Penggunaan Anggaran DPRD Provinsi Sumut TA 2010
Perbaiki Kinerja Keuangan, Gatot Terapkan Value for Money
JAKARTA- Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang terkait belanja penunjang kegiatan reses DPRD Provinsi Sumut TA 2010, merupakan tanggung jawab sekretaris dewan (sekwan) DPRD Sumut. Pasalnya, sekwan merupakan pejabat pengguna anggaran yang digunakan untuk kegiatan reses dewan.
“Pertanggungjawaban administrasi terhadap pos belanja jenis barang dan jasa melekat kepada pengguna anggaran atau kuasa pengguna anggaran. Sedang pertanggungjawaban dalam bentuk perjalanan dinas melekat kepada orang yang melakukan perjalanan dinas. Reses itu perjalanan dinas,” ujar Kapuspen Kemendagri, Reydonnyzar Moenek, yang juga pakar pengeloalaan keuangan, kepada koran ini di kantornya, kemarin (6/10).
Dijelaskan Donny- panggilan akrab jubir kemendagri itu- aturan mengenai reses dewan sudah jelas diatur di PP Nomor 24 Tahun 2004 tentang susunan kedudukan dan protokoler pimpinan dan anggota DPRD, yang terakhir diubah menjadi PP Nomor 21 Tahun 2007 dan dijabarkan dalam Permendagri Nomor 21 Tahun 2007.
Dalam ketentuan itu diatur bahwa anggaran reses harus diwujudkan dalam bentuk belanja program dan kegiatan di daerah pemilihan (dapem) asal dan diberikan tiga kali dalam setahun. Penggunaannya pun tak bisa sembarangan.
Misal terkait kebutuhan sewa tempat atau gedung, kata Donny, harus dipertanggungjawabkan pengguna anggaran, dalam hal ini sekwan, yang dibuktikan dengan adanya kontraktual pengguna anggaran dengan pihak ketiga. “Termasuk sound system misalnya,” imbuhnya.
“Intinya, reses itu harus diartikan, terbagi habis dalam jenis belanja, yakni bisa saja dalam bentuk perjalanan dinas atau biaya-biaya yang sifatnya kontraktual. Kontraktual harus dibuktikan dengan kuitansi yang dipertanggungjawabkan oleh pengguna anggaran.
Seperti diberitakan, hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap belanja daerah tahun anggaran 2009 dan 2010, ditemukan ketidakjelasan penggunaan dana yang nilainya mencapai miliaran rupiah.
Di dokumen hasil pemeriksaan terlihat bahwa temuan penyimpangan terbesar menyangkut pertanggungjawaban belanja penunjang kegiatan reses DPRD Provinsi Sumut TA 2010, yakni diragukan kebenarannya sebesar Rp4.297.364.500,00 dan berindikasi merugikan keuangan daerah minimal Rp913, 36 juta.
Terkait banyaknya terjadi kebobolan di anggaran Sumut tahun 2010 lalu, Pelaksana Tugas (Plt) Gubsu Gatot Pujo Nugroho hanya menjawab, akan melakukan koreksi untuk ke depannya.
“Itu koreksi bagi kita. Ya akan kita tindak lanjuti. Itu sampai semester pertama 2011 kan,” katanya usai Rapat Paripurna DPRD Sumut Laporan Keterangan Pertanggungjawab (LKPj) Gubernur, di gedung dewan, kemarin.
Tindak lanjut seperti apa? Mengenai hal itu, Gatot mengaku, masih akan meminta laporan BPK tersebut secara tertulis untuk kemudian ditelaah.
“Kemudian kita mau lihat laporan tertulis dulu, baru kemudian akan jadi kajian dari Biro Keuangan dengan Sekda bersama-sama dengan saya, untuk melakukan kajian,” jawabnya lagi.
Saat pembacaan nota jawaban atas pandangan fraksi DPRD Sumutterhadap LKPj, Gatot berjanji memperbaiki pengelolaan leuangan di Pemprovsu. Caranya, menerapkan paradigma pengelolaan keuangan daerah dengan basis kinerja bersistem value for money. Sistem tersebut menerapkan prinsip ekonomis, efisiensi, dan efektif sehingga daya serap APBD bisa lebih baik dan dilaksanakan sesuai ketentuan.
Hal itu mengacu jawaban Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Gatot Pujo Nugroho, dalam nota jawaban atas pandangan fraksi DPRD Sumut, khususnya Fraksi Golkar, terhadap Laporan Keterangan Pertanggungjawab (LKPj) Gubernur di DPRD Sumut, Kamis (6/10).
Pertanyaan Fraksi Partai Golkar yaitu tentang tidak tercapainya target retribusi daerah yang tidak sesuai dengan UU tentang Pajak Daerah.
“Kondisi itu disebabkan tarif yang diatur dalam perda tidak sesuai lagi dengan kondisi perekonomian saat ini. Karena itu, pada tahun anggaran 2012, diharapkan penetapan tarif retribusi daerah sudah dapat disesuaikan dengan UU tentang Pajak daerah,” jawabnya.
