25 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Rp1 Juta untuk Tidur di Moncong Merlion

Ikan Kepala Singa yang Sedang Jadi Hotel mewah Satu Kamar

Salah satu kepiawaian Singapura memang jualan. Patung Merlion di Merlion Park, dekat Marina Bay, misalnya. Si singa berbadan ikan itu sedang dialihfungsikan sebagai hotel luks. Berikut laporan wartawan Jawa Pos (grup Sumut Pos) DOAN WIDHIANDONO yang baru berkunjung dari sana.

WAJAH Merlion tak tampak Selasa (3/5) siang itu. Separo atas patung yang terletak di dekat Esplanade, gedung seni dengan atap berkontur kulit durian tersebut, sedang ditutup papan-papan. Warnanya oranye.
Badan yang berbentuk ikan masih tampak. Tapi, tubuh itu dikelilingi rangka-rangka besi yang begitu rapat. Persis seperti orang merenovasi bangunan. Kesannya, Merlion sedang dipercantik. Mungkin diperbaiki, dicat, atau dibersihkan.

Meski begitu, antrean di sekitar buntut Merlion tetap begitu panjang. Orang berbaris satu per satu, membentuk ular dengan tiga kelokan, untuk kemudian “lenyap” beberapa saat di kotak oranye yang sedang menutupi kepala Merlion tersebut.

Memang, Merlion sedang tak tampil dalam wujud biasanya: singa jantan berbadan ikan yang sedang meludah, eh menyemburkan air. Ia sedang didandani Tatzu Nishi, seniman yang lahir di Nagoya pada 1960 dan kini menetap di Berlin serta Tokyo. Selama sekitar sebulan, 13 April-15 Mei, patung merlion itu menjadi The Merlion Hotel, penginapan sangat mewah dengan hanya satu kamar.

Nizhi adalah salah satu di antara 63 seniman dari 30 negara peserta Singapore Biennale 2011. Para artis itu memamerkan 161 karya yang tersebar di empat venue. Yakni, Singapore Art Museum, The National Museum of Singapore, Old Kallang Airport, dan Marina Bay. Nah, karya yang dipajang di Marina Bay ya The Merlion Hotel tersebut. Ia adalah karya seni berbentuk kamar hotel atau hotel yang sejatinya adalah karya seni. Sama saja.

Dalam penjelasan yang dirilis Singapore Biennale, Nizhi disebut menawarkan persepsi berbeda tentang monumen Merlion, tetenger Singapura yang dibangun pada 1972 tersebut. Nishi meruntuhkan persepsi orang tentang ruang awam dan ruang pribadi. Caranya, dia mengawinkan Merlion, monumen yang kondang sebagai ruang publik itu, dengan ranah yang begitu intim dan personal. Yakni, kamar hotel.

The Merlion Hotel pun bukan sekadar benda seni. Ia hadir benar-benar sebagai hotel yang bisa di-booking dan diinapi. Jatahnya, hanya satu penyewa tiap malam, mulai pukul 19.00 dan check-out keesokan paginya sebelum pukul 10.00. Ongkosnya SGD 150 atau sekitar Rp 1,045 juta. Cukup murah untuk menikmati kemewahan kamar hotel di sebuah lokasi strategis di Singapura.

Kemewahan hotel itu pun bisa dirasakan pengunjung secara gratis, tiap hari mulai pukul 10.00 hingga 19.00. Saat itulah orang-orang antre panjang demi masuk sejenak ke hotel satu kamar tersebut.
Para pengunjung pagi – yang gratisan- akan diberi koin plastik, mirip biji permainan karambol, saat mengantre. Warnanya hijau atau kuning. “Maaf, ini untuk apa?” tanya Jawa Pos kepada salah seorang petugas pameran yang bertugas mengatur antrean.

Nancy, petugas berparas manis itu, menjelaskan bahwa koin plastik tersebut adalah nomor antrean dan sebagai tanda masuk hotel. Aneh, memang. Sebab, koin itu polos. Tak ada nomor, tak ada huruf. Juga tidak ada nominal dolar penanda pembayaran. “Ya memang. Kan masuknya gratis. Jadi, ini pura-puranya uang masuk hotel,” ujar Nancy lalu tersenyum.

