JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya ada 15 poin krusial di pada draf revisi Undang-Undang KPK yang sedang digulirkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Rencana DPR merevisi sejumlah pasal dalam UU KPK disinyalir sebagai upaya perlahan-yang akan melumpuhkan kewenangan lembaga antikorupsi tersebut.
“Tercatat ada 15 isu krusial dalam draf RUU KPK versi Baleg DPR yang bisa menjadikan KPK lemah tidak berdaya,” ujar Peneliti ICW Emerson Juntho melalui keterangan pers diterima JPNN.com, Rabu (7/10).
Berikut catatan krusial atas revisi undang-undang tersebut:
1. Adanya penggantian ‘pemberantasan’ menjadi ‘pencegahan’. Ini terjadi pada bagian Menimbang di RUU tersebut. Yaitu pada pasal 4 yang berbunyi “Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upayapencegahan tindak pidana korupsi”
2. Berikutnya mengenai masa pembentukan KPK. DPR kembali mengingatkan pada pasal 5 RUU KPK bahwa lembaga antikorupsi itu dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
3. Selanjutnya, pada pasal 7, tugas-tugas KPK dalam penuntutan dan monitoring dihapus.
4. Pada pasal 8, DPR juga menghapus kewenangan KPK untuk menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan.
5. Sementara itu, pada pasal 13, DPR memangkas kewenangan penyidikan KPK. Lembaga itu hanya bisa menyidik kasus tindak pidana korupsi yang menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 50 miliar. Jika di bawah nilai itu maka KPK wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dari dokumen lain yang diperlukan pada kepolisian dan kejaksaan dalam waktu paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK.
6. Pada pasal 22 ayat 1, pasal 23 ayat 1, DPR mengusulkan pembentukan Dewan Eksekutif di internal KPK. Dewan ini terdiri dari 4 anggota yang dibentuk melalui Pansel. Anggota dewan ini haruslah memiliki pengalamannya sebagai PNS dibidang hukum atau pemeriksa keuangan. Presiden yang akan diberikan kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan anggota dewan tersebut.
7. Dewan eksekutif itu pada pasal 22 ayat (1) huruf c diatur harus terdiri dari pegawai negeri Polri, Kejaksaan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan dan Kementerian yang membidangi komunikasi dan informasi. Mereka diangkat sebagai pegawai KPK tetapi tidak kehilangan statusnya sebagai pegawai negeri.
8. Pasal 24 yang mengatur Dewan Eksekutif berfungsi menjalankan pelaksanaan tugas sehari-hari lembaga KPK dan melaporkan kepada komisioner lembaga tersebut.
9. Pada pasal 39(1) disebutkan dalam melaksanakan tugas dan pengawasan wewenang KPK maka dibentuk Dewan Kehormatan. Dewan ini diberi wewenang untuk memeriksa dan memutuskan dugaan terjadinya pelanggaran penggunaan wewenang yang tidak memenuhi standar penggunaan wewenang yang telah ditetapkan dan menjatuhkan sanksi administratif dalam bentuk teguran lisan dan tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian dari pegawai KPK dan pelaporan tindak pidana yang dilakukan komisioner dan pegawainya.
10. Dewan Kehormatan bersifat Adhoc yang terdiri dari 9 Anggota, yaitu 3 unsur dari pemerintah, 3 unsur dari aparat penegak hukum dan 3 dari unsur masyarakat. Ketentuan Dewan Kehormatan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
11. Dalam Pasal 42 diatur bahwa KPK berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi setelah diketahui tindak pidana korupsi yang sedang ditanganinya tersebut tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke tahap penuntutan sebagaimana diatur pada pasal 109 yat (2) KUHP.