30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Latihan SAR, Komandan Kapal Selam Tewas

KRI CAKRA : Di kapal selam  inilah dua perwira menengah TNI AL tewas karena dekompresi  pada saat  latihan SAR digelar.  Kolonel Laut (P) Jefry Stanley Sanggel jadi korban tenggelamnya kapal selam KRI Cakra 401 Jumat (6/7) kemarin.//internet
KRI CAKRA : Di kapal selam inilah dua perwira menengah TNI AL tewas karena dekompresi pada saat latihan SAR digelar. Kolonel Laut (P) Jefry Stanley Sanggel jadi korban tenggelamnya kapal selam KRI Cakra 401 Jumat (6/7) kemarin.//internet
SITUBONDO – Latihan SAR (search and rescue) TNI AL di perairan Pasir Putih, Situbondo kemarin berubah menjadi operasi penyelamatan yang sebenarnya. Sebab, dua perwira menengah yang sedianya berperan sebagai korban tenggelamnya kapal selam KRI Cakra meregang nyawa karena dekompresi.

Informasi yang dikumpulkan Jawa Pos (grup Sumut Pos), kejadian itu bermula saat TNI AL melakukan latihan SAR selama dua hari di Pasir Putih. Skenarionya, kapal selam dengan nomor lambung 401 itu karam bersama enam personilnya. Lantas, ada tim yang melakukan penyelamatan dengan menjemput personil melalui conning.

Dalam skenario itu, conning atau tower kapal selam menjadi satu-satunya pintu bagi prajurit untuk keluar. Sebenarnya, dalam latihan dua hari yang rencananya berakhir kemarin itu sudah dipersiapkan dengan matang. Buktinya, sangat banyak armada milik pasukan dengan semboyan Jalesveva Jayamahe itu yang diterjunkan.

Koarmatim melibatkan satu kapal selam, tiga kapal, dua tim dari Dinas Penyelamatan Bawah Air (Dislambair), satu Ponton Lumba-Lumba, satu tim Satuan Komando Pasukan Katak (Satkopaska), serta dua Tim Kesehatan dari Lakesla dan RSAL Dr Ramelan Surabaya. Begitu juga dengan unsur udara seperti Pesawat Cassa dan 1 Heli BO-105. ‘’Kami tidak menyangka musibah tersebut terjadi,’’ ujar seorang sumber Jawa Pos di lokasi.

Dalam latihan kemarin, pada kesempatan pertama, dua prajurit keluar dari conning dan berhasil sampai di permukaan laut dengan selamat. Proses latihan penyelamatan pada tahap ini bisa dikatakan sangat cepat. Dua orang yang berperan sebagai korban pertama berhasil mencapai permukaan sekitar 15 menit setelah tim penolong turun.

Namun, entah kenapa pada sesi kedua untuk korban ketiga dan keempat tidak seperti itu. Waktu 15 menit pertama berlalu tanpa ada tanda-tanda penyelamatan berhasil dilakukan.
Tim yang mencoba tenang lantas tidak bisa menyembunyikan lagi kepanikannya saat melihat dua prajurit itu muncul ke permukaan dengan kondisi mengenaskan. Darah segar keluar dari hidung dan telinga, sedangkan di mulut kedua perwira menengah itu terlihat berbusa.

Saat muncul ke permukaan, keduanya masih mengenakan seragam seperti pelampung berwarna merah. Udara yang berada di seragam itu membuat kedua korban otomatis mencapai permukaan laut.  Melihat itu, semuanya langsung teriak. “Emergency, emergency. Kena dekompresi,’’ ujar salah seorang anggota SAR.

Tim lantas mengevakuasi korban yang belakangan diketahui sebagai Komandan Satuan Kapal Selam (Dansatsel) Armatim Kolonel Laut (P) Jeffry Stanly Sanggel dan Kepala Kamar Mesin (KKM) Mayor Laut (T) Eko Idang Prabowo tersebut. Berbagai upaya dilakukan dengan keras untuk menyelamatkan keduanya.

Radar Banyuwangi (Jawa Pos Group) melaporkan, setelah diangkat dari air, anggota TNI AL langsung membawa Kolonel Jeffy dan Mayor Eko Idang ke Kapal Ponton Lumba-Lumba yang sudah siap di lokasi. Kondisi keduanya saat itu sudah lemas. Bahkan, salah seorang di antaranya sudah mengeluarkan darah dari mulut dan hidung. Sedangkan seorang lagi juga muntah-muntah.