Karena yang dimasuki adalah hotel, pengunjung terikat sejumlah aturan. Itu sudah dijelaskan saat pengunjung mulai berbaris masuk hotel. Jadi, setiap beberapa langkah, ada petugas pameran yang terus-menerus menyuarakan aturan tersebut. Yakni, jumlah pengunjung yang masuk dibatasi, tidak boleh mengotori hotel, tidak boleh memindah barang, tidak boleh menggunakan kamar mandi, tidak boleh keluar ke balkon. Sampai di sini, masih belum terbayang bahwa moncong Merlion itu bisa menjadi hotel yang fasilitasnya begitu lengkap.

Di ujung antrean, ada dua petugas lagi. Semua masih muda, berusia anak kuliahan. Satu orang bertugas mengambil uang-uangan, seorang lagi mengatur jumlah pengunjung, yakni sekitar 10″15 orang sekali masuk. Bersama wartawan koran ini, siang itu ada 12 pengunjung lain.

Aturan pertama sudah dirasakan di kepala antrean itu. Yakni, pengunjung harus melepas alas kaki. Tak ada tempat untuk menaruh sepatu atau sandal. Semua diletakkan sendiri di trotoar di tepi muara Sungai Singapura (Singapore River) tersebut. Setelah itu, berjalan berjingkat-jingkat menuju tangga besi untuk masuk hotel. Jalan berjingkat itu bukan peraturan. Tapi, kalau siang, paving stone trotoar di pinggir jalan tersebut begitu panas.

Setelah tangga besi “yang juga panas kalau siang”, pengunjung akan langsung disambut meja resepsionis. Ada dua orang yang bertugas menerima tamu untuk malam. Persis hotel betulan. Kalau siang, mereka hanya mempersilakan pengunjung langsung masuk kamar.

Di dalam kamar itulah aroma kemewahan langsung menyambut. Kamar tersebut berukuran sekitar 5 x 5 meter persegi. Temboknya bernuansa cokelat dengan kertas dinding bermotif ikon-ikon Singapura. Mulai Singapore Flyer alias wahana kincir setinggi 165 meter (tertinggi di dunia), patung Sir Thomas Stamford Raffles, hingga gambar Merlion itu. Langit-langit hotel tersebut putih bersih dengan lampu temaram mengelilingi sudutnya. Lantainya praquet kayu yang menguatkan kesan klasik dan mewah. Di tengah-tengah ada karpet merah sebagai alas tempat tidur king sized.

Tapi, titik perhatian utama di ruang tersebut adalah si kepala singa yang menyembul di tengah-tengah lantai, tepat di atas bagian kepala tempat tidur. Kepala singa itu sundul langit-langit. Singa tersebut menganga dan menatap tajam ke arah laut. Di dalam mulutnya ada kepala saluran air. Di situlah biasanya air mengucur terus-menerus.

Biasanya, orang memang tak bisa sedekat ini dengan kepala Merlion setinggi 8,6 meter tersebut. Mereka hanya bisa melihat dari jauh atau mendekat ke tubuhnya sebagai latar belakang foto. Jarang sampai bisa melihat detail kepala, mengamati matanya, hingga mendekat ke gigiginya.

Di seberang pintu masuk, tepat di depan wajah singa, ada jendela kaca yang bisa dibuka. Di luar adalah balkon berlantai kayu dengan pagar besi. Pemandangan dari balkon cukup spektakuler. Khas Singapura. Yakni, Singapore Flyer, tribun penonton Grand Prix F1 Singapura, gedung Esplanade, serta Marina Bay Sands “hotel dan kasino yang berdiri menantang langit dengan tiga tower kembar itu.

Kamar mandi hotel pun cukup mewah. Nuansanya putih. Bagian dinding yang menghadap laut adalah kaca. Karena itu, kalau dibuka, orang seolah-olah mandi di ketinggian, berbatasan langsung dengan laut.
Di seberangnya juga masih tampak Marina Bay Sands, hotel mewah yang ongkos menginapnya empat hingga delapan kali lipat The Merlion Hotel yang hanya satu kamar itu. Bolehlah kalau para tamu mandi sambil membayangkan menginap di Marina Bay Sands. Seperti makan nasi-kerupuk di sebelah orang jual sate.

Sebagai sebuah penginapan, The Merlion Hotel memang harus lengkap. Selain balkon dan kamar mandi itu, tamu juga mendapat fasilitas standar berupa perangkat mandi dan coffee-maker plus dua botol air mineral. Semua pakai logo The Fullerton, hotel bintang lima di seberang jalan. Logo dan nama The Fullerton juga ada di dua pasang sandal putih untuk para tamu hotel.

