26.2 C
Medan
Friday, September 27, 2024

Tak Boleh Tukar Sikat Gigi, Pasang Alarm Minum Obat

Kisah Suami yang Positif HIV/AIDS, tapi Isteri dan Anaknya Negatif

Tiga tahun lalu, Fajar Jasmin Sugandhi dinyatakan positif mengidap HIV/AIDS. Dia bersyukur, karena isteri dan ketiga anaknya tak tertular. Tapi Fajar sempat shock, karena anak keduanya pernah ditolak masuk sekolah gara-gara sang ayah positif HIV.

AGUNG P ISKANDAR, Jakarta

KAMIS pekan lalu (1/12), Fajar Jasmin Sugandhi kaget bukan kepalang. Tinggal beberapa langkah lagi Immi, anaknya, diterima di SD Don Bosco 1 Kelapa Gading. Tapi, melalui SMS, bocah perempuan berumur 8 tahun tersebut batal diterima. Yang menyakitkan Fajar, pembatalan itu terjadi karena dia mengidap HIV/AIDS.

Padahal, anak pasangan Fajar-Leonnie F. Merinsca tersebut sudah melewati serangkaian tes. Bahkan, urusan dia dengan SD di Jakarta Utara itu tinggal persoalan administrasi. Fajar benar-benar shock karena diskriminasi tersebut sudah keterlaluan. Apalagi, pernyataan penolakan itu diungkapkan tepat pada peringatan Hari AIDS Sedunia (1 Desember).

Fajar dan Leonnie sangat kecewa. Mereka mendesak SD di Jakarta Utara tersebut untuk meminta maaf. Untungnya, setelah Yayasan Panca Dharma yang membawahi SD Don Bosco bertemu Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dan Fajar-Leonnie, sekolah itu kembali menerima Immi. Pihak sekolah juga meminta maaf atas kesalahan mereka.

Saat ditemui di Mal Kelapa Gading kemarin (7/12), Fajar dan Leonnie tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Anak kedua hasil pernikahan mereka itu akhirnya bisa kembali diterima di sekolah yang dia idam-idamkan. “Kami bersyukur, persoalannya sudah selesai. Kami maklum. Ini hanya karena ketidaktahuan,” kata Fajar.

Karena itu, Fajar dan Leonnie tak ingin membesar-besarkan persoalan tersebut. Menurut dia, sejak pihak sekolah meminta maaf dan menerima kembali Immi, persoalan sudah dianggap selesai. Dia berbesar hati dan menganggap insiden itu sudah tuntas.

“Kami sebenarnya juga tidak ingin bicara soal kasus ini. Namanya orang khilaf, bisa saja terjadi. Kami senang semua sudah selesai,” ungkapnya.

Saat ditemui, penampilan Fajar terlihat segar. Sama sekali tidak terlihat bahwa dia mengidap penyakit yang belum ada obatnya itu. Berkemeja batik, lelaki kelahiran Surabaya, 12 Juli 1977, tersebut mengenakan kacamata ber-frame hitam.
Fajar menyatakan, dirinya dan keluarga justru melihat kasus itu sebagai pelajaran bagi semua orang. Dia tidak menganggap dirinya menang karena akhirnya pihak sekolah meminta maaf. Lelaki langsing itu justru menilai kasus tersebut sebagai momen bagi semua orang untuk mendapat kebenaran tentang HIV/AIDS.

Apalagi, pascainsiden itu, pihak sekolah akan mengadakan sosialisasi tentang HIV/AIDS bagi seluruh warga sekolah. Fajar menyambut baik iktikad mereka.

“Ini juga pembelajaran bagi anak saya bahwa dalam hidup selalu ada persoalan. Jangan selalu lihat persoalannya. Yang penting bagaimana terus menjalani hidup dengan baik,” tegasnya.

Leonnie menuturkan, saat Immi ditolak bersekolah, dirinya sudah siap mencari sekolah lain. Bagaimanapun, dia harus segera mencari alternatif bagi buah hatinya. “Saya bilang kepada dia, Immi ayo kita cari sekolah lain yuk?” ujarnya.
Setelah akhirnya kembali diterima, Immi senang bukan main. Leonnie menyatakan bahwa SD Don Bosco 1 meminta maaf dan akan menerima kembali dirinya. “Immi kemudian mengatakan ingin bilang terima kasih,” katanya menirukan perkataan putri tercintanya tersebut.

