25 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Revisi UU Pilkada Tergantung Presiden

jokowi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO- Rencana revisi terbatas UU Pilkada dan Parpol oleh DPR, tampaknya, sulit dibendung. Satu-satunya jalan adalah menggunakan kekuatan pemerintah, dalam hal ini presiden, untuk menggagalkan revisi tersebut. Revisi akan mengganggu tahap pilkada yang saat ini berjalan.
Kemungkinan itu diungkapkan pakar hukum tata negara Refly Harun menanggapi kemungkinan berlanjutnya rencana revisi UU Pilkada. Dia menjelaskan, prinsipnya, pembuatan atau revisi UU harus melibatkan dua pihak, yakni pemerintah dan DPR. Kekuatan mereka sama besar, yakni 50:50. “Satu orang presiden punya kekuatan setara dengan 560 anggota DPR,” terangnya.

Apabila salah satu menolak, UU tersebut tidak akan bisa dibuat. Karena itu, kuncinya saat ini ada di presiden. Bagaimana caranya? Menurut Refly, presiden bisa membuat surat resmi yang isinya tidak bersedia membahas revisi UU Pilkada. Kemudian, secara fisik, presiden tidak menghadirkan menteri hukum dan HAM maupun menteri dalam negeri dalam pembahasan bersama DPR.

Penolakan itu bisa disampaikan sebelum pembahasan atau pada akhir pembahasan sebelum disetujui dalam forum paripurna DPR. “Persoalannya, sejak zaman SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), pemerintah tidak pernah menolak rencana pembahasan RUU di awal,” ucap Refly.

Pemerintah kala itu menggunakan dalih etika karena khawatir dijegal DPR saat mengajukan RUU. Presiden SBY, tutur Refly, tercatat hanya dua kali menolak RUU sebelum pembahasan. Keduanya dilakukan pada 2004. Setelah itu, SBY tidak lagi menolak pembahasan RUU di awal.

Sementara itu, pimpinan DPR kemarin mengadakan rapat tertutup untuk membahas tindak lanjut persiapan pilkada. Usul revisi UU Pilkada yang menjadi salah satu keputusan dalam rapat konsultasi dengan KPU akan dimatangkan dalam rangkaian kegiatan pekan depan. “Rencananya, Senin depan kami ada pertemuan dengan Mendagri,” kata Wakil Ketua DPR Fadli Zon setelah rapat di gedung parlemen, Jakarta, kemarin.

Menurut dia, pertemuan dengan Mendagri ditujukan untuk menindaklanjuti hasil rapat konsultasi dengan KPU. Fadli menilai, DPR bersama pemerintah harus mencari solusi agar partai politik yang berkonflik tetap bisa ikut dalam pilkada. “Waktu itu, yang mengusulkan revisi adalah KPU sendiri,” ujar wakil ketua umum Partai Gerakan Indonesia Raya itu.

Bukan hanya dengan Mendagri, Fadli menyatakan, DPR juga akan melakukan konsultasi dengan Mahkamah Agung. Pihaknya akan menanyakan apakah usul untuk mengakomodasi partisipasi parpol yang berkonflik dengan didasarkan pada putusan pengadilan terakhir menjelang pendaftaran calon tidak melanggar tata peraturan peradilan.

“Kami ini kan mencari solusi karena ini belum pernah diatur. Jangan sampai hanya karena persoalan administrasi, ada partai yang dirugikan dan legitimasi pilkada dipertanyakan,” tandasnya.

Untuk menghindarkan pertikaian yang terus meruncing, Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan meminta DPR berkonsultasi dengan pemerintah dalam waktu dekat. Dia mengaku revisi UU Pilkada harus mendapat persetujuan dari kedua pihak. “Yakni, pemerintah dan DPR,” tegasnya.

Politikus PAN itu menyatakan, jika dua lembaga tersebut bersikeras dengan pendapat masing-masing, akan terjadi deadlock. Dampaknya, pelaksanaan pilkada di 269 kota-kabupaten bakal terancam.

Dia juga mengkritik kewenangan menteri hukum dan HAM (Menkum HAM). Menurut Taufik, Menkum HAM tidak boleh mengesahkan kepengurusan partai. “Menkum HAM hanya sebagai tempat mendaftarkan kepengurusan,” paparnya.

Sementara itu, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menolak wacana revisi UU Pilkada. Menurut dia, revisi tersebut akan mengganggu jalannya pilkada. “Pasti akan terganggu,” ujarnya.

