Site icon SumutPos

Pendataan Khatib: Jangan Ada Niat Curigai Ulama

Foto: Istimewa
Ketua Umum Forum Mesjid Sumatera Utara, Rafdinal.

MEDAN, SUMUTPOS.CO –  Wacana sertifikasi khatib terus mendapatkan penolakan dari sejumlah aliansi keagamaan dan sejumlah forum di Sumut. Penolakan itu karena dakwa dan syiar Islam itu datang dari panggilan jiwa, bukan sebuah profesi atau pekerjaan.

Seperti disampaikan Ketua Umum Forum Mesjid Sumatera Utara, Rafdinal pada Senin (6/2). Menurut pria yang sering disapa Buya ini menyampaikan, wacana sertifikasi khatib yang dilakukan pemerintah itu berlebihan dan tidak pas pada tempatnya.

” Dengan situasi saat ini, menjadi tanda kepanikan pemerintah pada Umat Islam yang semakin kritis dan juga kephobiaan pemerintah atas Islam, ” ucapnya.

Rafdinal menyebutkan, kalau pemerintah terlihat khawatir, karena menganggap khutbah Jumat sebagai doktrin, sehingga kesadaran Umat Islam semakin tinggi. Oleh karena itu, ia menilai wacana tersebut mengintervensi dakwah dan memprovokasi Umat Islam.

Terpisah, Ketua Aliansi Ormas Islam Pembela Mesjid Sumatera Utara, Leo Imsar Adnan menilai wacana untuk mensertifikasi khatib jumat, menjadi upaya pemerintah mengekang dakwah.

Dia meyakini, setelah sertifikasi, akan keluar aturan yang membatasi. Oleh karena itu, ditegaskan dirinya tidak sependapat dengan wacana itu.

Sementara itu, Kepala Bidang Urais dan Pembinaan Syariah Kanwil Kemenag Sumut, Drs H Dahman Hasibuan MA ketika dihubungi Sumut Pos via telepon, Senin (6/2) pagi mengaku, pihaknya mengetahui wacana sertifikasi khatib Jumat, melalui media massa.

” Belum ada pemberitahuan resmi. Baik itu intruksi langsung, atau surat edaran. Lagian itu masih wacana, ” ujar Dahman singkat.

Sedangkan, Staf Humas Kanwil Kemenag Sumut, Imam Mukhair mengaku belum ada pemberitahuan soal wacana tersebut. Oleh karena itu, kalau ada pembicaraan dan pembahasan wacana itu, belum ada dilakulan Kanwil Kemenag Sumut. “Saya sudah mengetahui pro-kontra terhadap wacana itu melalui media massa dan media sosial,” jawabnya.

Menyikapi wacana sertifikasi khatib jumat, Plt Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kemenag Abdul Jamil menuturkan tujuan dari pendataan itu tentu ada di kepolisian. “Bukan domain Kemenag. Jadi tanyakan ke polisinya langsung,”  kata mantan rektor IAIN Walisongo, Semarang itu di komplek DPR kemarin (6/2).

Jamil menjelaskan pendataan itu bisa positif atau negatif, tergantung dari niatnya. Dia mengingatkan bahwa pendataan ulama itu jangan sampai didasari atas unsur kecurigaan polisi kepada ulama. Kecurigaan kepolisian terhadap kegiatan termasuk ceramah itu tidak boleh. Menurutnya ulama itu juga bagian dari elemen bangsa. Meskipun begitu jika niatnya benar, pendataan ulama bisa bersifat positif. Misalnya kepolisian bisa mengetahui dengan detail dan komperhensif tentang statistik keagamaan. Misalnya berapa jumlah madrasah, pesantren, majelis taklim, dan jumlah kiai ata ulama di wilayahnya. Termasuk juga kepolisian bisa mengetahui sebaran ulama berdasarkan keahliannya. Misalnya ada ulama yang menguasai bidang fiqih, sejarah Islam, muamalah, dan ahli waris. Pendataan ulama berdasarkan bidang keahliannya ini menurut Jamil positif dan bisa bermanfaat bagi kepolisian sendiri.

Respon lebih keras terkait pendataan ulama oleh kepolisian itu disampaikan wakil ketua Komisi VIII DPR (bidang keagamaan) Sodik Mudjahid. Dia menjelaskan pendataan ulama oleh kepolisian daerah di Jawa Timur dan tempat lain di Indonesia menumbulkan keresahan di kalangan ulama. Dia menegaskan pendataan ulama seharusnya dilakukan oleh Kemenag.  “Polisi jika ingin datanya, minta ke Kemenag. Bukan langsung turun mendata ulama,” jelasnya.

Sodik menuturkan polisi berhak melakukan pendataan bahkan pemanggilan ulama secara langsung. Tetapi khusus pada oknum ulama yang terindikasi atau terlibat kejahatan. Atau juga ketika kondisi keamanan sedang genting, bisa melakukan pendataan. Namun menurutnya kondisi di Jawa Timur tidak dalam keaadaan genting.

Dia mengakui bahwa pendataan ulama secara langsung tanpa didampingi orang Kemenag, menunjukkan arogansi kepolisian. ’’Selain itu juga menunjukkan lemahnya koordinasi antara kepolisian dan Kemenag, yang sama-sama bagian dari pemerintah,’’ paparnya.  Dia berharap polisi segera menyudahi kegiatan pendataan ulama. Kemudian pendataan ini fokus dilakukan oleh Kemenag. Pihak-pihak lain yang ingin mendapatkan data, berkoordinasi langsung dengan Kemenag.

Kadivhumas Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar menampik bila pendataan terhadap ulama itu menunjukkan arogansi, menurutnya pendataan itu justru untuk mengedepankan program sinergitas antara Polri dengan Ulama. ”Dengan data itu paling tidak nantinya ulama-ulama yang selama ini luput diundang acara Polri dan masyarakat bisa diatasi,” ujarnya.

Misalnya, ada acara keagamaan yang digelar Polri, tentunya bisa mengundang para ulama. Apalagi, setiap pimpinan pondok pesantren juga mengalami regenerasi, karenanya Polri perlu untuk meng-update. ”Lebih ke update aja ya,” paparnya.

Tidak hanya di Polda Jatim, lanjutnya, masing-masing Polda tentu akan mendata dengan caranya masing-masing. Hanya tekniknya saja yang berbeda. ”Kapoldanya nanti yang minta Kapolres untuk mendata,” terangnya.

Mengapa baru sekarang didata? Boy mengaku bila sebenarnya pendataan itu sudah lama dilakukan. namun, bocor ke publiknya baru terjadi belakangan. ”Saya pernah Kapolres Pasuruan selama 10 tahun, saya kerjanya dengan alim ulama terus. Keliling pesantren,” ungkapnya.(ain/wan/idr/jpg/ril)

Exit mobile version