26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

PDIP-Demokrat Bertarung Sengit

Pertahankan Sistem Pemilu dalam RUU

JAKARTA – Ujung pertarungan pembahasan RUU Pemilu ternyata menggumpal pada isu sistem pemilu. Kompetisi sengit tengah terjadi antara dua kutub fraksi besar, yakni Partai Demokrat dan PDIP.
Bagi PDIP, sistem pemilu tertutup berbasis nomor urut menjadi harga mati. Partai Demokrat sendiri tetap ingin mempertahankan sistem pemilu berbasis suara terbanyak seperti Pemilu 2009. Bagi Partai Demokrat, pilihan itu juga tak dapat ditawar lagi.

“Opsinya sekarang apakah memilih ikut blok Partai Demokrat atau blok PDIP,” kata seorang petinggi partai yang enggan namanya dikorankan kepada Jawa Pos (Grup Sumut Pos) di Jakarta kemarin (7/4).
Dia menuturkan, sejak awal PDIP melontarkan tawaran yang menggiurkan kepada fraksi-fraksi menengah dan kecil. PDIP hanya meminta dukungan terhadap sistem tertutup.
Soal besaran parliamentary threshold, kuota kursi per dapil, atau mekanisme penghitungan kursi, PDIP sepenuhnya manut pada kehendak fraksi-fraksi menengah dan kecil.

Karena itu, kalangan partai menengah kecil sempat berancang-ancang ikut mendukung opsi sistem pemilu tertutup. Tapi, Demokrat yang sadar kalau kepepet juga tidak tinggal diam. Daripada kehilangan semuanya, Demokrat memilih berkonsentrasi pada isu sistem pemilu terbuka. Untuk materi lain, Demokrat akhirnya melunak. “Sekarang ini fraksi-fraksi menengah dan kecil menjadi bandul menentukan. Termasuk Hanura dan Gerindra,” kata tokoh yang partainya bergabung ke setgab koalisi itu.

Pada Kamis (5/4) lalu, tutur dia, ada pembicaraan formal antara fraksi-fraksi menengah dan kecil. Ada kecenderungan, ungkap dia, untuk bergabung ke blok Partai Demokrat. Artinya, mendukung sistem pemilu terbuka. “Fraksi-fraksi menengah kecil, sejauh ini, punya kesimpulan seperti itu,” ujarnya.

Menurut dia, dari enam fraksi menengah dan kecil di DPR, tinggal Fraksi PKS yang masih mau sistem tertutup. “PKS bisa ditinggal kalau bersikukuh,” kata sumber itu.
Sebelumnya, Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar Ibnu Munzir juga menyampaikan bahwa kemungkinan pengambilan keputusan melalui voting soal sistem pemilu dalam RUU Pemilu. Pilihannya adalah proporsional terbuka atau proporsional tertutup. “Golkar fleksibel saja,” kata Munzir.

Beberapa waktu lalu Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Marzuki Alie juga sudah mendorong titik temu parliamentary threshold (PT) pada angka 3,5 persen. Angka itu tampaknya bisa diterima kalangan fraksi menengah dan kecil.
Secara terpisah, Wasekjen DPP PAN Teguh Juwarno menegaskan bahwa FPAN akan mendukung sistem pemilu proporsional terbuka. “Yang kuat aspirasinya begitu,” kata Teguh.

Dengan sistem terbuka, terang dia, masyarakat dipersilakan memilih calon terbaik. Calon yang mendapat suara terbanyak, tak peduli di nomor urut berapa pun, dapat terpilih menjadi anggota DPR atau DPRD. Sebaliknya, dengan sistem tertutup, hanya caleg-caleg di nomor urut atas, misalnya 1 dan 2, yang berpotensi besar untuk lolos ke parlemen. “Dengan sistem terbuka, tidak ada istilah membeli kucing dalam karung,” ujar Teguh.
Meskipun sistem terbuka, Teguh menegaskan, parpol tetap punya tanggung jawab untuk melakukan kaderisasi secara efektif. Diharapkan kader yang dipasang parpol sebagai caleg bukan asal populer dan asal punya uang. Tapi, memang kader yang sudah mendapatkan pendidikan politik yang memadai. “Diharapkan ini meminimalkan kekecewan kita terhadap anggota legislatif,” katanya.