Selain sebagai ekspresi seni, pengubahan patung Merlion sebagai hotel itu sejatinya menggugah kembali potensi monumen tersebut sebagai wahana wisata Singapura. Sebab, Merlion itu mulai terengah-engah mengejar tempat wisata lain yang tampil jauh lebih elok. Sebut saja Universal Studio Singapura di Pulau Sentosa yang hampir selalu full. Di kawasan Marina Bay, patung Merlion “bersaing” dengan Singapore Flyer dan Marina Bay Sands.

Memang sulit mengukur berapa pengunjung yang datang di monumen Merlion itu. “Tak ada data pasti. Tapi, rasanya turis hanya mampir sekejap di sini. Satu”dua jepretan, langsung pergi,” kata Koh Leuw, seorang penjaga pameran. Pendapat itu pun pribadi, bukan berdasar data resmi.

Memang, para turis masih tetap menjadikan patung Merlion di kawasan Marina Bay itu sebagai “lokasi wajib” yang harus disambangi ketika di Singapura. Selain di situ, ada empat lainnya yang dinyatakan sebagai patung Merlion resmi oleh pemerintah Singapura. Di Marina Bay ada dua. Satu yang sedang jadi hotel, satu lagi kembaran kecilnya (setinggi 2 meter) yang berada di belakangnya.

Yang paling jangkung adalah Merlion setinggi 37 meter di Pulau Sentosa. Selain itu, ada dua Merlion lagi “masing-masing setinggi 3 meter” di kawasan Grange Road dan Mount Faber.

Di luar Singapura, kembaran Merlion ada di Merlion Restaurant di Cupertino, California, Amerika Serikat. Di negeri kita, Merlion “persis yang di Singapura” berada di kawasan perumahan CitraLand, Surabaya, Jawa Timur.

Kalau berminat menginap di bawah mulut singa, silakan datang ke Singapura. Harus cepat karena, kata petugas pameran, yang mengantre untuk tidur sangat banyak. Hotel tak pernah kosong satu malam pun. Kalaupun menginap di The Merlion Hotel, tak perlu khawatir singa itu tiba-tiba menyemprotkan air ketika para tamu sedang tidur di bawah moncongnya. (*/c5/ttg)

Ikan Kepala Singa yang Sedang Jadi Hotel mewah Satu Kamar

Salah satu kepiawaian Singapura memang jualan. Patung Merlion di Merlion Park, dekat Marina Bay, misalnya. Si singa berbadan ikan itu sedang dialihfungsikan sebagai hotel luks. Berikut laporan wartawan Jawa Pos (grup Sumut Pos) DOAN WIDHIANDONO yang baru berkunjung dari sana.

WAJAH Merlion tak tampak Selasa (3/5) siang itu. Separo atas patung yang terletak di dekat Esplanade, gedung seni dengan atap berkontur kulit durian tersebut, sedang ditutup papan-papan. Warnanya oranye.
Badan yang berbentuk ikan masih tampak. Tapi, tubuh itu dikelilingi rangka-rangka besi yang begitu rapat. Persis seperti orang merenovasi bangunan. Kesannya, Merlion sedang dipercantik. Mungkin diperbaiki, dicat, atau dibersihkan.

Meski begitu, antrean di sekitar buntut Merlion tetap begitu panjang. Orang berbaris satu per satu, membentuk ular dengan tiga kelokan, untuk kemudian “lenyap” beberapa saat di kotak oranye yang sedang menutupi kepala Merlion tersebut.

Memang, Merlion sedang tak tampil dalam wujud biasanya: singa jantan berbadan ikan yang sedang meludah, eh menyemburkan air. Ia sedang didandani Tatzu Nishi, seniman yang lahir di Nagoya pada 1960 dan kini menetap di Berlin serta Tokyo. Selama sekitar sebulan, 13 April-15 Mei, patung merlion itu menjadi The Merlion Hotel, penginapan sangat mewah dengan hanya satu kamar.

Nizhi adalah salah satu di antara 63 seniman dari 30 negara peserta Singapore Biennale 2011. Para artis itu memamerkan 161 karya yang tersebar di empat venue. Yakni, Singapore Art Museum, The National Museum of Singapore, Old Kallang Airport, dan Marina Bay. Nah, karya yang dipajang di Marina Bay ya The Merlion Hotel tersebut. Ia adalah karya seni berbentuk kamar hotel atau hotel yang sejatinya adalah karya seni. Sama saja.