Terkait pendapat Fraksi Partai Demokrat yang tentang perlunya kajian mendasar untuk merestrukturisasi APBD, Gatot menyatakan kesepakatannya.
Menyangkut Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (Silpa), Gatot menyatakan, keberadaan atau munculnya persoalan itu tergantung dari situasi dan kondisi. Artinya, hal itu akan diupayakan terus agar APBD yang ditetapkan tepat waktu dapat dimanfaatkan tepat sasaran.
Gatot juga menerangkan mengenai ketersediaan pupuk untuk petani. Untuk hal itu, Gatot menyatakan, kebutuhan dalam bercocok tanam itu telah tersedia baik di tingkat distributor, mau pun kios pengecer.
Namun Gatot juga tidak memungkiri, masih ditemukan penyaluran pupuk bersubsidi yang tidak tepat waktu disebabkan keterlambatan dalam pengiriman.
Untuk solusi, Pemprovsu meminta kepada produsen untuk menyiapkan stok pupuk bersubsisi di tingkat penyalur untuk kebutuhan dua minggu ke depan. Demikian juga dengan raopat koordinasi secara rutin dengan pemda, khususnya dinas pertanian setempat untuk mengawasi penyaluran pupuk bersubsidi.
Dewan Salahkan Staf
Sementara itu, anggota DPRD Sumut M Nasir yang dimintai keterangannya mengenai temuan BPK tersebut, melihat beberapa item pada prinsipnya adalah hal yang tidak masuk dalam pencatatan sarana dan prasarana yang dibutuhkan saat pelaksanaan reses.
“Ada hal-hal yang tidak masuk dalam nomenklatur yang ada. Kalau di DPRD Medan, nomenklaturnya banyak. Kalau di DPRD Sumut sedikit, akhirnya banyak yang tidak masuk. Misalnya, mengenai tratak, kursi yang dibutuhkan saat reses dengan konstituen dan sebagainya. Dan ini tidak dilakukan staf di DPRD Sumut. Akhirnya, hal itu dianggap oleh BPK menjadi hal yang tidak dibenarkan dan semacamnya,” terangnya.
Bagaimana dengan yang dikatakan fiktif oleh BPK? Mengenai hal itu, M Nasir mencontohkan, ada sebuah reses yang dilakukan anggota dewan di daerah. Kemudian, membutuhkan konsumsi. Untuk kebutuhan konsumsi itu, tidak diberikan kepada masyarakat untuk mengola kebutuhan konsumsi itu melainkan mencari alternatif lain yakni, makan di sebuah rumah makan. Namun, pada kenyataannya rumah makan yang dilaporkan oleh staf DPRD Sumut itu kemudian ketika ditanya oleh pihak BPK, ternyata bukan rumah makan yang menjadi tempat makan bagi anggota dewan yang reses ke masyarakat tersebut, melainkan rumah makan lainnya.
“Ini kesalahan staf DPRD Sumut. Karena tidak secara jelas mengemukakan itu. Dalam hal ini, tim Pansus Akuntabilitas sudah mengklarifikasi itu ke BPK. Tapi, BPK tetap bersikukuh dengan keputusan itu,” bebernya lagi.
Kembali ke persoalan uang tratak, kursi atau perlengkapan reses lainnya. Jika memang tidak masuk dalam nomenklatur, apakah itu tetap dibayar dan dari mana sumber dananya?
“Tetap dibayar, dan dari anggaran reses itu,” jawabnya. Dan pembayarannya bersumber dari uang atau anggaran reses anggota DPRD Sumut.
Apakah semua anggota dewan mengikuti reses?. Menurut Politisi Fraksi PKS DPRD Sumut ini, reses merupakan sebuah bentuk kewajiban anggota dewan untuk menyerap aspirasi kosntituen untuk dituangkan atau diperjuangkan dalam anggaran ke depan. Namun, sambung, tidak semua anggota dewan mengikuti reses itu.
“Tidak semua anggota dewan. Ada juga yang tidak. Itu tergantung dari anggota dewannya,” tuturnya.
Bagaimana dengan persoalan kunjungan kerja anggota Komisi B DPRD Sumut ke Cina beberapa waktu lalu yang menggunakan anggaran cukup besar, apakah benar sebuah reses untuk perbandingan dengan menimba ilmu yang nantinya bisa direfleksikan untuk pembangunan dan kenajuan Sumut? Dan apakah itu bukan pemborosan serta apa tidak ada satu daerah pun di Indonesia, yang bisa dijadikan acuan untuk perbaikan di Sumut?
“Itu bentuk studi banding, dan telah disepakati ke Cina. Dalam hal ini untuk memberi in put dalam dunia pertanian. Karena kunjungan beberapa waktu lalu, juga diikuti pihak dari Dinas Pertanian Sumut,” jelasnya.(sam/ari)