Sistem terbuka dengan suara terbanyak, lanjut Teguh, juga akan menghindarkan menguatnya praktik oligarki parpol. “Nanti yang jadi anggota DPR hanya saudara atau temannya. Tidak ada ruang atau kesempatan bagi kader-kader lain masuk ke gedung dewan,” ujar anggota Komisi IX DPR itu lantas tersenyum.

PAN sendiri punya alasan “pribadi” yang cukup kuat. Dalam AD/ART, secara eksplisit PAN mengedepankan model demokrasi dengan suara terbanyak. Kalau dipaksakan sistem pemilu tertutup, mau tidak mau, kata Teguh, PAN harus menggelar mekanisme pemilu internal terlebih dulu. Pemilu internal yang digelar di seluruh dapil ini untuk menentukan siapa yang menjadi caleg beserta nomor urutnya.
“Persoalannya, kami belum punya tradisi pemilu internal. Kami juga belum punya kesanggupan itu, terutama terkait pembiayaan,” kata Teguh.

Berpotensi Digugat ke MK

Sementara itu, RUU Pemilu yang terus memasuki tahap akhir pembahasan rawan digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satunya terkait ketentuan yang telah disepakati bahwa semua partai politik di parlemen otomatis menjadi peserta pemilu tanpa perlu mengikuti lagi proses verifikasi.

Ketua Umum Partai Damai Sejahtera (PDS) Denny Tewu menilai ketentuan itu diskriminatif. Ada pembedaan akses mengikuti pemilu antara parpol yang ada di parlemen dan di luar parlemen. “Jelas itu melanggar hak asasi partai peserta pemilu sebelumnya yang kebetulan tidak berhasil masuk di parlemen,” kata Denny di Jakarta kemarin (7/4).

Dia menilai, ketentuan yang sudah disepakati fraksi-fraksi di DPR dalam proses pembahasan di RUU Pemilu itu jauh dari sifat kenegarawanan. Yaitu, sebuah undang-undang sudah seharusnya memiliki orientasi kebangsaan. Bukan, kepentingan sempit yang menguntungkan kelompok tertentu dan merugikan partai-partai yang dianggap kecil.

Dia pun lantas mengaitkan molornya waktu penyelesaian revisi UU Pemilu dengan keberadaan ketentuan yang dianggap diskriminatif terhadap parpol nonparlemen tersebut. Dengan waktu pembahasan yang molor, persiapan menghadapi pemilu juga otomatis semakin mepet. “Strategi mereka (parpol parlemen, Red) untuk bertahan dengan cara menghilangkan partai-partai dianggap kecil (nonparlemen, Red),” tandas Denny.

Dia juga menyindir sikap fraksi-fraksi menengah ke bawah di parlemen yang ikut menyusun dan menyepakati ketentuan tersebut. “Seharusnya mereka menyadari, jangan merasa puas hanya karena telah diberikan permen,” ujarnya.
Secara terpisah, Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu Arwani Thomafi mengungkap, ketentuan tersebut memang telah menjadi salah satu keputusan politik fraksi-fraksi di tingkat panitia kerja (panja). Terkait dengan rencana sejumlah pihak menggugat ke MK, dia menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang biasa. “Seluruh RUU yang telah disepakati, terbuka kesempatan untuk diuji materi. Silakan saja,” kata politikus PPP tersebut.

Ketentuan bahwa semua parpol di parlemen langsung menjadi peserta pemilu tertuang dalam pasal 8 ayat (1) RUU Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Intinya, ayat itu mengatur, parpol peserta pemilu pada pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara nasional dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai parpol peserta pemilu.

Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu lainnya, Gede Pasek Suardika, menyatakan, ketentuan parpol di parlemen otomatis menjadi peserta pemilu sesungguhnya mengacu pada putusan MK atas uji materi UU Parpol. Di situ dinyatakan bahwa parpol berbadan hukum tak perlu mengikuti verifikasi badan hukum. “Ini bukan menyelamatkan parpol yang lolos ambang batas parlemen,” ujar Gede Pasek.