Dalam penjelasan yang dirilis Singapore Biennale, Nizhi disebut menawarkan persepsi berbeda tentang monumen Merlion, tetenger Singapura yang dibangun pada 1972 tersebut. Nishi meruntuhkan persepsi orang tentang ruang awam dan ruang pribadi. Caranya, dia mengawinkan Merlion, monumen yang kondang sebagai ruang publik itu, dengan ranah yang begitu intim dan personal. Yakni, kamar hotel.

The Merlion Hotel pun bukan sekadar benda seni. Ia hadir benar-benar sebagai hotel yang bisa di-booking dan diinapi. Jatahnya, hanya satu penyewa tiap malam, mulai pukul 19.00 dan check-out keesokan paginya sebelum pukul 10.00. Ongkosnya SGD 150 atau sekitar Rp 1,045 juta. Cukup murah untuk menikmati kemewahan kamar hotel di sebuah lokasi strategis di Singapura.

Kemewahan hotel itu pun bisa dirasakan pengunjung secara gratis, tiap hari mulai pukul 10.00 hingga 19.00. Saat itulah orang-orang antre panjang demi masuk sejenak ke hotel satu kamar tersebut.
Para pengunjung pagi – yang gratisan- akan diberi koin plastik, mirip biji permainan karambol, saat mengantre. Warnanya hijau atau kuning. “Maaf, ini untuk apa?” tanya Jawa Pos kepada salah seorang petugas pameran yang bertugas mengatur antrean.

Nancy, petugas berparas manis itu, menjelaskan bahwa koin plastik tersebut adalah nomor antrean dan sebagai tanda masuk hotel. Aneh, memang. Sebab, koin itu polos. Tak ada nomor, tak ada huruf. Juga tidak ada nominal dolar penanda pembayaran. “Ya memang. Kan masuknya gratis. Jadi, ini pura-puranya uang masuk hotel,” ujar Nancy lalu tersenyum.

Karena yang dimasuki adalah hotel, pengunjung terikat sejumlah aturan. Itu sudah dijelaskan saat pengunjung mulai berbaris masuk hotel. Jadi, setiap beberapa langkah, ada petugas pameran yang terus-menerus menyuarakan aturan tersebut. Yakni, jumlah pengunjung yang masuk dibatasi, tidak boleh mengotori hotel, tidak boleh memindah barang, tidak boleh menggunakan kamar mandi, tidak boleh keluar ke balkon. Sampai di sini, masih belum terbayang bahwa moncong Merlion itu bisa menjadi hotel yang fasilitasnya begitu lengkap.

Di ujung antrean, ada dua petugas lagi. Semua masih muda, berusia anak kuliahan. Satu orang bertugas mengambil uang-uangan, seorang lagi mengatur jumlah pengunjung, yakni sekitar 10″15 orang sekali masuk. Bersama wartawan koran ini, siang itu ada 12 pengunjung lain.

Aturan pertama sudah dirasakan di kepala antrean itu. Yakni, pengunjung harus melepas alas kaki. Tak ada tempat untuk menaruh sepatu atau sandal. Semua diletakkan sendiri di trotoar di tepi muara Sungai Singapura (Singapore River) tersebut. Setelah itu, berjalan berjingkat-jingkat menuju tangga besi untuk masuk hotel. Jalan berjingkat itu bukan peraturan. Tapi, kalau siang, paving stone trotoar di pinggir jalan tersebut begitu panas.

Setelah tangga besi “yang juga panas kalau siang”, pengunjung akan langsung disambut meja resepsionis. Ada dua orang yang bertugas menerima tamu untuk malam. Persis hotel betulan. Kalau siang, mereka hanya mempersilakan pengunjung langsung masuk kamar.

Di dalam kamar itulah aroma kemewahan langsung menyambut. Kamar tersebut berukuran sekitar 5 x 5 meter persegi. Temboknya bernuansa cokelat dengan kertas dinding bermotif ikon-ikon Singapura. Mulai Singapore Flyer alias wahana kincir setinggi 165 meter (tertinggi di dunia), patung Sir Thomas Stamford Raffles, hingga gambar Merlion itu. Langit-langit hotel tersebut putih bersih dengan lampu temaram mengelilingi sudutnya. Lantainya praquet kayu yang menguatkan kesan klasik dan mewah. Di tengah-tengah ada karpet merah sebagai alas tempat tidur king sized.