Wartawan peliput saat itu berada di kapal Ponton Lumba-Lumba. Namun, setelah tubuh Kolonel Jeffy dan Mayor Eko dibawa ke kapal tersebut, para wartawan dibawa menuju pantai dengan kapal cambat Kopaska.

Setelah berusaha ditolong, kondisi keduanya tidak kunjung membaik. Dalam kondisi kritis, tim lantas memutuskan membawa keduanya ke RSAL dr Ramelan Surabaya. Tapi, Tuhan berkehendak lain. Keduanya meninggal. ‘’Atas nama Pangarmatim, kami mengucapkan belasungkawa sedalam-dalamnya. Kami memohon maaf terhadap keluarga dan semoga diberikan ketabahan,’’ kata Kadispen Armatim Letkol Laut (KH) Yayan Sugiana.

Kejadian tersebut tentu saja membuat latihan SAR harus berakhir lebih cepat. Kapal selam buatan Jerman Barat tahun 1977 yang diparkir di kedalaman 21 meter itu lantas dibawa naik ke permukaan. Latihan pun berakhir dengan duka mendalam bagi keluarga TNI AL.

Lebih lanjut Yayan menjelaskan, musibah tersebut tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Dalam suasana duka, Yayan mengaku angkat topi terhadap kedua koleganya tersebut. Menurutnya, Kolonel Jefry adalah sosok yang sangat baik dan layak menjadi pemimpin. Buktinya, dia mau langsung berperan sebagai korban karamnya KRI Cakra.

‘’Bisa jadi, Kolonel Jefry ingin memberikan contoh yang baik bagi anak buahnya. Kalau mau, sebenarnya dia tidak harus berperan jadi korban,’’ kenangnya. Namun, apa mau dikata, peristiwa nahas itu telah terjadi. Yayan menambahkan, belum tahu pasti apakah jenazah diotopsi dulu atau langsung diserahkan ke keluarga.

Kepala Pusat Penerangan TNI AL, Laksamana Pertama Untung Surapati memastikan kalau kondisi kapal sebenarnya baik. Jadi, kemungkinan besar kejadian nahas itu bukan dikarenakan ada masalah pada kapal. ‘’Tapi, masih akan dikordinasikan,’’ tuturnya.

Itulah kenapa, dia belum bisa menjelaskan dengan pasti apa yang sebenarnya terjadi pada dua prajurit itu. Begitu juga dengan dugaan keduanya terkena penyakit dekompresi. Untung Surapati memilih hati-hati hingga ada keterangan pasti apa yang membuat mereka harus meregang nyawa saat latihan.
Dekompresi sendiri adalah suatu penyakit yang muncul akibat penurunan tekanan atmosfer secara mendadak. Sering muncul saat penyelam naik ke permukaan terlalu cepat atau sangat lambat. Nah, kalau terburu-buru itulah yang membuat tekanan udara memunculkan gelembung udara di dalam darah.

Saat pemberangkatan dari Surabaya Rabu (4/7) KSAL Laksamana Soeparno mengatakan kalau latihan tersebut sangat diperlukan bagi para prajurit. Melengkapi latihan ‘’kering’’ yang selama ini dilakukan di daratan. Itulah kenapa, dia mengistilahkan aplikasi di perairan Pasir Putih, Situbondo itu sebagai latihan ‘’basah’’.

Semuanya bertujuan untuk menambah pengalaman prajurit. Sedangkan KRI Cakra yang dijadikan latihan adalah salah satu sisa dari kedigdayaan korps kapal selam TNI AL. Saat masih bernama Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), negara ini pernah punya 12 kapal selam. Usia membuat satu per satu kapal tersebut harus pensiun.

Yang terakhir adalah KRI Pasoepati 410. Kini kapal selam yang namanya diambil dari nama anak panah milik arjuna saat menewaskan raksasa jahat bernama Niwatakaca itu menjadi monumen di tepi Kalimas, samping Surabaya Plaza.