Dia menegaskan, seharusnya revisi dilakukan jauh-jauh hari. Minimal setahun. Jika mendadak, yang terbebani adalah penyelenggara pemilu. “Kerja KPU jelas akan berat,” ungkapnya. (byu/bay/aph/c5/fat/jpnn/rbb)

jokowi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO- Rencana revisi terbatas UU Pilkada dan Parpol oleh DPR, tampaknya, sulit dibendung. Satu-satunya jalan adalah menggunakan kekuatan pemerintah, dalam hal ini presiden, untuk menggagalkan revisi tersebut. Revisi akan mengganggu tahap pilkada yang saat ini berjalan.
Kemungkinan itu diungkapkan pakar hukum tata negara Refly Harun menanggapi kemungkinan berlanjutnya rencana revisi UU Pilkada. Dia menjelaskan, prinsipnya, pembuatan atau revisi UU harus melibatkan dua pihak, yakni pemerintah dan DPR. Kekuatan mereka sama besar, yakni 50:50. “Satu orang presiden punya kekuatan setara dengan 560 anggota DPR,” terangnya.

Apabila salah satu menolak, UU tersebut tidak akan bisa dibuat. Karena itu, kuncinya saat ini ada di presiden. Bagaimana caranya? Menurut Refly, presiden bisa membuat surat resmi yang isinya tidak bersedia membahas revisi UU Pilkada. Kemudian, secara fisik, presiden tidak menghadirkan menteri hukum dan HAM maupun menteri dalam negeri dalam pembahasan bersama DPR.

Penolakan itu bisa disampaikan sebelum pembahasan atau pada akhir pembahasan sebelum disetujui dalam forum paripurna DPR. “Persoalannya, sejak zaman SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), pemerintah tidak pernah menolak rencana pembahasan RUU di awal,” ucap Refly.

Pemerintah kala itu menggunakan dalih etika karena khawatir dijegal DPR saat mengajukan RUU. Presiden SBY, tutur Refly, tercatat hanya dua kali menolak RUU sebelum pembahasan. Keduanya dilakukan pada 2004. Setelah itu, SBY tidak lagi menolak pembahasan RUU di awal.

Sementara itu, pimpinan DPR kemarin mengadakan rapat tertutup untuk membahas tindak lanjut persiapan pilkada. Usul revisi UU Pilkada yang menjadi salah satu keputusan dalam rapat konsultasi dengan KPU akan dimatangkan dalam rangkaian kegiatan pekan depan. “Rencananya, Senin depan kami ada pertemuan dengan Mendagri,” kata Wakil Ketua DPR Fadli Zon setelah rapat di gedung parlemen, Jakarta, kemarin.

Menurut dia, pertemuan dengan Mendagri ditujukan untuk menindaklanjuti hasil rapat konsultasi dengan KPU. Fadli menilai, DPR bersama pemerintah harus mencari solusi agar partai politik yang berkonflik tetap bisa ikut dalam pilkada. “Waktu itu, yang mengusulkan revisi adalah KPU sendiri,” ujar wakil ketua umum Partai Gerakan Indonesia Raya itu.

Bukan hanya dengan Mendagri, Fadli menyatakan, DPR juga akan melakukan konsultasi dengan Mahkamah Agung. Pihaknya akan menanyakan apakah usul untuk mengakomodasi partisipasi parpol yang berkonflik dengan didasarkan pada putusan pengadilan terakhir menjelang pendaftaran calon tidak melanggar tata peraturan peradilan.

“Kami ini kan mencari solusi karena ini belum pernah diatur. Jangan sampai hanya karena persoalan administrasi, ada partai yang dirugikan dan legitimasi pilkada dipertanyakan,” tandasnya.

Untuk menghindarkan pertikaian yang terus meruncing, Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan meminta DPR berkonsultasi dengan pemerintah dalam waktu dekat. Dia mengaku revisi UU Pilkada harus mendapat persetujuan dari kedua pihak. “Yakni, pemerintah dan DPR,” tegasnya.

Politikus PAN itu menyatakan, jika dua lembaga tersebut bersikeras dengan pendapat masing-masing, akan terjadi deadlock. Dampaknya, pelaksanaan pilkada di 269 kota-kabupaten bakal terancam.

Dia juga mengkritik kewenangan menteri hukum dan HAM (Menkum HAM). Menurut Taufik, Menkum HAM tidak boleh mengesahkan kepengurusan partai. “Menkum HAM hanya sebagai tempat mendaftarkan kepengurusan,” paparnya.

Sementara itu, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menolak wacana revisi UU Pilkada. Menurut dia, revisi tersebut akan mengganggu jalannya pilkada. “Pasti akan terganggu,” ujarnya.

Dia menegaskan, seharusnya revisi dilakukan jauh-jauh hari. Minimal setahun. Jika mendadak, yang terbebani adalah penyelenggara pemilu. “Kerja KPU jelas akan berat,” ungkapnya. (byu/bay/aph/c5/fat/jpnn/rbb)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/