30.1 C
Medan
Tuesday, June 25, 2024

Jokowi Unggul 20 Persen atas Prabowo

.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Hasil survei terbaru Indikator Politik Indonesia mengungkapkan elektabilitas pasangan capres-cawapres dalam Pemilihan Presiden 2019, Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Berdasarkan survei Indikator, elektabilias Jokowi-Ma’ruf 54,9 persen, sementara Prabowo-Sandiaga 34,8 persen. Sementara, Jokowi unggul 20 persen.

“Simulasi dua pasangan nama, Jokowi-Ma’ruf Amin 54,9 persen dan Prabowo-Sandiaga Uno 34,8 persen,” kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, saat merilis hasil survei di Jakarta, Selasa (8/1/2019).

Sisanya, sebesar 9,2 persen responden belum menentukan pilihan dan 1,1 persen memilih untuk tidak akan memilih di antara keduanya atau golongan putih (golput). Burhanuddin menekankan, elektabilitas kedua pasangan capres-cawapres masih bisa berubah, mengingat pilpres masih sekitar tiga bulan lagi.

Ia menyebutkan, elektabilitas Jokowi dan Prabowo mengalami sedikit peningkatan jika dibandingkan survei pada Oktober 2018. Adapun, pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters) cenderung menurun. “Kurang lebih pertarungan masih tiga bulan. Selisih 20 persen belum aman buat pasangan Jokowi-Ma’ruf,” kata Burhanuddin.

Survei Indikator dilakukan pada 6-16 Desember 2018 dan melibatkan 1.220 responden dengan multistage random sampling di seluruh Indonesia. Metode survei yang digunakan yakni dengan wawancara tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Adapun margin of error rata-rata sebesar plus minus 2,9 persen dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen.

Pertahankan Gaya Kampanye

Merespon hasil elektabilitas pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Ma’ruf Amin unggul atas kompetitornya, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dengan selisih sekitar 20 persen, Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Hasto Kristiyanto, menyampaikan pihaknya tambah percaya dan semakin militan untuk memenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf.

Dengan keunggulan Jokowi-Ma’ruf, Hasto mengungkapkan pihaknya akan mempertahankan gaya kampanye yang ada. Kubu Jokowi-Ma’ruf menyatakan akan lebih memperkuat narasi positif dalam kampanyenya.

“Kembali memperteguh strategi komunikasi politik yang disampaikan oleh pak Jokowi dan kiai Ma’ruf Amin, bahwa kami berbincang hal-hal yang positif-positif saja,” kata Hasto di di Kantor Indikator Politik Indonesia, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (8/1/2019).

Hasto mengatakan, meskipun hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan pasangan Jokowi-Ma’ruf unggul dari Prabowo-Sandiaga, pihaknya akan tetap merangkul semua pihak dan bekerja untuk tidak menggunakan hoaks sebagai materi kampanye. Hasto menegaskan, hoaks membawa ancaman yang lebih besar.

Menurut Hasto, hoaks harus dilawan dengan strategi kebudayaan yang khas dengan kepribadian bangsa Indonesia. “Ketika hoaks itu dilakukan harus ada sebuah antitesa yang betul-betul dilaksanakan berdasarkan kepada kepribadian kita sebagai bangsa yang toleran, cinta damai,” tutur Hasto.

Lalu, kata Hasto, dirinya mengajak semua pihak untuk menghadirkan Pemilu 2019 dengan aman dan damai. Ia mengatakan, dengan hasil survei Indikator itu menjadi pijakan dan pengingat bahwa Pemilu 2019 adalah kontestasi ide, program, dan gagasan untuk memajukan masyatakat Indonesia.

“Hasil survei ini (indikator) kita jadikan sebagai sebuah pijakan, bahwa pilpres pileg adalah kontestasi gagasan, adu program, rekam jejak dan ini merupakan investasi politik yang kita lakukan selama bertahun-tahun,” tutur Hasto.

