30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Jika Perppu KPK Dikeluarkan, Wibawa Presiden Terancam

Pakar Hukum Tata Negara, Fahri Bachmid

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Presiden Joko Widodo belum mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Komisi Pemberantasan Korupsi. Meskipun ada sebagaian kelompok yang mengaggap UU KPK hasil revisi merupakan regulasi baru yang ampuh melemahkan KPK.

MENANGGAPI itu, Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid mengatakan, Presiden dapat menerbitkan Perppu apabila ada keadaan darurat atau ‘state of emergency’.

Yaitu, keadaan yang secara konseptual didasarkan atas doktrin yang sudah dikenal sejak lama, yaitu prinsip adanya keperluan atau prinsip ‘necessity’.

“Secara konstitusional pranata penetapan Perppu adalah berdasar pada tahapan terjadinya keadaan yang genting, yang memaksa presiden untuk mengambil tindakan secepatnya atau adanya kebutuhan yang mengharuskan “reasonable neccesity”,” katanya.

Sebab, jika peraturan yang diperlukan untuk menangani situasi genting seperti itu menunggu mekanisme yang lazim pada DPR memerlukan waktu panjang dan tindakan hukum yang diambil adalah menyimpang dari prosudur baku dalam tertib penyusunan UU normal sesuai UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Presiden kemudian diberi kewenangan konstitusional untuk menerbitkan Perpu dalam situasi yang demikian. Namun ketentuan pasal 22 UUD NRI Tahun 1945, hanya menekankan pada kegentingan yang memaksa dan butuh waktu cepat.

“Nah berdasar pada kondisi diatas, dan jika dikaitkan dengan tuntutan berbagai elemen masyarakat agar presiden dapat mengambil kebijakan mengeluarkan Perpu adalah tidak sejalan dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme, dan berpotensi membahayakan lembaga-lembaga demokrasi serta mengancam kewibawaan presiden,” tambah Fahri.

Fahri mengatakan, berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi ‘ratio decidendi’ dalam putusan nomor :138/PUU-VII/2009, tanggal 8 Februari 2010, bahwa ada tiga syarat konstitusional sebagai ukuran keadaan kegentingan yang memaksa bagi Presiden untuk menerbitkkan Perppu.

Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai;

Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU dengan prosedur biasa, karena akan memerlukan waktu yang cukup lama. Sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Fahri juga menjelaskan instrumen pembentukan Perppu memang di tangan presiden dan berdasar pada penilaian subjektif presiden. Namun, bukan berarti hal tersebut bahwa secara absolut merupakan suatu kewenangan tanpa batasan.

“Jadi bukan berdasarkan pada pertimbangan imajiner,” paparnya. Dalam situasi tersebut, Fahri mengatakan, langkah yang paling elok dan tepat adalah mengajukan upaya konstitusional dengan judicial review atas UU KPK yang baru disahkan itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Lalu, Presiden hendaknya menunggu putusan MK atas uji meteril itu agar semuanya menjadi jelas dan tertib dalam tatanan penyelengaraan kekuasaan pemerintahan negara dan demi tegaknya demokrasi konstitusional yang dianut. (jpc/ala)

Pakar Hukum Tata Negara, Fahri Bachmid

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Presiden Joko Widodo belum mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Komisi Pemberantasan Korupsi. Meskipun ada sebagaian kelompok yang mengaggap UU KPK hasil revisi merupakan regulasi baru yang ampuh melemahkan KPK.

MENANGGAPI itu, Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid mengatakan, Presiden dapat menerbitkan Perppu apabila ada keadaan darurat atau ‘state of emergency’.

Yaitu, keadaan yang secara konseptual didasarkan atas doktrin yang sudah dikenal sejak lama, yaitu prinsip adanya keperluan atau prinsip ‘necessity’.

“Secara konstitusional pranata penetapan Perppu adalah berdasar pada tahapan terjadinya keadaan yang genting, yang memaksa presiden untuk mengambil tindakan secepatnya atau adanya kebutuhan yang mengharuskan “reasonable neccesity”,” katanya.

Sebab, jika peraturan yang diperlukan untuk menangani situasi genting seperti itu menunggu mekanisme yang lazim pada DPR memerlukan waktu panjang dan tindakan hukum yang diambil adalah menyimpang dari prosudur baku dalam tertib penyusunan UU normal sesuai UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Presiden kemudian diberi kewenangan konstitusional untuk menerbitkan Perpu dalam situasi yang demikian. Namun ketentuan pasal 22 UUD NRI Tahun 1945, hanya menekankan pada kegentingan yang memaksa dan butuh waktu cepat.

“Nah berdasar pada kondisi diatas, dan jika dikaitkan dengan tuntutan berbagai elemen masyarakat agar presiden dapat mengambil kebijakan mengeluarkan Perpu adalah tidak sejalan dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme, dan berpotensi membahayakan lembaga-lembaga demokrasi serta mengancam kewibawaan presiden,” tambah Fahri.

Fahri mengatakan, berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi ‘ratio decidendi’ dalam putusan nomor :138/PUU-VII/2009, tanggal 8 Februari 2010, bahwa ada tiga syarat konstitusional sebagai ukuran keadaan kegentingan yang memaksa bagi Presiden untuk menerbitkkan Perppu.

Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai;

Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU dengan prosedur biasa, karena akan memerlukan waktu yang cukup lama. Sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Fahri juga menjelaskan instrumen pembentukan Perppu memang di tangan presiden dan berdasar pada penilaian subjektif presiden. Namun, bukan berarti hal tersebut bahwa secara absolut merupakan suatu kewenangan tanpa batasan.

“Jadi bukan berdasarkan pada pertimbangan imajiner,” paparnya. Dalam situasi tersebut, Fahri mengatakan, langkah yang paling elok dan tepat adalah mengajukan upaya konstitusional dengan judicial review atas UU KPK yang baru disahkan itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Lalu, Presiden hendaknya menunggu putusan MK atas uji meteril itu agar semuanya menjadi jelas dan tertib dalam tatanan penyelengaraan kekuasaan pemerintahan negara dan demi tegaknya demokrasi konstitusional yang dianut. (jpc/ala)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/