Leonnie menuturkan, hidup dengan suami ODHA sejatinya tidak berbeda. Namun, dengan kehadiran tiga anak hasil pernikahan mereka, kebiasaan hidup sehat harus dibudayakan. Misalnya, mereka harus segera memberi tahu ketika ada luka yang terbuka dan tidak bertukar sikat gigi. Bahkan, kini anak-anak mereka sudah terbiasa untuk segera mencari plester jika sedang terluka.

Leonnie juga mendukung penuh pengobatan Fajar. Bahkan, dia ikut-ikutan memasang alarm di ponsel Fajar untuk jadwal mengonsumsi obat. “Kadang-kadang juga saya telepon kalau waktunya minum obat. Tapi, sekarang sudah jarang. Dia sudah biasa,” katanya lantas tersenyum.

Fajar saat ini memiliki kesibukan sebagai editor di media yang menggarap tema-tema lingkungan hidup. Produknya ada dua. Yakni, siaran rutin di radio dan mengisi tulisan di situs www.iklimkarbon.com.

Leonnie juga tak kalah sibuk. Perempuan kelahiran Jakarta, 16 Mei 1977, tersebut bekerja di sebuah yayasan donatur pendidikan bagi anak-anak tidak mampu dan anak-anak jalanan.

Fajar saat ini sangat menikmati pekerjaannya. Sudah dua tahun ini dia bergerak di bidang lingkungan hidup. Di lingkungan pekerjaan sebelumnya, Fajar kerap menerima diskriminasi dan stigma negatif. Dia menjadi sasaran anggapan buruk rekan-rekan kerjanya. “Bahkan, menerima telepon dari saya saja mereka tidak mau,” ungkapnya.
Lulusan Jurusan Psikologi Unika Atma Jaya itu sempat stres dan tertekan. Dia sampai menyebut lingkungan kerjanya tersebut sebagai ‘lingkaran setan’. Sebab, stres gara-gara tekanan sosial di lingkungan pekerjaan membuat kekebalan tubuhnya terganggu. “Akhirnya, saya keluar daripada berdampak lebih buruk,” ujarnya.

Fajar mendapat buah dari keputusan keluar dari pekerjaan lamanya. Saat ini, dia dipercaya menjadi anggota delegasi badan PBB United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dari kalangan private sector.
Fajar mengungkapkan, diskriminasi hanya akan berdampak buruk bagi siapa pun, tidak hanya bagi ODHA. Dia memisalkan, jika seseorang mendapat perlakuan diskriminasi, dia akan malu untuk terbuka tentang penyakitnya. Akibatnya, dia tidak mendapat pengobatan.

Konsekuensinya, karena tidak terbuka, orang-orang tidak tahu bahwa dia mengidap virus mematikan itu. Suami atau istrinya yang tidak diberi tahu bisa tertular. Penularan juga bisa berlanjut kepada anak keturunan mereka.
“Coba kalau terbuka sejak awal, mereka akan langsung mendapat penanganan dan bisa mencegah terjadinya penularan. Mereka takut mengaku karena risiko sosialnya terlalu buruk,” katanya.

Leonnie dan Fajar menikah pada 2004. Itu berarti, Leonnie sudah hidup bersama Fajar selama hampir delapan tahun. Pada 2008, Fajar dinyatakan positif mengidap HIV/AIDS. Lelaki 34 tahun itu mengaku tidak tahu kapan dirinya tertular. Namun, yang dia ingat, pada kurun 1999 hingga 2000, dirinya sempat terjebak dalam dunia narkotika.
Selama hidup bersama Fajar, Leonnie sampai saat ini masih dinyatakan negatif dari penyakit tersebut. “Artinya, selama menjaga risiko tertular, kita tetap aman. HIV/AIDS itu susah banget lho penularannya,” tegasnya.