Saat ini tinggal dua kapal selam yang masih dipertahankan dan terus dilakukan peremajaan, yakni KRI Cakra dan KRI Nanggala. Dua nama tersebut juga menggambarkan kedigdayaan. Cakra adalah senjata sakti miliki Prabu Kresna, Raja Dwarawati. Sedangkan Nanggala adalah senjata tanpa tanding milik Prabu Baladewa, Raja Madura, yang juga kakak Kresna. (dim/riq/pri/jpnn/nw)

KRI CAKRA : Di kapal selam  inilah dua perwira menengah TNI AL tewas karena dekompresi  pada saat  latihan SAR digelar.  Kolonel Laut (P) Jefry Stanley Sanggel jadi korban tenggelamnya kapal selam KRI Cakra 401 Jumat (6/7) kemarin.//internet
KRI CAKRA : Di kapal selam inilah dua perwira menengah TNI AL tewas karena dekompresi pada saat latihan SAR digelar. Kolonel Laut (P) Jefry Stanley Sanggel jadi korban tenggelamnya kapal selam KRI Cakra 401 Jumat (6/7) kemarin.//internet
SITUBONDO – Latihan SAR (search and rescue) TNI AL di perairan Pasir Putih, Situbondo kemarin berubah menjadi operasi penyelamatan yang sebenarnya. Sebab, dua perwira menengah yang sedianya berperan sebagai korban tenggelamnya kapal selam KRI Cakra meregang nyawa karena dekompresi.

Informasi yang dikumpulkan Jawa Pos (grup Sumut Pos), kejadian itu bermula saat TNI AL melakukan latihan SAR selama dua hari di Pasir Putih. Skenarionya, kapal selam dengan nomor lambung 401 itu karam bersama enam personilnya. Lantas, ada tim yang melakukan penyelamatan dengan menjemput personil melalui conning.

Dalam skenario itu, conning atau tower kapal selam menjadi satu-satunya pintu bagi prajurit untuk keluar. Sebenarnya, dalam latihan dua hari yang rencananya berakhir kemarin itu sudah dipersiapkan dengan matang. Buktinya, sangat banyak armada milik pasukan dengan semboyan Jalesveva Jayamahe itu yang diterjunkan.

Koarmatim melibatkan satu kapal selam, tiga kapal, dua tim dari Dinas Penyelamatan Bawah Air (Dislambair), satu Ponton Lumba-Lumba, satu tim Satuan Komando Pasukan Katak (Satkopaska), serta dua Tim Kesehatan dari Lakesla dan RSAL Dr Ramelan Surabaya. Begitu juga dengan unsur udara seperti Pesawat Cassa dan 1 Heli BO-105. ‘’Kami tidak menyangka musibah tersebut terjadi,’’ ujar seorang sumber Jawa Pos di lokasi.

Dalam latihan kemarin, pada kesempatan pertama, dua prajurit keluar dari conning dan berhasil sampai di permukaan laut dengan selamat. Proses latihan penyelamatan pada tahap ini bisa dikatakan sangat cepat. Dua orang yang berperan sebagai korban pertama berhasil mencapai permukaan sekitar 15 menit setelah tim penolong turun.

Namun, entah kenapa pada sesi kedua untuk korban ketiga dan keempat tidak seperti itu. Waktu 15 menit pertama berlalu tanpa ada tanda-tanda penyelamatan berhasil dilakukan.
Tim yang mencoba tenang lantas tidak bisa menyembunyikan lagi kepanikannya saat melihat dua prajurit itu muncul ke permukaan dengan kondisi mengenaskan. Darah segar keluar dari hidung dan telinga, sedangkan di mulut kedua perwira menengah itu terlihat berbusa.

Saat muncul ke permukaan, keduanya masih mengenakan seragam seperti pelampung berwarna merah. Udara yang berada di seragam itu membuat kedua korban otomatis mencapai permukaan laut.  Melihat itu, semuanya langsung teriak. “Emergency, emergency. Kena dekompresi,’’ ujar salah seorang anggota SAR.

Tim lantas mengevakuasi korban yang belakangan diketahui sebagai Komandan Satuan Kapal Selam (Dansatsel) Armatim Kolonel Laut (P) Jeffry Stanly Sanggel dan Kepala Kamar Mesin (KKM) Mayor Laut (T) Eko Idang Prabowo tersebut. Berbagai upaya dilakukan dengan keras untuk menyelamatkan keduanya.

Radar Banyuwangi (Jawa Pos Group) melaporkan, setelah diangkat dari air, anggota TNI AL langsung membawa Kolonel Jeffy dan Mayor Eko Idang ke Kapal Ponton Lumba-Lumba yang sudah siap di lokasi. Kondisi keduanya saat itu sudah lemas. Bahkan, salah seorang di antaranya sudah mengeluarkan darah dari mulut dan hidung. Sedangkan seorang lagi juga muntah-muntah.

