

Menurutnya tidak benar jika ada diskriminasi yang dilakukan pemerintah terhadap sekolah RSBI maupun non-RSBI. Meskipun Disdiksu tidak memberikan bantuan dana langsung ke sejumlah sekolah karena merupakan kewajiban kabupaten yang memiliki sekolah.

Namun setidaknya Disdiksu memberikan sejumlah bantuan alat-alat sekolah seperti perlengkapan laboratorium bahasa dan lainnya yang belum didapat dari pusat. “Karena adanya otonomi kita tidak memiliki sekolah, yang ada itu kabupaten. Tapi kita juga sering membantu memberikan perlengkapan sesuai kebutuhan sekolah. Itupun agar tidak terjadi diskriminasi, kita berikan terhadap sekolah yang membutuhkan dan tidak ada kekhususan harus sekolah RSBI,”ujarnya.

Dia juga menilai jika RSBI sebenarnya perlu diadakan untuk menyetarakan pendidikan skala internasional. Namun bagaimana agar tidak terjadi adanya kesan diskriminasi, tinggal bagaimana membenahi pengelolaannya saja. (gir/uma/mag-19/ris/rul/cdl/tir/jpnn)

SMA dan SMK RSBI di Sumut

  1. SMAS Sutomo 1 Medan ( Mandiri)
  2. SMAS Plus Shafiyatul Amaliyah (Mandiri)
  3. SMAN 1 Medan (APBN)
  4. SMAN 2 Balige
  5. SMAN 1 Matauli Pandan
  6. SMAN 2 Plus Sipirok
  7. SMAN 1 Berastagi
  8. SMAN 1 Tebingtinggi
  9. SMAN 1 Sidikalang
  10. SMAN 2 Kisaran
  11. SMAN 2 Lubukpakam
  12. SMK N 2 Kisaran
  13. SMK N 1 Percut Seituan
  14. SMK N 1 Lubukpakam
  15. SMK N 2 Tebingtinggi
  16. SMK N 1 Padangsidimpuan
  17. SMK N 3 Pematangsiantar
  18. SMK N 8 Medan
  19. SMK N 3 Medan
  20. SMK N 1 Siatas Barita
  21. SMK N 1 Raya
  22. SMK N 2 Dolok Sanggul
  23. SMK N 1 Balige
  24. SMK Telkom Sandhy Putra Medan
  25. SMK Teladan Medan
  26. SMK Tunas Pelita Binjai
  27. SMK Amir Hamzah Indrapura

Konsep Rintisan Sekolah Berstandar Internasional

Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) maupun kurikulum Sekolah Berstandar Internasional (SBI) sedianya menjadi lembaga  pendidikan yang mendongkrak kualitas pendidikan nasional.
Hal ini pun tanpa harus melihat latar belakang ekonomi anak.

Namun, dalam perjalanannya, konsep RSBI atau SBI di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) justru berdampak pada terciptanya kasta-kasta dalam dunia pendidikan.

RSBI:SMAN 2 Balige menjadi salah satu Rintisan Sekolah Bersantad Internasional (RSBI)  Sumut.//TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
RSBI:SMAN 2 Balige menjadi salah satu Rintisan Sekolah Bersantad Internasional (RSBI) di Sumut.//TRIADI WIBOWO/SUMUT POS

Dampak yang berpotensi mengkotak-kotakkan dunia pendidikan itu tercermin dalam Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Secara normatif, dalam pasal tersebut berbunyi “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.

Selain itu, dalam pasal yang lain, disebutkan bahwa sekolah tersebut diperbolehkan memungut biaya pendidikan dari siswa sesuai kebutuhan sekolah. Pada impelementasinya, keberadaan RSBI atau SBI yang pada akhirnya mendasarkan seleksi pada intelektual dan keuangan calon peserta didik adalah bentuk tindakan penggolongan atau pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara berdasarkan status sosial dan status ekonomi. Sehingga, keberadaan lembaga pendidikan tersebut merupakan bentuk kebijakan diskriminatif dari negara yang dilegalkan melalui Undang-undang.

“Hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, UU HAM bahkan UU Sisdiknas sendiri. Selain itu, juga bertentangan dengan Kovenan Internasional Hak Sipol, Kovenan Internasional Hak Ekosob serta Konvensi UNESCO menentang Diskriminasi dalam Pendidikan (1960),” ungkap Sekjend Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti.

Gugat UU Sisdiknas

Karena itu, dia bersama sejumlah elemen pemerhati dunia pendidikan melayangkan gugatan atas UU Sisdiknas. Kelompok yang menamakan diri Koalisi Pendidikan itu mengajukan uji materi terhadap Pasal 50 ayat (3) yang menjadi dasar hukum bertumbuhnya Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI).  Melalui Perkara Nomor 5/PUU-X/2012 itu, Koalisi Pendidikan menyatakan bahwa keberadaan RSBI atau SBI yang didasarkan pada Pasal 50 ayat (3)  UU Sisdiknas merupakan bentuk kesalahan dan kekeliruan Pemerintah  dalam menjabarkan makna amanat Pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Menurutnya, kebijakan diskriminatif dilakukan dengan menggelontorkan dana dalam jumlah yang signifikan kepada sekolah-sekolah yang sesungguhnya sudah bagus ketimbang mengalokasikan dana secara khusus ke sekolah-sekolah terbelakang. “Ini berarti semakin tinggi standar kualitas suatu sekolah semakin besar pula peluang sekolah itu mendapatkan keuntungan dana khusus dari pemerintah maupun dari masyarakat, serta semakin tinggi pula kesempatannya untuk menjadi sekolah yang lebih bermutu lagi,” urainya.

Sebaliknya, bagi sekolah-sekolah non-RSBI/SBI justru semakin tertinggal, karena tidak mendapat dukungan dana yang signifikan dari pemerintah dan ada larangan melakukan pungutan. “Bukankah sekolah-sekolah terbelakang seharusnya mendapatkan dana khusus dalam jumlah besar agar dapat mengejar ketertinggalan? Ini artinya pendidikan bermutu disadari atau tidak hanya dapat dinikmati oleh sekelompok kecil warga negara tertentu,”  terangnya.

Menurutnya, RSBI/SBI dengan sengaja menimbulkan kekastaan di  kalangan warga yang justru mau dihapus oleh revolusi kemerdekaan  nasional. “Oleh karenanya, kami berharap Mahkamah Konstitusi (MK) dapat obyektif melihat persoalan RSBI atau SBI  ini, sehingga dengan alasan yang tak  terbantahkan lagi dapat segera membatalkan Pasal 50 ayat (3) UU  Sisdiknas, karena nyata-nyata telah bertentangan dengan Pembukaan, Pasal 28C ayat (1); Pasal 28E ayat (1); Pasal 28I ayat (2); Pasal 31  ayat (1); Pasal 31 ayat (2); Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 36 UUD 1945,” pintanya.

Atas Nama Standar Internasional

Soal pengastaan atau diskriminasi di dunia pendidikan dibantah oleh Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kota Medan, M Rajab Lubis. Menurutnya, RSBI adalah program nasional sebagai bentuk regulasi dari mengejar ketertinggalan pendidikan untuk skala internasional. Dan untuk menyetarakan perlu adanya proses dan tahapan dengan mengelola beberapa sekolah RSBI.

“Awalnya tujuan RSBI adalah mensejajarkan standar kurikulum internasional. Jika ini berjalan, maka secara bertahap seluruh sekolah akan berstandar internasional,” terangnya, Minggu (4/11) lalu.
Mengenai pendanaan, bilang Rajab, mengingat program RSBI merupakan program pusat, maka didanai langsung oleh Pusat. Sementara anggaran APBD yang disalurkan ke sekolah hanya bantuan operasional secara rutin. “Tetap ada bantuan dari APBD seperti untuk gaji guru dan pegawai serta bantuan operasional. Inipun tidak hanya kepada sekolah RSBI saja namun juga sekolah lainnya. Hal ini kita lakukan agar tidak ada terkesan diskriminasi, jadi tidak betul jika ada bentuk diskriminasi antara RSBI dan non-RSBI,”terangnya.