Hasto menambahkan, pemilih telah cerdas sehingga harus cermat dalam menerima berita atau informasi. “Pemilih cerdas, mereka berpikir mereka bukan sekadar menelan hoaks mentah-mentah dan kemudian memberikan dukungan tanpa melakukan sebuah crosscheck,” kata Hasto.

Hidup di Dua Dunia Berbeda

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi mengatakan, partisan politik memiliki cara pandang tersendiri dalam menyerap informasi tentang kubu yang didukungnya. Mereka akan mencari pembenaran sendiri terhadap informasi yang masuk, bahkan fakta pun bisa dianggap hoax oleh mereka, begitu juga sebaliknya.

Hal itu dikatakan Burhanuddin sesuai dengan hasil survei terbaru lembaganya yang diberi tema ‘Media Sosial, Hoaks, dan Sikap Partisan Dalam Pilpres 2019’.

“Sikap partisan membentuk sikap pemilh terhadap informasi. Bukan sebaliknya. Mereka punya pilihan dulu baru selektif memilih informasi yang sesuai keingingannya atau tidak,” ujar Burhanuddin di kantor Indikator Jalan Cikini V Jakarta Pusat, Selasa (8/1).

Burhanudin mencontohkan, adanya isu orang tua Presiden Joko Widodo (Jokowi) beragama kristen bagi basis pendukungnya hanya 6 persen yang percaya isu tersebut. Sedangkan 84 persen tidak percaya.

Namun, bagi pendukung Prabowo Subianto mencapai 30 persen yang percaya isu tersebut benar, dan yang tidak mempercayainya 39 persen. Sedangkan 10 persen pendukung Jokowi dan 31 persen pendukung Prabowo memilih tidak menjawab.

Begitu pula dengan isu Jokowi keturunan Tionghoa. Di basis pendukungnya hanya 7 persen yang mempercayai itu, sedangkan 82 persennya percaya itu hanya hoax. Sementara sebanyak 11 persen memilih tidak menjawab.

Tapi, 39 persen pendukung Prabowo percaya jika Jokowi keturunan Tionghoa, sedangkan yang tidak percaya 35 persen. Dan 26 persen lainnya tidak menjawab.

Pun demikian ketika Prabowo dihadapkan dengan isu pelanggaran HAM berat pada 1998. Basis pendukungnya hanya 21 persen yang percaya dengan kabar itu. Sedangkan 63 persen tidak percaya, dan 17 persen tidak menjawab.

Berbanding terbalik dengan pendukung Jokowi. Sebanyak 65 persen dari mereka percaya bahwa Prabowo terlibat penculikan 1998. Hanya 16 persen dari mereka yang tidak percaya dan 19 persen lainnya tidak menjawab.

Dari data tersebut, Burhanuddin menggarisbawahi bahwa pendukung dua kubu ini akan selalu mencari pembenaran terhadap isu yang diarahkan kepada kubu yang didukungnya. Informasi yang masuk akan diserap sesuai idealisme mereka dengan identitas kelompoknya.

“Kesimpulannya, pendukung Jokowi dan Prabowo hidup di dua dunia yang berbeda,” pungkasnya.

Sebagai informasi, survei Indikator dilakukan pada rentang waktu 16-26 Desember 2018. Menggunakan metode multistage random sampling, melibatkan 1.220 responden pada tingkat kepercayaan 95 persen. Sedangkan margin of error pada angka 2,9 persen.

20 Persen Pemilih Berpeluang Golput

Sementara itu, survei terbaru Indikator Politik Indonesia mengungkapkan, angka golput di Pilpres 2019 mengalami kenaikan. Jika survei sebelumnya sekitar 0,9 persen kali ini naik menjadi 1,1 persen.

Namun, Direktur Eksekutif Indikator, Burhanuddin Muhtadi meyakini, angka golput masih jauh akan lebih besar dari 1,1 persen. Perkiraannya akan di kisaran 20 persen. “Potensinya minimal ya 20-an persen pemilih golput. Minimal kalau berkaca dari pengalaman sebelumnya, ada pemilih Jokowi dan Prabowo yang tingkat loyalitas militansinya lemah,” ujar Burhanuddin di kantor Indikator Jalan Cikini V Jakarta Pusat, Selasa (8/1).