Pada awalnya, UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Parpol mengatur, semua parpol, baik yang berada di parlemen maupun di luar parlemen, serta parpol baru, harus mengikuti verifikasi badan hukum di Kementerian Hukum dan HAM. Namun, atas gugatan masyarakat, MK memutus hanya parpol baru yang harus mengikuti verifikasi badan hukum. Parpol yang sudah berbadan hukum tidak perlu lagi mengikuti verifikasi. (pri/dyn/c2/agm/jpnn)

Pertahankan Sistem Pemilu dalam RUU

JAKARTA – Ujung pertarungan pembahasan RUU Pemilu ternyata menggumpal pada isu sistem pemilu. Kompetisi sengit tengah terjadi antara dua kutub fraksi besar, yakni Partai Demokrat dan PDIP.
Bagi PDIP, sistem pemilu tertutup berbasis nomor urut menjadi harga mati. Partai Demokrat sendiri tetap ingin mempertahankan sistem pemilu berbasis suara terbanyak seperti Pemilu 2009. Bagi Partai Demokrat, pilihan itu juga tak dapat ditawar lagi.

“Opsinya sekarang apakah memilih ikut blok Partai Demokrat atau blok PDIP,” kata seorang petinggi partai yang enggan namanya dikorankan kepada Jawa Pos (Grup Sumut Pos) di Jakarta kemarin (7/4).
Dia menuturkan, sejak awal PDIP melontarkan tawaran yang menggiurkan kepada fraksi-fraksi menengah dan kecil. PDIP hanya meminta dukungan terhadap sistem tertutup.
Soal besaran parliamentary threshold, kuota kursi per dapil, atau mekanisme penghitungan kursi, PDIP sepenuhnya manut pada kehendak fraksi-fraksi menengah dan kecil.

Karena itu, kalangan partai menengah kecil sempat berancang-ancang ikut mendukung opsi sistem pemilu tertutup. Tapi, Demokrat yang sadar kalau kepepet juga tidak tinggal diam. Daripada kehilangan semuanya, Demokrat memilih berkonsentrasi pada isu sistem pemilu terbuka. Untuk materi lain, Demokrat akhirnya melunak. “Sekarang ini fraksi-fraksi menengah dan kecil menjadi bandul menentukan. Termasuk Hanura dan Gerindra,” kata tokoh yang partainya bergabung ke setgab koalisi itu.

Pada Kamis (5/4) lalu, tutur dia, ada pembicaraan formal antara fraksi-fraksi menengah dan kecil. Ada kecenderungan, ungkap dia, untuk bergabung ke blok Partai Demokrat. Artinya, mendukung sistem pemilu terbuka. “Fraksi-fraksi menengah kecil, sejauh ini, punya kesimpulan seperti itu,” ujarnya.

Menurut dia, dari enam fraksi menengah dan kecil di DPR, tinggal Fraksi PKS yang masih mau sistem tertutup. “PKS bisa ditinggal kalau bersikukuh,” kata sumber itu.
Sebelumnya, Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar Ibnu Munzir juga menyampaikan bahwa kemungkinan pengambilan keputusan melalui voting soal sistem pemilu dalam RUU Pemilu. Pilihannya adalah proporsional terbuka atau proporsional tertutup. “Golkar fleksibel saja,” kata Munzir.

Beberapa waktu lalu Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Marzuki Alie juga sudah mendorong titik temu parliamentary threshold (PT) pada angka 3,5 persen. Angka itu tampaknya bisa diterima kalangan fraksi menengah dan kecil.
Secara terpisah, Wasekjen DPP PAN Teguh Juwarno menegaskan bahwa FPAN akan mendukung sistem pemilu proporsional terbuka. “Yang kuat aspirasinya begitu,” kata Teguh.

Dengan sistem terbuka, terang dia, masyarakat dipersilakan memilih calon terbaik. Calon yang mendapat suara terbanyak, tak peduli di nomor urut berapa pun, dapat terpilih menjadi anggota DPR atau DPRD. Sebaliknya, dengan sistem tertutup, hanya caleg-caleg di nomor urut atas, misalnya 1 dan 2, yang berpotensi besar untuk lolos ke parlemen. “Dengan sistem terbuka, tidak ada istilah membeli kucing dalam karung,” ujar Teguh.
Meskipun sistem terbuka, Teguh menegaskan, parpol tetap punya tanggung jawab untuk melakukan kaderisasi secara efektif. Diharapkan kader yang dipasang parpol sebagai caleg bukan asal populer dan asal punya uang. Tapi, memang kader yang sudah mendapatkan pendidikan politik yang memadai. “Diharapkan ini meminimalkan kekecewan kita terhadap anggota legislatif,” katanya.