Memang diakui Rajab untuk sekolah RSBI biaya operasional lebih besar dibanding non-RSBI. Mengingat adanya tambahan jam belajar dan fasilitas lebih yang diberikan karena internasional bukan hanya pemberdayaan bahasa asing namun juga cara pembelajaran dan materi ajarannya. “Untuk menyikapi kebutuhan operasional itu maka diperkenankan untuk menggunakan swadana dengan mengutip biaya sekolah,”sebut Rajab.
Namun jika dianggap tidak berpihak kepada masyarakat miskin Rajab juga membantah dengan tegas. Pasalnya bilang Rajab, ada ketentuan untuk setiap sekolah RSBI memberikan beasiswa bagi siswa miskin yang memiliki kemampuan.

“Untuk masuk RSBI, ujiannya memang tersendiri dari sekolah non-RSBIdan lewat seleksi ketat yang dilakukan berdasarkan kemampuan siswa. Selain itu juga disediakan program beasiswa bagi siswa miskin walapun tidak mencapai 10 persen setidaknya mendekati dari jumlah siswa yang diterima. Jadi bukan karena banyak uang baru lulus di sekolah RSBI, namun berdasarkan kemampuannya,”tegas Rajab.

Hal senada juga disampaikan Kadisdiksu Syaiful Syafri melalui Kabid Dikmenti Disdik Provsu, Dra Latifah Hanum Daulay.

Menurutnya tidak benar jika ada diskriminasi yang dilakukan pemerintah terhadap sekolah RSBI maupun non-RSBI. Meskipun Disdiksu tidak memberikan bantuan dana langsung ke sejumlah sekolah karena merupakan kewajiban kabupaten yang memiliki sekolah.

Namun setidaknya Disdiksu memberikan sejumlah bantuan alat-alat sekolah seperti perlengkapan laboratorium bahasa dan lainnya yang belum didapat dari pusat. “Karena adanya otonomi kita tidak memiliki sekolah, yang ada itu kabupaten. Tapi kita juga sering membantu memberikan perlengkapan sesuai kebutuhan sekolah. Itupun agar tidak terjadi diskriminasi, kita berikan terhadap sekolah yang membutuhkan dan tidak ada kekhususan harus sekolah RSBI,”ujarnya.

Dia juga menilai jika RSBI sebenarnya perlu diadakan untuk menyetarakan pendidikan skala internasional. Namun bagaimana agar tidak terjadi adanya kesan diskriminasi, tinggal bagaimana membenahi pengelolaannya saja. (gir/uma/mag-19/ris/rul/cdl/tir/jpnn)

SMA dan SMK RSBI di Sumut

  1. SMAS Sutomo 1 Medan ( Mandiri)
  2. SMAS Plus Shafiyatul Amaliyah (Mandiri)
  3. SMAN 1 Medan (APBN)
  4. SMAN 2 Balige
  5. SMAN 1 Matauli Pandan
  6. SMAN 2 Plus Sipirok
  7. SMAN 1 Berastagi
  8. SMAN 1 Tebingtinggi
  9. SMAN 1 Sidikalang
  10. SMAN 2 Kisaran
  11. SMAN 2 Lubukpakam
  12. SMK N 2 Kisaran
  13. SMK N 1 Percut Seituan
  14. SMK N 1 Lubukpakam
  15. SMK N 2 Tebingtinggi
  16. SMK N 1 Padangsidimpuan
  17. SMK N 3 Pematangsiantar
  18. SMK N 8 Medan
  19. SMK N 3 Medan
  20. SMK N 1 Siatas Barita
  21. SMK N 1 Raya
  22. SMK N 2 Dolok Sanggul
  23. SMK N 1 Balige
  24. SMK Telkom Sandhy Putra Medan
  25. SMK Teladan Medan
  26. SMK Tunas Pelita Binjai
  27. SMK Amir Hamzah Indrapura

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/