Prediksi 20 persen pemilih akan golput berdasarkan masih banyak pemilih yang tingkat loyalitasnya rendah. Baik dari kubu Jokowi maupun Prabowo. Sehingga menjadikan swing voters pada survei kali ini didapati mencapai 25 persen.

Korelasi antara swing voters dengan pemilih golput sendiri karena kecenderungan masyarakat menjawab sesuatu yang berkonotasi jelek seperti golput, sehingga hanya 1,1 persen responden yang berani dengan tegas bahwa mereka tidak akan memilih pada Pilpres 2019.

“Pemilih itu cenderung tidak mau menjawab sesuatu yang secara normatif dianggap kurang baik,” jelas Burhanuddin.

Golput sendiri termasuk keputusan yang tergolong tidak baik. Bahkan di era orde baru orang yang golput dianggap sebagai warga negara yang tidak baik. Doktrin itulah yang masih melekat di benak sebagian masyarakat Indonesia.

Oleh sebab itu, 25 persen swing voters ini diyakini Burhanuddin sebagian besarnya akan golput. Karena kelompok ini menganggap Pemilu tidak terlalu berdampak pada kehidupannya.

“Bisa jadi lebih memilih untuk jalan-jalan ke luar kota daripada menghabiskan waktu datang ke TPS. Atau mereka yang undecided bisa saja tidak mau mencoblos karena merasa pemilu tidak terlalu punya dampak ke kehidupannya,” pungkas Burhanuddin.

Sebagai informasi, survei Indikator dilakukan pada rentang waktu 16-26 Desember 2018. Menggunakan metode multistage random sampling, melibatkan 1220 responden pada tingkat kepercayaan 95 persen. Sedangkan margin of error pada angka 2,9 persen. (jpg/kps/net)

.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Hasil survei terbaru Indikator Politik Indonesia mengungkapkan elektabilitas pasangan capres-cawapres dalam Pemilihan Presiden 2019, Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Berdasarkan survei Indikator, elektabilias Jokowi-Ma’ruf 54,9 persen, sementara Prabowo-Sandiaga 34,8 persen. Sementara, Jokowi unggul 20 persen.

“Simulasi dua pasangan nama, Jokowi-Ma’ruf Amin 54,9 persen dan Prabowo-Sandiaga Uno 34,8 persen,” kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, saat merilis hasil survei di Jakarta, Selasa (8/1/2019).

Sisanya, sebesar 9,2 persen responden belum menentukan pilihan dan 1,1 persen memilih untuk tidak akan memilih di antara keduanya atau golongan putih (golput). Burhanuddin menekankan, elektabilitas kedua pasangan capres-cawapres masih bisa berubah, mengingat pilpres masih sekitar tiga bulan lagi.

Ia menyebutkan, elektabilitas Jokowi dan Prabowo mengalami sedikit peningkatan jika dibandingkan survei pada Oktober 2018. Adapun, pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters) cenderung menurun. “Kurang lebih pertarungan masih tiga bulan. Selisih 20 persen belum aman buat pasangan Jokowi-Ma’ruf,” kata Burhanuddin.

Survei Indikator dilakukan pada 6-16 Desember 2018 dan melibatkan 1.220 responden dengan multistage random sampling di seluruh Indonesia. Metode survei yang digunakan yakni dengan wawancara tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Adapun margin of error rata-rata sebesar plus minus 2,9 persen dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen.

Pertahankan Gaya Kampanye

Merespon hasil elektabilitas pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Ma’ruf Amin unggul atas kompetitornya, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dengan selisih sekitar 20 persen, Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Hasto Kristiyanto, menyampaikan pihaknya tambah percaya dan semakin militan untuk memenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf.