Fajar-Leonnie dikaruniai tiga anak. Selain Immi, dua lainnya adalah si sulung, bocah pria berumur 9 tahun, dan si bungsu, juga bocah pria berumur 3 tahun. “Tiga anak saya negatif,” pungkas Fajar. (*)

Kisah Suami yang Positif HIV/AIDS, tapi Isteri dan Anaknya Negatif

Tiga tahun lalu, Fajar Jasmin Sugandhi dinyatakan positif mengidap HIV/AIDS. Dia bersyukur, karena isteri dan ketiga anaknya tak tertular. Tapi Fajar sempat shock, karena anak keduanya pernah ditolak masuk sekolah gara-gara sang ayah positif HIV.

AGUNG P ISKANDAR, Jakarta

KAMIS pekan lalu (1/12), Fajar Jasmin Sugandhi kaget bukan kepalang. Tinggal beberapa langkah lagi Immi, anaknya, diterima di SD Don Bosco 1 Kelapa Gading. Tapi, melalui SMS, bocah perempuan berumur 8 tahun tersebut batal diterima. Yang menyakitkan Fajar, pembatalan itu terjadi karena dia mengidap HIV/AIDS.

Padahal, anak pasangan Fajar-Leonnie F. Merinsca tersebut sudah melewati serangkaian tes. Bahkan, urusan dia dengan SD di Jakarta Utara itu tinggal persoalan administrasi. Fajar benar-benar shock karena diskriminasi tersebut sudah keterlaluan. Apalagi, pernyataan penolakan itu diungkapkan tepat pada peringatan Hari AIDS Sedunia (1 Desember).

Fajar dan Leonnie sangat kecewa. Mereka mendesak SD di Jakarta Utara tersebut untuk meminta maaf. Untungnya, setelah Yayasan Panca Dharma yang membawahi SD Don Bosco bertemu Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dan Fajar-Leonnie, sekolah itu kembali menerima Immi. Pihak sekolah juga meminta maaf atas kesalahan mereka.

Saat ditemui di Mal Kelapa Gading kemarin (7/12), Fajar dan Leonnie tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Anak kedua hasil pernikahan mereka itu akhirnya bisa kembali diterima di sekolah yang dia idam-idamkan. “Kami bersyukur, persoalannya sudah selesai. Kami maklum. Ini hanya karena ketidaktahuan,” kata Fajar.

Karena itu, Fajar dan Leonnie tak ingin membesar-besarkan persoalan tersebut. Menurut dia, sejak pihak sekolah meminta maaf dan menerima kembali Immi, persoalan sudah dianggap selesai. Dia berbesar hati dan menganggap insiden itu sudah tuntas.

“Kami sebenarnya juga tidak ingin bicara soal kasus ini. Namanya orang khilaf, bisa saja terjadi. Kami senang semua sudah selesai,” ungkapnya.

Saat ditemui, penampilan Fajar terlihat segar. Sama sekali tidak terlihat bahwa dia mengidap penyakit yang belum ada obatnya itu. Berkemeja batik, lelaki kelahiran Surabaya, 12 Juli 1977, tersebut mengenakan kacamata ber-frame hitam.
Fajar menyatakan, dirinya dan keluarga justru melihat kasus itu sebagai pelajaran bagi semua orang. Dia tidak menganggap dirinya menang karena akhirnya pihak sekolah meminta maaf. Lelaki langsing itu justru menilai kasus tersebut sebagai momen bagi semua orang untuk mendapat kebenaran tentang HIV/AIDS.

Apalagi, pascainsiden itu, pihak sekolah akan mengadakan sosialisasi tentang HIV/AIDS bagi seluruh warga sekolah. Fajar menyambut baik iktikad mereka.

“Ini juga pembelajaran bagi anak saya bahwa dalam hidup selalu ada persoalan. Jangan selalu lihat persoalannya. Yang penting bagaimana terus menjalani hidup dengan baik,” tegasnya.

Leonnie menuturkan, saat Immi ditolak bersekolah, dirinya sudah siap mencari sekolah lain. Bagaimanapun, dia harus segera mencari alternatif bagi buah hatinya. “Saya bilang kepada dia, Immi ayo kita cari sekolah lain yuk?” ujarnya.
Setelah akhirnya kembali diterima, Immi senang bukan main. Leonnie menyatakan bahwa SD Don Bosco 1 meminta maaf dan akan menerima kembali dirinya. “Immi kemudian mengatakan ingin bilang terima kasih,” katanya menirukan perkataan putri tercintanya tersebut.

