JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) mencatat terdapat 73 kasus pelanggaran terhadap aktivis HAM sepanjang Januari 2014 hingga November 2019.
Bentuk pelanggaran yang paling dominan adalah kriminalisasi dengan 31 kasus dan pelaku pelanggaran terhadap hak pembela HAM mayoritas adalah polisi dengan 27 kasus.
Koalisi menilai negara tidak serius dalam melindungi dan memenuhi hak asasi para pembela HAM. Kondisi itu, menurut mereka membuat kekerasan terhadap pembela HAM terus berulang.
“Seperti intimidasi, kekerasan yang berkedok kriminal dengan pelaku orang tak dikenal, pembajakan akun media sosial atau telepon genggam, upaya kriminalisasi yang dipaksakan terhadap pembela HAM,” demikian bunyi siaran pers koalisi yang dibacakan oleh Kepala Badan Advokasi Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII) Ainul Yaqin saat konferensi pers di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (8/12).
Dalam paparannya, Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Era Purnama Sari mengatakan ancaman terhadap pembela HAM disebabkan oleh dua faktor, yaitu aparat penegak hukum, dalam hal ini polisi yang tidak independen, dan kriminalisasi terhadap mereka yang mengkritik kebijakan pemerintah di media sosial.
Lebih lanjut, Era memandang laporan perihal kriminalisasi terhadap pembela HAM sebagian besar tidak diproses oleh polisi. Bahkan, kata dia, laporan acap kali tidak diterima. Ia menyatakan kondisi tersebut sangat ironis karena polisi merupakan garda pertama dalam sistem peradilan pidana.
“Enggak mungkin ada pelaku serangan terhadap pembela HAM bisa diperhadapkan di pengadilan dan diuji apakah betul apakah dia melakukan serangan atau tidak kalau polisi tidak mau menerima laporan,” kata Era.
Ia kemudian memberi contoh mengenai pelanggaran HAM terhadap orang-orang di baris terdepan yang memperjuangkan hak asasinya, seperti petani. Era menilai saat ini serangan tidak hanya mengarah kepada personal, tetapi juga menyasar kelompok atau organisasi.
Contoh lain, dalam pendampingan hukum 41 anggota Serikat Mandiri Batanghari (SMB) yang didakwa terlibat perusakan, pencurian, pengeroyokan dan penganiayaan terhadap anggota Polri, TNI dan Satpam PT WKS di Pengadilan Negeri Jambi, era mengatakan serangan sudah berupa stigma organisasi sebagai pembela hak petani.
Di sisi lain, ia menambahkan bahwa satu saksi kunci atau saksi meringankan yang dihadirkan pihaknya diculik sesaat persidangan akan dimulai.
“Bagaimana mungkin polisi, jaksa, hakim bisa independen kalau mereka dibiayai oleh korporasi-korporasi besar,” ungkap dia.
Selain itu, Era pun mendapat persekusi atau perlakuan buruk dengan dituduh bahwa dirinya merendahkan masyarakat Jambi kurang mengerti hukum. Tuduhan ini berujung kepada demo sejumlah masyarakat Jambi terhadapnya.
Berdasarkan kondisi di atas, Koalisi menuntut Pemerintah dan DPR membentuk sistem perlindungan bagi pembela HAM melalui revisi Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan menjadikan revisi ini agenda prioritas tahun 2020.
Selain itu juga meminta Polisi untuk menyelidiki dan mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap pembela HAM seperti kematian Golfried Siregar, menghentikan kriminalisasi terhadap pembela HAM, serta membangun mekanisme perlindungan bagi pembela HAM yang terkonsolidasi dengan lembaga atau badan lain seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Pembela HAM sendiri terdiri dari YLBHI, KontraS, Imparsial, Setara Institute, Amnesty International Indonesia (AII), Walhi . (net/btr)