Dengan keunggulan Jokowi-Ma’ruf, Hasto mengungkapkan pihaknya akan mempertahankan gaya kampanye yang ada. Kubu Jokowi-Ma’ruf menyatakan akan lebih memperkuat narasi positif dalam kampanyenya.

“Kembali memperteguh strategi komunikasi politik yang disampaikan oleh pak Jokowi dan kiai Ma’ruf Amin, bahwa kami berbincang hal-hal yang positif-positif saja,” kata Hasto di di Kantor Indikator Politik Indonesia, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (8/1/2019).

Hasto mengatakan, meskipun hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan pasangan Jokowi-Ma’ruf unggul dari Prabowo-Sandiaga, pihaknya akan tetap merangkul semua pihak dan bekerja untuk tidak menggunakan hoaks sebagai materi kampanye. Hasto menegaskan, hoaks membawa ancaman yang lebih besar.

Menurut Hasto, hoaks harus dilawan dengan strategi kebudayaan yang khas dengan kepribadian bangsa Indonesia. “Ketika hoaks itu dilakukan harus ada sebuah antitesa yang betul-betul dilaksanakan berdasarkan kepada kepribadian kita sebagai bangsa yang toleran, cinta damai,” tutur Hasto.

Lalu, kata Hasto, dirinya mengajak semua pihak untuk menghadirkan Pemilu 2019 dengan aman dan damai. Ia mengatakan, dengan hasil survei Indikator itu menjadi pijakan dan pengingat bahwa Pemilu 2019 adalah kontestasi ide, program, dan gagasan untuk memajukan masyatakat Indonesia.

“Hasil survei ini (indikator) kita jadikan sebagai sebuah pijakan, bahwa pilpres pileg adalah kontestasi gagasan, adu program, rekam jejak dan ini merupakan investasi politik yang kita lakukan selama bertahun-tahun,” tutur Hasto.

Hasto menambahkan, pemilih telah cerdas sehingga harus cermat dalam menerima berita atau informasi. “Pemilih cerdas, mereka berpikir mereka bukan sekadar menelan hoaks mentah-mentah dan kemudian memberikan dukungan tanpa melakukan sebuah crosscheck,” kata Hasto.

Hidup di Dua Dunia Berbeda

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi mengatakan, partisan politik memiliki cara pandang tersendiri dalam menyerap informasi tentang kubu yang didukungnya. Mereka akan mencari pembenaran sendiri terhadap informasi yang masuk, bahkan fakta pun bisa dianggap hoax oleh mereka, begitu juga sebaliknya.

Hal itu dikatakan Burhanuddin sesuai dengan hasil survei terbaru lembaganya yang diberi tema ‘Media Sosial, Hoaks, dan Sikap Partisan Dalam Pilpres 2019’.

“Sikap partisan membentuk sikap pemilh terhadap informasi. Bukan sebaliknya. Mereka punya pilihan dulu baru selektif memilih informasi yang sesuai keingingannya atau tidak,” ujar Burhanuddin di kantor Indikator Jalan Cikini V Jakarta Pusat, Selasa (8/1).

Burhanudin mencontohkan, adanya isu orang tua Presiden Joko Widodo (Jokowi) beragama kristen bagi basis pendukungnya hanya 6 persen yang percaya isu tersebut. Sedangkan 84 persen tidak percaya.

Namun, bagi pendukung Prabowo Subianto mencapai 30 persen yang percaya isu tersebut benar, dan yang tidak mempercayainya 39 persen. Sedangkan 10 persen pendukung Jokowi dan 31 persen pendukung Prabowo memilih tidak menjawab.

Begitu pula dengan isu Jokowi keturunan Tionghoa. Di basis pendukungnya hanya 7 persen yang mempercayai itu, sedangkan 82 persennya percaya itu hanya hoax. Sementara sebanyak 11 persen memilih tidak menjawab.