Wartawan peliput saat itu berada di kapal Ponton Lumba-Lumba. Namun, setelah tubuh Kolonel Jeffy dan Mayor Eko dibawa ke kapal tersebut, para wartawan dibawa menuju pantai dengan kapal cambat Kopaska.

Setelah berusaha ditolong, kondisi keduanya tidak kunjung membaik. Dalam kondisi kritis, tim lantas memutuskan membawa keduanya ke RSAL dr Ramelan Surabaya. Tapi, Tuhan berkehendak lain. Keduanya meninggal. ‘’Atas nama Pangarmatim, kami mengucapkan belasungkawa sedalam-dalamnya. Kami memohon maaf terhadap keluarga dan semoga diberikan ketabahan,’’ kata Kadispen Armatim Letkol Laut (KH) Yayan Sugiana.

Kejadian tersebut tentu saja membuat latihan SAR harus berakhir lebih cepat. Kapal selam buatan Jerman Barat tahun 1977 yang diparkir di kedalaman 21 meter itu lantas dibawa naik ke permukaan. Latihan pun berakhir dengan duka mendalam bagi keluarga TNI AL.

Lebih lanjut Yayan menjelaskan, musibah tersebut tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Dalam suasana duka, Yayan mengaku angkat topi terhadap kedua koleganya tersebut. Menurutnya, Kolonel Jefry adalah sosok yang sangat baik dan layak menjadi pemimpin. Buktinya, dia mau langsung berperan sebagai korban karamnya KRI Cakra.

‘’Bisa jadi, Kolonel Jefry ingin memberikan contoh yang baik bagi anak buahnya. Kalau mau, sebenarnya dia tidak harus berperan jadi korban,’’ kenangnya. Namun, apa mau dikata, peristiwa nahas itu telah terjadi. Yayan menambahkan, belum tahu pasti apakah jenazah diotopsi dulu atau langsung diserahkan ke keluarga.

Kepala Pusat Penerangan TNI AL, Laksamana Pertama Untung Surapati memastikan kalau kondisi kapal sebenarnya baik. Jadi, kemungkinan besar kejadian nahas itu bukan dikarenakan ada masalah pada kapal. ‘’Tapi, masih akan dikordinasikan,’’ tuturnya.

Itulah kenapa, dia belum bisa menjelaskan dengan pasti apa yang sebenarnya terjadi pada dua prajurit itu. Begitu juga dengan dugaan keduanya terkena penyakit dekompresi. Untung Surapati memilih hati-hati hingga ada keterangan pasti apa yang membuat mereka harus meregang nyawa saat latihan.
Dekompresi sendiri adalah suatu penyakit yang muncul akibat penurunan tekanan atmosfer secara mendadak. Sering muncul saat penyelam naik ke permukaan terlalu cepat atau sangat lambat. Nah, kalau terburu-buru itulah yang membuat tekanan udara memunculkan gelembung udara di dalam darah.

Saat pemberangkatan dari Surabaya Rabu (4/7) KSAL Laksamana Soeparno mengatakan kalau latihan tersebut sangat diperlukan bagi para prajurit. Melengkapi latihan ‘’kering’’ yang selama ini dilakukan di daratan. Itulah kenapa, dia mengistilahkan aplikasi di perairan Pasir Putih, Situbondo itu sebagai latihan ‘’basah’’.

Semuanya bertujuan untuk menambah pengalaman prajurit. Sedangkan KRI Cakra yang dijadikan latihan adalah salah satu sisa dari kedigdayaan korps kapal selam TNI AL. Saat masih bernama Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), negara ini pernah punya 12 kapal selam. Usia membuat satu per satu kapal tersebut harus pensiun.

Yang terakhir adalah KRI Pasoepati 410. Kini kapal selam yang namanya diambil dari nama anak panah milik arjuna saat menewaskan raksasa jahat bernama Niwatakaca itu menjadi monumen di tepi Kalimas, samping Surabaya Plaza.

Saat ini tinggal dua kapal selam yang masih dipertahankan dan terus dilakukan peremajaan, yakni KRI Cakra dan KRI Nanggala. Dua nama tersebut juga menggambarkan kedigdayaan. Cakra adalah senjata sakti miliki Prabu Kresna, Raja Dwarawati. Sedangkan Nanggala adalah senjata tanpa tanding milik Prabu Baladewa, Raja Madura, yang juga kakak Kresna. (dim/riq/pri/jpnn/nw)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/