Tapi, titik perhatian utama di ruang tersebut adalah si kepala singa yang menyembul di tengah-tengah lantai, tepat di atas bagian kepala tempat tidur. Kepala singa itu sundul langit-langit. Singa tersebut menganga dan menatap tajam ke arah laut. Di dalam mulutnya ada kepala saluran air. Di situlah biasanya air mengucur terus-menerus.

Biasanya, orang memang tak bisa sedekat ini dengan kepala Merlion setinggi 8,6 meter tersebut. Mereka hanya bisa melihat dari jauh atau mendekat ke tubuhnya sebagai latar belakang foto. Jarang sampai bisa melihat detail kepala, mengamati matanya, hingga mendekat ke gigiginya.

Di seberang pintu masuk, tepat di depan wajah singa, ada jendela kaca yang bisa dibuka. Di luar adalah balkon berlantai kayu dengan pagar besi. Pemandangan dari balkon cukup spektakuler. Khas Singapura. Yakni, Singapore Flyer, tribun penonton Grand Prix F1 Singapura, gedung Esplanade, serta Marina Bay Sands “hotel dan kasino yang berdiri menantang langit dengan tiga tower kembar itu.

Kamar mandi hotel pun cukup mewah. Nuansanya putih. Bagian dinding yang menghadap laut adalah kaca. Karena itu, kalau dibuka, orang seolah-olah mandi di ketinggian, berbatasan langsung dengan laut.
Di seberangnya juga masih tampak Marina Bay Sands, hotel mewah yang ongkos menginapnya empat hingga delapan kali lipat The Merlion Hotel yang hanya satu kamar itu. Bolehlah kalau para tamu mandi sambil membayangkan menginap di Marina Bay Sands. Seperti makan nasi-kerupuk di sebelah orang jual sate.

Sebagai sebuah penginapan, The Merlion Hotel memang harus lengkap. Selain balkon dan kamar mandi itu, tamu juga mendapat fasilitas standar berupa perangkat mandi dan coffee-maker plus dua botol air mineral. Semua pakai logo The Fullerton, hotel bintang lima di seberang jalan. Logo dan nama The Fullerton juga ada di dua pasang sandal putih untuk para tamu hotel.

Selain sebagai ekspresi seni, pengubahan patung Merlion sebagai hotel itu sejatinya menggugah kembali potensi monumen tersebut sebagai wahana wisata Singapura. Sebab, Merlion itu mulai terengah-engah mengejar tempat wisata lain yang tampil jauh lebih elok. Sebut saja Universal Studio Singapura di Pulau Sentosa yang hampir selalu full. Di kawasan Marina Bay, patung Merlion “bersaing” dengan Singapore Flyer dan Marina Bay Sands.

Memang sulit mengukur berapa pengunjung yang datang di monumen Merlion itu. “Tak ada data pasti. Tapi, rasanya turis hanya mampir sekejap di sini. Satu”dua jepretan, langsung pergi,” kata Koh Leuw, seorang penjaga pameran. Pendapat itu pun pribadi, bukan berdasar data resmi.

Memang, para turis masih tetap menjadikan patung Merlion di kawasan Marina Bay itu sebagai “lokasi wajib” yang harus disambangi ketika di Singapura. Selain di situ, ada empat lainnya yang dinyatakan sebagai patung Merlion resmi oleh pemerintah Singapura. Di Marina Bay ada dua. Satu yang sedang jadi hotel, satu lagi kembaran kecilnya (setinggi 2 meter) yang berada di belakangnya.

Yang paling jangkung adalah Merlion setinggi 37 meter di Pulau Sentosa. Selain itu, ada dua Merlion lagi “masing-masing setinggi 3 meter” di kawasan Grange Road dan Mount Faber.

Di luar Singapura, kembaran Merlion ada di Merlion Restaurant di Cupertino, California, Amerika Serikat. Di negeri kita, Merlion “persis yang di Singapura” berada di kawasan perumahan CitraLand, Surabaya, Jawa Timur.

Kalau berminat menginap di bawah mulut singa, silakan datang ke Singapura. Harus cepat karena, kata petugas pameran, yang mengantre untuk tidur sangat banyak. Hotel tak pernah kosong satu malam pun. Kalaupun menginap di The Merlion Hotel, tak perlu khawatir singa itu tiba-tiba menyemprotkan air ketika para tamu sedang tidur di bawah moncongnya. (*/c5/ttg)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/