Tapi, 39 persen pendukung Prabowo percaya jika Jokowi keturunan Tionghoa, sedangkan yang tidak percaya 35 persen. Dan 26 persen lainnya tidak menjawab.

Pun demikian ketika Prabowo dihadapkan dengan isu pelanggaran HAM berat pada 1998. Basis pendukungnya hanya 21 persen yang percaya dengan kabar itu. Sedangkan 63 persen tidak percaya, dan 17 persen tidak menjawab.

Berbanding terbalik dengan pendukung Jokowi. Sebanyak 65 persen dari mereka percaya bahwa Prabowo terlibat penculikan 1998. Hanya 16 persen dari mereka yang tidak percaya dan 19 persen lainnya tidak menjawab.

Dari data tersebut, Burhanuddin menggarisbawahi bahwa pendukung dua kubu ini akan selalu mencari pembenaran terhadap isu yang diarahkan kepada kubu yang didukungnya. Informasi yang masuk akan diserap sesuai idealisme mereka dengan identitas kelompoknya.

“Kesimpulannya, pendukung Jokowi dan Prabowo hidup di dua dunia yang berbeda,” pungkasnya.

Sebagai informasi, survei Indikator dilakukan pada rentang waktu 16-26 Desember 2018. Menggunakan metode multistage random sampling, melibatkan 1.220 responden pada tingkat kepercayaan 95 persen. Sedangkan margin of error pada angka 2,9 persen.

20 Persen Pemilih Berpeluang Golput

Sementara itu, survei terbaru Indikator Politik Indonesia mengungkapkan, angka golput di Pilpres 2019 mengalami kenaikan. Jika survei sebelumnya sekitar 0,9 persen kali ini naik menjadi 1,1 persen.

Namun, Direktur Eksekutif Indikator, Burhanuddin Muhtadi meyakini, angka golput masih jauh akan lebih besar dari 1,1 persen. Perkiraannya akan di kisaran 20 persen. “Potensinya minimal ya 20-an persen pemilih golput. Minimal kalau berkaca dari pengalaman sebelumnya, ada pemilih Jokowi dan Prabowo yang tingkat loyalitas militansinya lemah,” ujar Burhanuddin di kantor Indikator Jalan Cikini V Jakarta Pusat, Selasa (8/1).

Prediksi 20 persen pemilih akan golput berdasarkan masih banyak pemilih yang tingkat loyalitasnya rendah. Baik dari kubu Jokowi maupun Prabowo. Sehingga menjadikan swing voters pada survei kali ini didapati mencapai 25 persen.

Korelasi antara swing voters dengan pemilih golput sendiri karena kecenderungan masyarakat menjawab sesuatu yang berkonotasi jelek seperti golput, sehingga hanya 1,1 persen responden yang berani dengan tegas bahwa mereka tidak akan memilih pada Pilpres 2019.

“Pemilih itu cenderung tidak mau menjawab sesuatu yang secara normatif dianggap kurang baik,” jelas Burhanuddin.

Golput sendiri termasuk keputusan yang tergolong tidak baik. Bahkan di era orde baru orang yang golput dianggap sebagai warga negara yang tidak baik. Doktrin itulah yang masih melekat di benak sebagian masyarakat Indonesia.

Oleh sebab itu, 25 persen swing voters ini diyakini Burhanuddin sebagian besarnya akan golput. Karena kelompok ini menganggap Pemilu tidak terlalu berdampak pada kehidupannya.

“Bisa jadi lebih memilih untuk jalan-jalan ke luar kota daripada menghabiskan waktu datang ke TPS. Atau mereka yang undecided bisa saja tidak mau mencoblos karena merasa pemilu tidak terlalu punya dampak ke kehidupannya,” pungkas Burhanuddin.

Sebagai informasi, survei Indikator dilakukan pada rentang waktu 16-26 Desember 2018. Menggunakan metode multistage random sampling, melibatkan 1220 responden pada tingkat kepercayaan 95 persen. Sedangkan margin of error pada angka 2,9 persen. (jpg/kps/net)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/