Sistem terbuka dengan suara terbanyak, lanjut Teguh, juga akan menghindarkan menguatnya praktik oligarki parpol. “Nanti yang jadi anggota DPR hanya saudara atau temannya. Tidak ada ruang atau kesempatan bagi kader-kader lain masuk ke gedung dewan,” ujar anggota Komisi IX DPR itu lantas tersenyum.

PAN sendiri punya alasan “pribadi” yang cukup kuat. Dalam AD/ART, secara eksplisit PAN mengedepankan model demokrasi dengan suara terbanyak. Kalau dipaksakan sistem pemilu tertutup, mau tidak mau, kata Teguh, PAN harus menggelar mekanisme pemilu internal terlebih dulu. Pemilu internal yang digelar di seluruh dapil ini untuk menentukan siapa yang menjadi caleg beserta nomor urutnya.
“Persoalannya, kami belum punya tradisi pemilu internal. Kami juga belum punya kesanggupan itu, terutama terkait pembiayaan,” kata Teguh.

Berpotensi Digugat ke MK

Sementara itu, RUU Pemilu yang terus memasuki tahap akhir pembahasan rawan digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satunya terkait ketentuan yang telah disepakati bahwa semua partai politik di parlemen otomatis menjadi peserta pemilu tanpa perlu mengikuti lagi proses verifikasi.

Ketua Umum Partai Damai Sejahtera (PDS) Denny Tewu menilai ketentuan itu diskriminatif. Ada pembedaan akses mengikuti pemilu antara parpol yang ada di parlemen dan di luar parlemen. “Jelas itu melanggar hak asasi partai peserta pemilu sebelumnya yang kebetulan tidak berhasil masuk di parlemen,” kata Denny di Jakarta kemarin (7/4).

Dia menilai, ketentuan yang sudah disepakati fraksi-fraksi di DPR dalam proses pembahasan di RUU Pemilu itu jauh dari sifat kenegarawanan. Yaitu, sebuah undang-undang sudah seharusnya memiliki orientasi kebangsaan. Bukan, kepentingan sempit yang menguntungkan kelompok tertentu dan merugikan partai-partai yang dianggap kecil.

Dia pun lantas mengaitkan molornya waktu penyelesaian revisi UU Pemilu dengan keberadaan ketentuan yang dianggap diskriminatif terhadap parpol nonparlemen tersebut. Dengan waktu pembahasan yang molor, persiapan menghadapi pemilu juga otomatis semakin mepet. “Strategi mereka (parpol parlemen, Red) untuk bertahan dengan cara menghilangkan partai-partai dianggap kecil (nonparlemen, Red),” tandas Denny.

Dia juga menyindir sikap fraksi-fraksi menengah ke bawah di parlemen yang ikut menyusun dan menyepakati ketentuan tersebut. “Seharusnya mereka menyadari, jangan merasa puas hanya karena telah diberikan permen,” ujarnya.
Secara terpisah, Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu Arwani Thomafi mengungkap, ketentuan tersebut memang telah menjadi salah satu keputusan politik fraksi-fraksi di tingkat panitia kerja (panja). Terkait dengan rencana sejumlah pihak menggugat ke MK, dia menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang biasa. “Seluruh RUU yang telah disepakati, terbuka kesempatan untuk diuji materi. Silakan saja,” kata politikus PPP tersebut.

Ketentuan bahwa semua parpol di parlemen langsung menjadi peserta pemilu tertuang dalam pasal 8 ayat (1) RUU Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Intinya, ayat itu mengatur, parpol peserta pemilu pada pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara nasional dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai parpol peserta pemilu.

Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu lainnya, Gede Pasek Suardika, menyatakan, ketentuan parpol di parlemen otomatis menjadi peserta pemilu sesungguhnya mengacu pada putusan MK atas uji materi UU Parpol. Di situ dinyatakan bahwa parpol berbadan hukum tak perlu mengikuti verifikasi badan hukum. “Ini bukan menyelamatkan parpol yang lolos ambang batas parlemen,” ujar Gede Pasek.

Pada awalnya, UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Parpol mengatur, semua parpol, baik yang berada di parlemen maupun di luar parlemen, serta parpol baru, harus mengikuti verifikasi badan hukum di Kementerian Hukum dan HAM. Namun, atas gugatan masyarakat, MK memutus hanya parpol baru yang harus mengikuti verifikasi badan hukum. Parpol yang sudah berbadan hukum tidak perlu lagi mengikuti verifikasi. (pri/dyn/c2/agm/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/