25 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Ada Tiga Menteri tak Sensitif Isu, Jam Terbangnya Rendah

Pratikno. Foto: dok/JPNN.com
Pratikno. Foto: dok/JPNN.com

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Perpres 39/2015 tentang kenaikan fasilitas down payment (DP) mobil pejabat telah dibatalkan, setelah sebelumnya mendapat sorotan publik.

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia (UI) Agus Pambagio mengatakan, dalam kasus lahirnya Perpres itu, beberapa menteri memang bertindak kurang pas. “Mereka tidak punya sensitifitas politik dan sosial,” ujarnya saat dihubungi kemarin (7/4).

Menurut Agus, tiga menteri yang dinilai paling bertanggung jawab dalam lahirnya Perpres DP mobil pejabat adalah Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno.

Ketiganya, lanjut dia, memang belum memiliki jam terbang tinggi sebagai pejabat di ring satu presiden. “Karena itu, isu sensitif diperlakukan seperti isu biasa-biasa saja,” katanya.

Agus menyebut, dari sisi prosedur standar, lahirnya Perpres DP mobil pejabat memang tidak salah. Alurnya dari Setkab ke Menkeu untuk meminta pertimbangan atas usulan DPR, lalu oleh Menkeu dikembalikan ke Setkab, kemudian diteruskan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Setneg.

Namun, kata Agus, untuk kebijakan yang menyangkut pemberian fasilitas kepada pejabat yang bisa dipastikan selalu memicu kontroversi publik, mestinya tiga orang menteri tersebut mengusulkannya agar masuk dalam agenda sidang kabinet (Sidkab) atau setidaknya rapat terbatas (Ratas).

Dengan begitu, presiden mendapat informasi secara komprehensif dan bisa memberi masukan sebelum Perpres ditandatangani. Sayangnya hal itu tidak dilakukan. “Akhirnya, presiden cuma disodori draft Perpres dalam map yang sudah banyak diparaf. Jadi, wajar jika presiden langsung tanda tangan,” ucapnya.

Menurut Agus, baik Menkeu Bambang Brodjonegoro, Seskab Andi Widjajanto, maupun Mensesneg Pratikno, memang tidak memiliki latar belakang sebagai politikus, sehingga sense of politics-nya kurang.

Kekurangan itulah yang harus segera ditutupi, terutama di pos Seskab dan Mensesneg sebagai filter utama setiap kebijakan sebelum sampai di meja presiden.

Karena itu, Seskab Andi Widjajanto dan Mensesneg Pratikno harus cepat belajar agar kejadian serupa tidak terulang. Menurut Agus, pencabutan Perpres memang pernah juga dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kasus pemberian fasilitas kesehatan untuk pejabat.

Namun, jika kejadian serupa terulang lagi, maka kepercayaan publik pada kredibilitas lembaga kepresidenan bisa merosot. “Sebaiknya Seskab dan Mensesneg harus cepat berbenah. Jika tidak, desakan-desakan reshuffle akan makin kencang dan mengganggu stabilitas politik,” ujarnya.  (owi/bay)

Pratikno. Foto: dok/JPNN.com
Pratikno. Foto: dok/JPNN.com

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Perpres 39/2015 tentang kenaikan fasilitas down payment (DP) mobil pejabat telah dibatalkan, setelah sebelumnya mendapat sorotan publik.

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia (UI) Agus Pambagio mengatakan, dalam kasus lahirnya Perpres itu, beberapa menteri memang bertindak kurang pas. “Mereka tidak punya sensitifitas politik dan sosial,” ujarnya saat dihubungi kemarin (7/4).

Menurut Agus, tiga menteri yang dinilai paling bertanggung jawab dalam lahirnya Perpres DP mobil pejabat adalah Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno.

Ketiganya, lanjut dia, memang belum memiliki jam terbang tinggi sebagai pejabat di ring satu presiden. “Karena itu, isu sensitif diperlakukan seperti isu biasa-biasa saja,” katanya.

Agus menyebut, dari sisi prosedur standar, lahirnya Perpres DP mobil pejabat memang tidak salah. Alurnya dari Setkab ke Menkeu untuk meminta pertimbangan atas usulan DPR, lalu oleh Menkeu dikembalikan ke Setkab, kemudian diteruskan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Setneg.

Namun, kata Agus, untuk kebijakan yang menyangkut pemberian fasilitas kepada pejabat yang bisa dipastikan selalu memicu kontroversi publik, mestinya tiga orang menteri tersebut mengusulkannya agar masuk dalam agenda sidang kabinet (Sidkab) atau setidaknya rapat terbatas (Ratas).

Dengan begitu, presiden mendapat informasi secara komprehensif dan bisa memberi masukan sebelum Perpres ditandatangani. Sayangnya hal itu tidak dilakukan. “Akhirnya, presiden cuma disodori draft Perpres dalam map yang sudah banyak diparaf. Jadi, wajar jika presiden langsung tanda tangan,” ucapnya.

Menurut Agus, baik Menkeu Bambang Brodjonegoro, Seskab Andi Widjajanto, maupun Mensesneg Pratikno, memang tidak memiliki latar belakang sebagai politikus, sehingga sense of politics-nya kurang.

Kekurangan itulah yang harus segera ditutupi, terutama di pos Seskab dan Mensesneg sebagai filter utama setiap kebijakan sebelum sampai di meja presiden.

Karena itu, Seskab Andi Widjajanto dan Mensesneg Pratikno harus cepat belajar agar kejadian serupa tidak terulang. Menurut Agus, pencabutan Perpres memang pernah juga dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kasus pemberian fasilitas kesehatan untuk pejabat.

Namun, jika kejadian serupa terulang lagi, maka kepercayaan publik pada kredibilitas lembaga kepresidenan bisa merosot. “Sebaiknya Seskab dan Mensesneg harus cepat berbenah. Jika tidak, desakan-desakan reshuffle akan makin kencang dan mengganggu stabilitas politik,” ujarnya.  (owi/bay)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/