Leonnie menuturkan, hidup dengan suami ODHA sejatinya tidak berbeda. Namun, dengan kehadiran tiga anak hasil pernikahan mereka, kebiasaan hidup sehat harus dibudayakan. Misalnya, mereka harus segera memberi tahu ketika ada luka yang terbuka dan tidak bertukar sikat gigi. Bahkan, kini anak-anak mereka sudah terbiasa untuk segera mencari plester jika sedang terluka.

Leonnie juga mendukung penuh pengobatan Fajar. Bahkan, dia ikut-ikutan memasang alarm di ponsel Fajar untuk jadwal mengonsumsi obat. “Kadang-kadang juga saya telepon kalau waktunya minum obat. Tapi, sekarang sudah jarang. Dia sudah biasa,” katanya lantas tersenyum.

Fajar saat ini memiliki kesibukan sebagai editor di media yang menggarap tema-tema lingkungan hidup. Produknya ada dua. Yakni, siaran rutin di radio dan mengisi tulisan di situs www.iklimkarbon.com.

Leonnie juga tak kalah sibuk. Perempuan kelahiran Jakarta, 16 Mei 1977, tersebut bekerja di sebuah yayasan donatur pendidikan bagi anak-anak tidak mampu dan anak-anak jalanan.

Fajar saat ini sangat menikmati pekerjaannya. Sudah dua tahun ini dia bergerak di bidang lingkungan hidup. Di lingkungan pekerjaan sebelumnya, Fajar kerap menerima diskriminasi dan stigma negatif. Dia menjadi sasaran anggapan buruk rekan-rekan kerjanya. “Bahkan, menerima telepon dari saya saja mereka tidak mau,” ungkapnya.
Lulusan Jurusan Psikologi Unika Atma Jaya itu sempat stres dan tertekan. Dia sampai menyebut lingkungan kerjanya tersebut sebagai ‘lingkaran setan’. Sebab, stres gara-gara tekanan sosial di lingkungan pekerjaan membuat kekebalan tubuhnya terganggu. “Akhirnya, saya keluar daripada berdampak lebih buruk,” ujarnya.

Fajar mendapat buah dari keputusan keluar dari pekerjaan lamanya. Saat ini, dia dipercaya menjadi anggota delegasi badan PBB United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dari kalangan private sector.
Fajar mengungkapkan, diskriminasi hanya akan berdampak buruk bagi siapa pun, tidak hanya bagi ODHA. Dia memisalkan, jika seseorang mendapat perlakuan diskriminasi, dia akan malu untuk terbuka tentang penyakitnya. Akibatnya, dia tidak mendapat pengobatan.

Konsekuensinya, karena tidak terbuka, orang-orang tidak tahu bahwa dia mengidap virus mematikan itu. Suami atau istrinya yang tidak diberi tahu bisa tertular. Penularan juga bisa berlanjut kepada anak keturunan mereka.
“Coba kalau terbuka sejak awal, mereka akan langsung mendapat penanganan dan bisa mencegah terjadinya penularan. Mereka takut mengaku karena risiko sosialnya terlalu buruk,” katanya.

Leonnie dan Fajar menikah pada 2004. Itu berarti, Leonnie sudah hidup bersama Fajar selama hampir delapan tahun. Pada 2008, Fajar dinyatakan positif mengidap HIV/AIDS. Lelaki 34 tahun itu mengaku tidak tahu kapan dirinya tertular. Namun, yang dia ingat, pada kurun 1999 hingga 2000, dirinya sempat terjebak dalam dunia narkotika.
Selama hidup bersama Fajar, Leonnie sampai saat ini masih dinyatakan negatif dari penyakit tersebut. “Artinya, selama menjaga risiko tertular, kita tetap aman. HIV/AIDS itu susah banget lho penularannya,” tegasnya.

Fajar-Leonnie dikaruniai tiga anak. Selain Immi, dua lainnya adalah si sulung, bocah pria berumur 9 tahun, dan si bungsu, juga bocah pria berumur 3 tahun. “Tiga anak saya negatif,” pungkas Fajar. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/